Sepotong Benih Kemandirian

Oleh Muhammad Rizqon
Sore itu, Abdullah membawa selembar kertas berisi sebuah gambar hasil goresan anak tetangga yang pandai dalam menggambar di sekolahnya. Gambar itu masih berupa coretan pencil (sket gambar), namun tampaknya Abdullah sangat menyukai gambar itu. Boleh jadi karena obyek yang digambar adalah tokoh kartun kesukaannya, dan tentu menjadi kesukaan banyak teman-temannya.
Sket gambar itu ia bawa ke rumah. Ia meminta spidol kepada ayahnya. Ia ingin sket gambar berupa goresan pencil itu, diperjelas dengan tinta spidol hitam. Ayahnya mengetahui bahwa kegiatan itu adalah bagian dari kegiatan melatih motorik halus sang anak. Maka ia mencarikan spidol hitam kemudian memberikannya kepada Abdullah. Begitu memegang spidol (permanent marker), Abdullah tampak canggung membubuhkan goresan. Ada rasa khawatir jika goresannya itu melenceng dari tinta pencilnya dan berakibat gambarnya menjadi tidak bagus. Karena ada rasa khawatir itu, ayahnya pun membantunya pelan-pelan sehingga goresan pencil tertutupi semuanya oleh tinta spidol. Hasilnya, tokohnya kini menjadi lebih nyata dan jelas.
Abdullah tampak senang dengan lukisannya itu. Kemudian ia meminta ayahnya untuk memfotokopi malam itu juga, padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Wajarlah jika ada rasa malas menghinggapi ayahnya untuk memenuhi permintaan anaknya itu. Kepenatan yang mendera dirinya sehabis melaksanakan aktivitas sepanjang pagi hingga menjelang sore, kemudian dilanjut dengan aktivitas kerumahtanggaan hingga menjelang malam, belum hilang dari dirinya. Di samping itu, Sang ayah merasa pesimis. Jam segitu tempat fotokopi di sekitar rumah pastilah sudah pada tutup.
Namun Abdullah tetap merengek agar ayahnya tetap mengantarkannya ke tempat fotokopi malam itu juga karena duplikasi dari gambar itu akan ia bawa ke sekolahan esok harinya. Jika ayahnya memfotokopinya besok hari, berarti gambar itu pasti akan difotokopi saat ia sudah berangkat sekolah sehingga dia tidak bisa membawa gambar itu.
Ayahnya bertanya, “Kenapa sih nak harus fotokopi malam ini?”
Abdullah menjawab, “Abdullah mau membawanya ke sekolah besok.”
Ayahnya menyahut, “Emang tidak bisa hari lain?”
Abdullah tampak diam sejenak, seakan ingin menyembunyikan maksud dia yang sebenarnya. Ia khawatir jika maksudnya itu tidak berkenan di hati ayahnya.
Kemudian tanpa diduga sebelumnya, Abdullah memberikan jawaban yang cukup mengejutkan orang tuanya, mengejutkan dalam arti membahagiakan (surprise).
Ia berkata, “Abdullah mau bawa gambar itu buat dijual di sekolahan.”
Ayahnya tersenyum mendengar jawaban itu. Sekali-kali ia mengiringinya dengan tertawa kecil. Bukan tertawa mengecilkan tetapi tertawa karena ide kreatifnya itu di luar dugaan dia sebelumnya dan ia sangat mengagumi ide kreatif anaknya itu.
Wajah ceria Sang ayah memancar. Sang ayah sungguh bahagia mendengar jawabannya itu, sebab jawaban itu mencerminkan bahwa logika berfikirnya berjalan. Dan yang lebih penting, ia menyimpan potensi kebaikan yang tidak kecil, bahkan sangat menentukan kelangsungan hidupnya kelak saat ia dewasa. Sangat sedikit anak yang memiliki logika berpikir seperti Abdullah yang masih kelas satu SD itu. Logika berfikirnya itu sejatinya menunjukkan bibit kemandirian di dalam dirinya, yang jika diarahkan dengan baik, akan benar-benar membentuk jiwa wirausaha dan kemandirian di dalam dirinya kelak jika ia dewasa.
Menyadari akan pentingnya menumbuhkan sifat kemandirian seorang anak, ditambah kesadaran akan adanya sepotong benih kemandirian di dalam diri anaknya itu, sang ayah segera bangkit dari kemalasannya kemudian segera beranjak pergi mengantarkan anaknya itu mencari tempat fotokopi terdekat. Sang ayah tidak ingin benih kemandirian itu pupus hanya karena tidak ada dukungan dari orang-orang yang bisa memperhatikannya.
Alhamdulillah, Sang ayah (bersama sang anak) masih menemukan warung fotokopi yang buka pada malam itu. Seakan menjadi sebuah isyarat bahwa benih kemandirian itu tidak boleh pupus. Mereka memfotokopi gambar sebanyak 10 lembar kemudian membawanya pulang. Abdullah tampak bahagia dan merasa puas. Ada semangat terpancar dalam dirinya menyambut hari esok. Ia langsung menyimpan lembaran fotokopi gambar itu ke dalam tas sekolahnya. Boleh jadi, pikirannya membayang pada kejadian esok pagi di mana teman-temannya akan menyambut antusias gambar tokohnya itu.
***
Abdullah adalah tipe anak yang memiliki perhatian besar dalam bisnis. Pernah suatu ketika ia berujar bahwa ia ingin mencari uang yang banyak agar ibunya tidak usah repot pergi ke sana ke mari mencari uang tambahan. Ketika ditanya, bagaimana caranya agar ia mendapatkan uang itu, ia menjawab bahwa ia akan membeli seekor kambing laki-laki dan seekor kambing betina. Dari dua pasangan ekor kambing itu akan dihasilkan anak yang banyak, kemudian anak-anaknya itu akan bisa melahirkan anak lagi, demikian seterusnya sehinga jumlah kambingnya jadi berlipat-lipat. Kambing itu akan dijual ke orang sehingga mendapatkan uang. Sungguh cerdas pemikiran anak itu pada usia yang masih dini.
Pernah juga ia membuat minuman pop ice atau sirup atau sekedar teh manis. Kemudian ia tuang minuman itu dalam plastik kecil-kecil dan ditaruh di kulkas. Jadilah ia es mamboo. Ia tawarkan pada teman-teman mainnya dengan harga Rp 500 untuk dua buah. Sesuatu yang pernah membahagiakannya adalah, dari jualan es mamboo itu ia mendapatkan uang sebesar Rp 12.000. Jumlah uang sebesar itu di mata anak kecil masyarakat biasa bukanlah jumlah yang kecil, terlebih di tengah kondisi sulitnya mencari uang seperti sekarang ini. Dan yang patut dicontoh, uang itu adalah murni dari hasil ide kreatifnya. Subhanallah.

