Pendapat Hammaad bin Zaid tentang Keberadaan Allah ta’ala

Al-‘Uqailiy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفِرْيَابِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُقَدَّمِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: سَأَلَ بِشْرُ بْنُ السُّرِّيِّ حَمَّادَ بْنَ زَيْدٍ، فَقَالَ: يَا أَبَا إِسْمَاعِيلَ، الْحَدِيثُ الَّذِي جَاءَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا يَتَحَوَّلُ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ فَسَكَتَ حَمَّادٌ، ثُمَّ قَالَ: هُوَ فِي مَكَانِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad Al-Faryaabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb, ia berkata : Bisyr bin As-Sariy pernah bertanya kepada Hammaad bin Zaid. Ia berkata : “Wahai Abu Ismaa’iil, hadits yang menjelaskan bahwa Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia, apakah Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya ?”. Hammaad pun terdiam, kemudian berkata : “Allah ada di tempat-Nya[1], dekat dengan hamba-Nya sebagaimana yang Ia kehendaki” [Adl-Dlu’afaa’, 1/161 no. 175].
Sanad riwayat ini hasan.[2] 
Riwayat ini juga dibawakan oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 9/333 dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Al-Fataawaa 5/76.
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ: الْقُرْآنُ كَلامُ اللَّهِ نزل بِهِ جَبْرَائِيلُ، مَا يُجَادِلُونَ إِلا أَنَّهُ لَيْسَ فِي السَّمَاءِ إِلَه
Hammaad bin Zaid berkata : “Al-Qur’aan adalah Kalaamullah yang turun melalui perantaraan Jibriil. Tidaklah mereka (Jahmiyyah) berdebat kecuali (untuk membantah) bahwa Allah tidak ada di langit” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/24].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي الحافظ في كتاب الرد على الجهمية، حدثنا أبي، نا سليمان بن حرب، سمعت حماد بن زيد، يقول: إنما يدورون، على أن يقولوا: ليس في السماء إله إله ". يعني: الجهمية
‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim berkata Ar-Raaziy Al-Haafidh berkata dalam kitabnya yang berjudul Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Aku mendengar Hammaad bin Zaid berkata : “Mereka hanyalah berputar-putar (dalam berdebat) agar mereka dapat mengatakan : Allah tidak ada di langit” – (mereka yang dimaksudkan) adalah Jahmiyyah [Al-‘Ulluw hal. 106-107; sanad Ibnu Abi Haatim ini shahih].
Kemudian Adz-Dzahabiy rahimahullah melanjutkan perkataannya :
قلت: مقالة السلف، وأئمة السنة، بل والصحابة، والله ورسوله والمؤمنين: أن الله في السماء، وأن الله على العرش، وأن الله فوق سماواته، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا، وحجتهم على ذلك النصوص والآثار. ومقالة الجهمية: أن الله في جميع الأمكنة تعالى الله عن قولهم، بل هو معنا أينما كنا بعلمه. ومقالة متأخري المتكلمين: أن الله ليس في السماء، ولا على العرش، ولا على السماوات، ولا في الأرض، ولا داخل العالم، ولا خارج العالم، ولا هو بائن عن خلقه، ولا متصل بهم، وقالوا: جميع هذه الأشياء صفات للأجسام، والله منزه عن الجسم. قال لهم أهل السنة، والأثر: نحن لا نخوض في ذلك، ونقول ما ذكرناه اتباعاً للنصوص، وإن رغمتم ولا نقول بقولكم، فإن هذه السلوب نعوت المعدوم، تعالى الله عن العدم، بل هو موجود متميز عن خلقه، موصوف بما وصف به نفسه من أنه فوق العرش بلا كيف. حماد بن زيد للعراقيين نظير مالك بن أنس للحجازيين في الجلالة والعلم
“Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Salaf, para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman mengatakan Allah berada di langit, Allah di atas ‘Arsy, Allah di atas langit-langit-Nya, dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia. Hujjah mereka tentang hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.
Adapun perkataan Jahmiyyah : Allah berada di setiap tempat. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan. Bahkan, Allah bersama kita dimanapun kita berada dengan ilmu-Nya.[3]Perkataan para ahli kalam belakangan adalah : Allah tidak ada di langit, tidak pula di atas ‘Arsy, di atas langit-langit, tidak di bumi, tidak di dalam alam, tidak pula di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya !. Mereka (ahli kalam) berkata : ‘Semua hal ini merupakan sifat jism (tubuh), dan Allah ta’ala suci dari sifat jism (tubuh).
Orang-orang yang berpegang pada sunnah dan atsar (Ahlus-Sunnah wal-Atsar) berkata kepada mereka : ‘Kami tidak akan berlarut-larut dalam hal itu. Kami mengatakan apa yang telah kami sebutkan tentangnya, yaitu mengikuti nash-nash. Dan seandainya kalian memaksa, maka kami tetap tidak akan berkata dengan perkataan kalian, karena pernyataan-pernyataan tersebut adalah sifat-sifat bagi sesuatu yang tidak ada (ma’duum). Maha Tinggi Allah jalla jalaaluhu dari ketiadaan. Bahkan Ia ada (maujuud) lagi terpisah dari makhluk-Nya. Allah disifati dengan apa-apa yang Ia sifatkan dengannya bagi diri-Nya, bahwasannya Ia di atas ‘Arsy tanpa perlu ditanyakan ‘bagaimana’.
Hammaad bin Zaid bagi penduduk ‘Iraaq setara dengan Maalik bin Anas bagi penduduk Hijaaz dalam hal keagungan dan keilmuan” [Al-‘Ulluw, hal. 107].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 13121434/18102013 – 01:00].




