Kehidupan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab


Beliau adalah Muhammad ibnu Abdil Wahhab ibnu Sulaiman ibnu ‘Ali ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rasyid ibnu Barid ibnu Muhammad ibnu Barid ibnu Musyrif  At-Tamimiy.
Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H di Kota ‘Uyainah yang merupakan bagian wilayah Nejed.
Di waktu kecil, beliau menimba ilmu di negerinya, yaitu ‘Uyainah. Beliau hafal Al-Qur’an sebelum berumur 10 tahun. Beliau cerdas, pintar, mudah hafal, fasih lagi hebat. Sulaiman –saudaranya- meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, sang ayah terkagum-kagum dengan pemahaman dan kecerdasannya, padahal ia masih kecil dan ia menceritakan hal itu dan berkata: Sesungguhnya ia mengambil dari Muhammad –anaknya- banyak faidah hukum.
Ayah beliau menulis kepada sebagian ikhwannya sepucuk surat yang di dalamnya ia memuji keadaan Muhammad anaknya, menyanjung dan memuji hafalan, pemahaman serta daya tangkapnya. Dalam surat itu ia menuturkan bahwa anaknya ini telah baligh sebelum mencapai usia 12 tahun, ia memandangnya layak untuk mengimami shalat jama’ah karena pengetahuannya tentang hukum-hukum yang berkaitan dengannya, maka ayahnya pun menjadikan beliau imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ia menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-, kemudian mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka beliaupun berangkat haji dan menuju Madinah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Di sana beliau menetap selama dua bulan, kemudian pulang setelah menunaikan ziarah.
Saat itu ayahnya adalah qadli untuk wilayah ‘Uyainah, maka dalam bidang fiqh, beliau menimba ilmu dari ayahnya sesuai madzhabImam Ahmad. Walaupun beliau rahimahullah masih kecil, akan tetapi beliau banyak mengkaji kitab-kitab tafsir dan hadits serta pembahasan para ulama prihal ashlul Islam. Karena kepiawaiannya dalam menulis, beliau dalam suatu majelis menulis banyak buku kecil tanpa merasa lelah, sehingga orang yang melihat tercengang karena kecepatan daya hafal dan penulisannya.
Allah melapangkan dadanya untuk mengenal Tauhid dan hal-hal yang membatalkannya yang menyesatkan (banyak manusia) dari jalan-Nya, maka beliau mulai mengingkari kesyirikan yang telah menyebar luas di Nejd, walaupun sesungguhnya sebagian manusia telah menganggap baik apa yang beliau katakan, namun karena beliau melihat bahwa masalahnya tidak akan tertangani oleh beliau sesuai dengan apa yang beliau inginkan, maka beliau pergi mencari ilmu ke berbagai wilayah sekitarnya sampai akhirnya mencapai tingkatan yang melebihi guru-gurunya.
Maka beliau memulai dengan menunaikan ibadah haji ke Baitullah al Haram, lalu beliau menetap di Al Madinah Al Munawarrah untuk menimba ilmu di sana dari Syaikh Abdullah ibnu Ibrahim An Najdiy Al Madaniy dan beliau (Syaikh Abdullah) memberinya ijazah dari dua jalan. Beliau adalah ayah Ibrahim ibnu Abdillah, penyusun kitab Al ‘Adzbul Faa-idl fii ‘Ilmil Faraa-idl. Beliau juga menimba ilmu dari Syaikh Muhammad Hayaat As Sindiy Al Madaniy.[1]
Kemudian beliau keluar dari Al-Madinah menuju Nejed dan bertolak menuju Bashrah dalam perjalannannya menuju Syam. Di Basharah, beliau mendengar hadits dan fiqh dari banyak ulama dan di sana pula beliau mengkaji ilmu Nahwu sampai menguasainya. Beliau juga menulis banyak ilmu bahasa (Arab) dan hadits. Di sela-sela waktunya, selama beliau berada di Bashrah, beliau mengingkari apa yang beliau lihat dan beliau dengar, berupa syirik dan bid’ah. Beliau menganjurkan manusia agar memegang jalan yang lurus dan benar. Beliau menyebarkan Tauhid dan beliau menyatakan dengan terang-terangan kepada manusia bahwa ibadah itu seluruhnya hanya bagi Allah, barang siapa memalingkan sesuatu darinya kepada selain Allah, maka dia kafir. Bila seseorang di majelisnya menyebutkan lambang-lambang para thaghut dan orang-orang shalih yang mereka ibadati bersama Allah, maka beliau melarangnya, menghentikannya dari hal itu dan menjelaskan kebenaran kepadanya, seraya berkata kepadanya: “Sesungguhnya mencintai para wali dan orang-orang shalih itu hanyalah dengan mengikuti tuntunan dan ajaran yang mereka pegang dan bukan dengan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. Banyak dari penduduk Bashrah datang kepadanya seraya membawa syubuhat, maka beliau memberikan jawaban kepada mereka dengan jawaban yang melenyapkan kesamaran dan menampakkan al-haq. Beliau selalu mengulang-ulang kepada mereka bahwa ibadah itu seluruhnya tidak layak, kecuali hanya bagi Allah. Sebagian mereka menganggap aneh ha itu dan terheran-heran karena sikap pengingkaran beliau yang sangat terhadap peribadatan kepada orang-orang shalih dan para wali, tawassul dengan mereka di kuburan-kuburan mereka dan tempat-tempat mereka yang dikeramatkan. Mereka mengatakan : “Bila yang dikatakan oleh orang ini benar, maka selama ini manusia sesat”.