Pernah pula ia membeli tepung khusus untuk kue di swalayan terdekat bersama temannya. Di samping itu, ia juga membeli mesis dan blue band. Di rumah, ia bersama temannya membuat kue laba-laba atau donat. Alhamdulillah, semua teman-teman ikut menikmatinya. Orang tua dan orang-orang rumah pun dipersilahkan mencicipi hasilnya. Meski kadang tidak begitu pas rasanya, tetapi penghargaan dari orang tua dan orang-orang sekitar cukup membahagiakan dan menimbulkan rasa percaya dirinya.
Yang lucu, ia bersama teman-temannya sudah berani membuat tulisan berjudul “Café” di atas kertas warna yang ditempel pada kardus, kemudian ditutup dengan lapisan plastik. Kertas bertulis daftar harga makanan itu, ditempel di pagar besi depan rumah.
***
Ada pelajaran berharga dari kisah Abdullah yang bernama lengkap Abdullah Nur Firdaus itu. Selaku orang tua, kita sering kali menjumpai adanya benih kewirausahaan dan kemandirian dalam diri seorang anak. Namun karena kesibukan dan banyaknya masalah yang harus diperhatikan, perhatian kita kepada potensi anak kita itu menjadi terabaikan. Selayaknya, benih kewirausahaan dan kemandirian itu dipupuk dan ditumbuhkan agar kelak ia memiliki mental entepreneurship dan berjiwa mandiri. Dan jika kita memperhatikan dalam hal ini, sebenarnya kita telah menjatuhkan pilihan yang tepat, yaitu menjadikan anak sebagai investasi kebaikan bagi orang tua. Bukankah sangat dimungkinkan dengan benih itu akan diarahkan pada sifat-sifat keterpujian?
Setiap anak memiliki potensi untuk itu. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengarahkan sehingga darinya tumbuh sifat-sifat kebaikan, seperti keberanian mengambil resiko, kecerdasan dalam membaca lingkungan, jujur, adil, amanah, dan memiliki jiwa pemimpin.
Saya sendiri selaku orang tua, kadang merasa belum mampu memperhatikan anak secara optimal. Dan saya mohon kekuatan kepada Allah, agar bisa memperhatikan anak-anak saya dan mengarahkan mereka menjadi anak yang sholeh dan dan memiliki kekuatan. Amin.
Waallahua’lam bishshawaab (rizqon_ak@eramuslim.com)

wdcfawqafwef