Zakat fithri wajib ditunaikan sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunaikan zakat fithri sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ‘Ied [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1509, Muslim no. 986, Abu Daawud no. 1610, dan yang lainnya].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka ia adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah shadaqah biasa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, Al-Haakim 1/409, dan yang lainnya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843].
Tentu saja, jika ia menyengaja membayarkan setelah usai shalat ‘Ied, ia berdosa karenanya.
Para ulama berselisih pendapat, boleh tidaknya mempercepat pembayaran zakat fithri sebelum waktu di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak boleh mempercepat dari waktu asalnya. Adapun jumhur ulama memperbolehkannya, dan inilah yang kuat.
Jumhur ulama kemudian berselisih pendapat berapa kadar mempercepat pembayaran zakat fithri tersebut.
1. Madzhab Hanabilah.
Jumhur ulama madzhab Hanabilah berpendapat tidak boleh mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum ‘Ied). Sebagian Hanaabilah membolehkan mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana dibolehkan mempercepat adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina) setelah pertengahan malam.
2. Madzhab Maalikiyyah.
Ada dua pendapat yang beredar dalam kebolehan mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula yang tidak).
3. Madzhab Asy-Syaafi’iyyah.
Jumhur membolehkan mempercepat mulai dari awal bulan Ramadlaan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya mulai terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun tidak boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadlaan – karena waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh mempercepat dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).
4. Madzhab Al-Hanafiyyah.
Pendapat yang masyhur, mereka membolehkan mempercepat pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari Ath-Thahawiy dan shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat secara mutlak tanpa perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat sehari atau dua hari (sebelum ‘Ied). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia membolehkan mempercepat satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ziyaad bahwa ia tidak membolehkan mempercepatnya.
[Diringkas dari Tharhut-Tatsriib oleh Al-‘Iraaqiy, 4/465-466].
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang membolehkan mempercepat sehari hingga tiga hari, tidak boleh lebih dari itu. Dalilnya adalah :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ: رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ "، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيرِ، وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri - atau zakat Ramadlaan - bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa' kurma atau satu shaa'gandum. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr”. (Naafi’ berkata) : Adalah Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhumaa (bila berzakat) dia memberikan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya ia (Ibnu ‘Umar) memberikan gandum. Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakatnya dari anak kecil, orang dewasa, hingga bayi sekalipun. Dan Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya (petugas zakat), dan mereka (petugas) memberikan zakat tersebut sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah :
قُلْتُ: مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ؟ قَالَ: إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Aku (Ayyuub) berkata : “Kapan Ibnu ‘Umar memberikan shaa’ zakatnya ?”. Naafi’ berkata : “Apabila petugas pemungut zakat (‘aamil) telah duduk (bertugas)”. Aku berkata : “Kapankah petugas pemungut zakat duduk ?”. Ia menjawab : “Sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Shahiih Ibni Khuzaimah no. 2421].
Atau bisa juga tiga hari sebelum ‘Ied :
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ، إِلَى الَّذِي يُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ: بِيَوْمَيْنِ، أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar menyerahkan zakat Fithri kepada orang pengumpul zakat dua hari atau tiga hari sebelum ‘Ied [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/301-302 no. 684].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟..... فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ.......
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menugaskanku untuk menjaga (mengurus) zakat Ramadlaan (zakat fithri). Lalu seorang pendatang mendekatiku dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya dan berkata kepadanya : “Demi Allah, sungguh aku akan hadapkan kamu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia berkata : “Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan. Aku mempunyai keluarga yang mempunyai kebutuhan mendesak”. Akupun melepaskan orang itu. Pada pagi harinya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?”.….. Aku pun kembali mengintainya untuk yang ketiga kalinya (yaitu malam ketiga), (dan ternyata benar) ia datang mengais-ngais makanan, dan aku pun menangkapnya…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3275 & 5010, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 10729, Ibnu Khuzaimah no. 2269, dan yang lainnya].
Hadits di atas menunjukkan Abu Hurairah menjadi petugas zakat selama tiga hari sebelum akhirnya setan (jin) yang mencuri dilepaskan untuk yang terakhir kalinya.
Riwayat-riwayat di atas memberikan faedah pada kita sebagai berikut :
a. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membayarkan zakat fithri ketika petugas zakat telah mulai melaksanakan tugasnya.
b. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membayarkan zakat fithri sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied, pas ketika petugas zakat mulai melaksanakan tugasnya .
c. Petugas zakat mulai membagikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya sehari begitu ada yang membayarkannya (yaitu sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied).
d. Tidak ada aktivitas pembayaran zakat fithri – dan juga penyaluran kepada yang berhak – lebih dari tiga hari sebelum ‘Ied.
Inilah sunnah yang berlaku di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Adapun pendapat yang membolehkan mempercepat lebih dari itu dengan mengqiyaskannya terhadap zakat maal, maka ini tertolak, karena zakat maal dibayarkan karena telah mencapai nishab dan satu haul. Adapun zakat fithri dibayarkan bukan berdasarkan nishab dan haul. Setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang ditanggungnya untuk malam ‘Ied dan siangnya, menurut jumhur ulama, ia wajib mengeluarkan zakat fithri, baik ia miskin ataupun kaya.
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " كَانَ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Zakat fithri wajib bagi setiap orang kaya dan miskin/faqir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5817; shahih].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 26091434/04082013 –15.10].