Tatkala hal itu (terjadi, ed) berulang-ulang, maka sebagian penduduk Bashrah mengintimidasinya dan mengusirnya dari Bashrah di siang hari yang panas. Beliaupun menuju Syam, akan tetapi bekal yang beliau bawa hilang dalam perjalanan, sehingga akhirnya beliau berbalik arah, kembali ke Nejed. Dalam perjalanannya, beliau melewati Ahsa dan singgah di sana, yaitu di rumah Asy Syaikh Al-‘Alim Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdillathif Asy Syafi’i Al Ahsaa-i. Kemudian dari sana beliau menuju daerah Huraimila, yang mana ayahnya (Abdul Wahhab) telah pindah ke sana dari ‘Uyainah tahun 1139 H setelah amirnya Abdullah ibnu Ma’mar meninggal dunia dan cucunya Muhammaf ibnu Hamd yang digelari Khurfaasy memegang kepemimpinan sesudahnya, lalu dia mencopot Syaikh Abdul Wahhab dari jabatan qadli ‘Uyainah karena perselisihan di antara keduanya.
Syaikh Muhammad menetap di Huraimila bersama ayahnya sambil belajar kepadanya beberapa tahun sampai ayahnya meninggal dunia tahun 1153 H. Maka beliau menjaharkan dakwahnya dan mengingkari dengan sangat segala fenomena kesyirikan dan bid’ah. Beliau sungguh-sungguh dalam al amru bil ma’ruf dan an nahyu ‘anil munkar. Beliau mengerahkan segala nasehatnya bagi kalangan khusus dan kalangan awam, menebarkan ajaran-ajaran Islam, memperbaharui sunnah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak takut -di dalam kebenaran ini- celaan orang yang suka mencela, (beliau juga) mengingatkan manusia dan para ulama secara khusus, demi menghindari ancaman Allah ta’ala dalam firman-Nya ta’ala:
 “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati” (Al-Baqarah : 159)
Maka akhirnya nama beliau terkenal di wilayah-wilayah ‘Aridl, yaitu Huraimila, ‘Uyainah, Dir’iyyah, Riyadl dan Manfuhah, sehingga banyak orang berdatangan kepadanya. Mereka menjadi jama’ah dan mentauladaninya, mengikuti jalannya dan ber-mulazamah serta belajar kepadanya dalam bidang hadits, fiqh dan tafsir. Di tahun-tahun itu beliau menyusun “Kitab At-Tauhid”.
Dalam menyikapi beliau, manusia terbagi menjadi dua kelompok: Satu kelompok mengikuti dan membai’atnya serta setia terhadap apa yang beliau da’wahkan, sedangkan kelompok lain memusuhinya, memeranginya dan mengingkari apa yang beliau bawa, sedangkan mereka itu adalah mayoritas manusia.
Saat itu para pemimpin kawasan Huraimila adalah dua kabilah yang keduanya berasal dari satu kabilah dan masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki kekuatan, dominasi dan pemerintahan yang tertinggi serta mereka tidak memiliki satu pimpinan yang mengendalikan semua.
Di negeri itu ada banyak budak milik salah satu kabilah tadi. Mereka sangat jail dan bejat. Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab menginginkan agar mereka dihalangi dari kerusakan dan diberlakukan kepada mereka al amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar, akan tetapi mereka malah berupaya membinasakan Syaikh dan membunuhnya secara diam-diam di malam hari. Kemudian tatkala mereka memanjat dinding untuk menghabisi beliau, orang-orang memergokinya lalu meneriakinya sehingga merekapun kabur melarikan diri.
