Era Perundingan Berakhir, Tiba Era Perimbangan Politik Baru

Majed Kayale
 

Elit-elit Palestina sebenarnya tak butuh lagi terhadap serangkaian perundingan atau “pertemuan penjajakan” seperti yang digelar di Amman. Mereka tak perlu membuktikan tanggungjawab Israel atas terhentinya proses perundingan setelah dua dekade pengalaman perundingan Oslo. Dan bahkan setelah hanya pihak Palestina saja yang komitmen selama enam tahun belakangan dengan gencatan senjata, menempuh perundingan gelap yang dikendalikan oleh Abu Mazen (Mahmud Abbas).
Saat ini bukan waktunya lagi untuk berundingan. Saat ini waktunya perimbangan politik internasional, regional dan Arab di tengah perubahan besar sekarang; terutama revolusi Arab.
Terus terang, problema Palestina bukan di perundingan itu sendiri. Sebab dua pihak yang saling bermusuhan dan konflik harus sampai pada satu titik terentu untuk menyelesaikan masalah melalui perundingan. Yang juga penting bagaimana memahami perundingan, dasar dan prinsipnya.
Sayangnya, elit-elit Palestina mulai perundingan dengan “mengalah dulu” dari ¼ wilayah Palestina dalam hal tanah jajahan tahun 1967, sebagai ganti dari tanah jajahan tahun 1948 atau mempermasalahkan resolusi PBB soal pembagian tanah Palestina nomer 181 tahun 1987. Bahkan dalam masalah ini saja, dalam perundingan yang ada masih menganggap tanah jajahan tahun 1967 sebagai tanah “konflik”. Sebab perundingan itu tidak mendefinisikan Israel sebagai negara penjajah. Tidak pula mendefinisikan Tepi Barat sebagai tanah jajahan. Bahkan dalam prinsip perundingan itu tidak disinggung penghentian pemukiman yahudi dan tidak menentukan batas akhir solusi perundingan. Di atas semua itu, Palestina diharuskan “mengakui eksistensi Israel” dan menghentikan segala bentuk perlawanan terhadap Israel.
Pengalaman-pengalaman perundingan di dunia ini membuktikan bahwa proses penyelesaikan konflik tidak akan terwujud dengan “mencari bargaining dengan pihak lain”, menunjukkan itikad baik, memberikan konsesi-konsesi sikap mengalah atau yang lebih dikenal “prinsip saling percaya”. Perundingan akan terwujud hasilnya jika ada pihak-pihak yang terlibat menyelesaikan masalah dan ada syarat-syarat.
Perundingan bisa jadi akan menghasilkan adanya keberimbangan pihak yang berseteru meski relatif. Namun perundingan juga menghasilkan sikap menyerah salah satu pihak kepada pihak lain dan hanya bisa menerima syarat-syarat pihak yang kuat. Perundingan juga bisa jadi akan menimbulkan faktor-faktor internasional dan regional sebagai penekan yang memaksa proses perundingan antara dua pihak. Sehingga konflik antara keduanya akan membebani dan mengancam akan terjadi imbas-imbas berbahaya bagi perdamaian dan keamanan internasional.
Perundingan juga bisa menimbulkan kristalisasi kelompok masyarakat luas dari kalangan pihak-pihak yang berkonflik karena ada kesamaan kepentingan untuk akhirnya bisa saling memahami demi membangun masa depan bersama berdasarkan prinsip kepentingan dan hak.
Terakhir, perundingan bisa menghasilkan keyakinan masyarakat penjajah (dalam kasus Israel) akan pentingnya mereka membebaskan diri dari hubungan “penjajahan” dengan yang dijajahnya baik dalam hal budaya, politik dan moral.
Begitulah pengalaman proses penyelesaian perundingan dalam dua perang dunia I dan II dan perang dingin. Demikian pula berakhir penjajahan di Asia dan Afrika. Dan demikian pula berakhirnya rezim rasis Aparteid di Afrika Selatan.
Jika kita terapkan di atas dalam pengalaman Palestina – Israel, kita akan temukan bahwa perundingan itu tidak terdapat faktor-faktor di atas. Tidak ada perimbangan kekuatan antara pihak-pihak yang terkait. Palestina tidak mengakui kalah atas musuhnya. Tidak pula ada faktor-faktor internasional, regional dan Arab yang menekan Israel agar berjalan sesuai dengan ketentuan legalitas internasional.
 Akhirnya, diamnya dunia internasional terhadap politik penjajahan Israel dan pembangnan pemukiman, berubahnya Palestina dari jalan perlawanan kepada perundingan dan sikap memberikan konsesi-konsesi tidak akan melahirkan budaya penyelesaian damai di kalangan Israel. Bahkan hal itu semakin memperparah Israel untuk semakin rasis dan ekstrim.
Ini berarti, problema Israel bukan terkait dengan sosok Yaser Arafat dengan ketokohan dan kerjanya atau dengan gerakan Hamas dan apa yang diinginkannya atau dengan berbagai macam konsesi yang diberikan Palestina. Problema Israel adalah dengan dirinya sendiri, persepsinya sendiri, wataknya sendiri sebagai negara penjajah, rasis agamis. Israel tidak pernah mau peduli dengan persepsi pihak lain.
Karenanya, elit Palestina harus membuang ilusi solusi perundingan damai.
Semakin lama perundingan dilangsungkan, Israel semakin rasis dan semakin ekstrim.
Elit Palestina harus menyadari bahwa situasi internasional dan regional dan berbagai perundingan yang dipicu oleh revolusi Arab yang terbuka nilai-nilai kebebasan, demokrasi dan keadilan serta negara sipil, akan terbuka ruang untuk keluar dari era ketertindasan di masa lalu.
Elit Palestina harus percaya diri bisa menciptakan perimbangan politik lebih kuat posisi mereka. Jangan hanya berfikir tentang berdirinya negara di atas 50 ribu km2. (bsyr)
*Kolumnis Palestina 
sumber : infopalestina.com

wdcfawqafwef