[1]      Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا المكان: ففيه نزاع وتفصيل، وَفِي الصحيحين: إثبات لفظ المكان،
“Adapun tempat (al-makaan), maka padanya terdapat perselisihan dan perincian. Dan dalam Ash-Shahiihain terdapat terdapat penetapan lafadh ‘tempat’ (bagi Allah)” [Dzail Thabaqaat Al-hanaabilah, 2.17].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :
فأذا سمعت أو قرأت عن أحد الأئمة والعلماء نسبة المكان إلىه تعالى، فاعلم أن المراد به معناه العدمي، يريدون به إثبات صفة العلو له تعالى، والرد على الجهمية والمعطلة الذين نفوا عنه سبحانه هذه الصفة، ثم زعموا أنه في كل مكان بمعنى الوجودي
“Apabila engkau mendengar atau membaca dari salah seorang imam dan ulama penisbatan ‘tempat’ kepada-Nya ta’ala, maka ketahuilah bahwa yang dimaksud dengannya adalah dalam pengertian abstrak (‘adamiy). Yang mereka inginkan adalah penetapan sifat al-‘ulluw’ bagi-Nya. Dan sekaligus merupakan bantahan terhadap Jahmiyyah dan Mu’aththilah yang menafikkan sifat al-‘ulluw dari-Nya subhaanahu wa ta’ala. Kemudian mereka beranggapan Allah ada di setiap tempat dalam makna wujudiy (keberadaan fisik/Dzat-Nya)” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 73].
[2]      Berikut keterangan para perawinya :
a.      Ja’far bin Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Mustafaadl Al-Faryaabiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Lahir tahun 207 H dan wafat tahun 301 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/96-111 no. 54].
b.      Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Aliy bin ‘Athaa’ bin Muqaddam, Abu ‘Utsmaan Al-Muqaddamiy; seorang yang shaduuq. Wafat tahun 264 H [Taariikh Baghdaad, 6/69-71 no. 2563].
c.      Sulaimaan bin Harb bin Bujail Al-Azdiy Al-Waasyihiy, Abu Ayyuub Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, iimaam, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 144 H, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2560].
d.      Bisyr bin As-Sariy Al-Bashriy, Abu ‘Amru Al-Afwah; seorang yang tsiqah lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-9 dan wafat tahun 195 H/196 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 169 no. 693].
e.      Hammaad bin Zaid bin Dirham Al-Azdiy Al-Jahdlamiy Abu Ismaa’iil Al-Bashriy Al-Azraq; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 98 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268 no. 1506].

wdcfawqafwef