Syaikh akhirnya pindah dari Huraimila ke ‘Uyainah, sedang pemimpinnya saat itu adalah Utsman ibnu Hamd ibnu Ma’mar, maka iapun memuliakan Syaikh dan di sana beliau menikahi Jauharah puteri Abdullah ibnu Ma’mar.
Tatkala syaikh memaparkan dakwahnya kepada Utsman, maka iapun mengikutinya dan mendukungnya serta mengharuskan kalangan khusus dan umum untuk melaksanakan perintahnya. Di daerah ‘Uyainah dan sekitarnya ini terdapat banyak kubah, mesjid dan bangunan yang dibangun di atas kuburan sahabat dan para wali serta pohon-pohon yang mereka keramatkan dan mereka bertabarruk dengannya; seperti kubah kuburan Zaid Ibnul Khaththab di Jubailah, pohon Quraiwah, Abu Dujanah dan Dzaib. Maka Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Utsman ibnu Ma’mar beserta banyak jama’ahnya keluar menuju tempat-tempat itu dengan membawa cangkul, terus mereka menebang pohon-pohon, menghancurkan bangunan-bangunan dan kubah yang di atas kuburan itu serta mereka membenahinya sesuai tuntunan Sunnah. Sedangkan Syaikh sendiri beliaulah yang menghancurkan sendiri kubah kuburan Zaid Ibnul Khaththab dan begitu juga beliau bersama sahabat-sahabatnya menebang pohon Dzaib. Sedangkan pohon Quraiwah ditebang oleh Tsunayyan ibnu Su’ud, Musyariy ibnu Su’ud, Ahmad ibnu Suwailim serta yang lainnya.
Begitulah akhirnya tidak tersisa satupun berhala di negeri yang dikuasai oleh Utsman, sehingga kalimatul haq melambung tinggi dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun dihidupkan. Kemudian tatkala hal itu terkenal dan tersiar luas serta menjadi pembicaraan para pelancong, maka hati manusia -yang sudah dipastikan adzab baginya- mengingkarinya dan mengatakan seperti apa yang sudah dikatakan oleh orang-orang terdahulu:
 “Mengapa dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”(Shaad: 5)
Maka mereka bersekongkol untuk membantah, mengingkari, menyudutkan dan memeranginya. Mereka menulis surat kepada ulama Ahsaa, Bashrah dan Al-Haramain seraya memanas-manasi mereka terhadapnya. Dalam hal itu mereka juga dibantu oleh orang-orang bejat dan orang-orang sesat dari kalangan ulama negeri-negeri itu. Mereka menulis banyak buku dalam memvonis beliau sebagai seorang ahli bid’ah, sesat, merubah ajaran dan sunnah, bodoh dan binasa. Mereka mengompori kalangan khusus dan kalangan awam terhadapnya, terutama para pemimpin dan penguasa. Mereka mengklaim bahwa Syaikh dan para pengikutnya itu tidak memiliki jaminan dan keterjagaan (darah dan harta), karena sebab menolak sunnah Rasulullah saw dan merubah ajaran agama. Mereka menakut-nakuti para pemimpin dan penguasa darinya. Mereka mengklaim bahwa beliau mendoktrin orang-orang bodoh dan para pengekor dengan pendapatnya, serta beliau memperdaya mereka dengan pahamnya sehingga mereka akhirnya berani membangkang dan menentang pemimpin dan pemerintah mereka.
Syaikh -rahimahullah- sabar menghadapi apa yang mereka katakan lagi mengharapkan pahalanya di sisi Allah, seraya menghibur diri dengan apa yang dialami oleh kaum muwahhidun sebelumnya dan dengan berbagai ujian yang dihadapi kaum mu’minin serta segala konspirasi kaum musyrikin dan orang-orang sesat terhadap mereka. Ini adalah sunnatullah ta’ala pada hamba-hamba-Nya yang selalu berlaku di semua zaman, yang dengannya Allah menguji orang-orang mu’minin dan menyeleksi orang-orang yang bersabar. Allah ta’ala berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesunggguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Al-Ankabut: 1-3)
Syaikh rahimahullah tetap bermukim di ‘Uyainah. Beliau menegakkan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Beliau mengajari manusia tentang dien mereka, melenyapkan segala bid’ah yang beliau mampu. Beliau menegakkan hudud dan memerintahkan pemimpin untuk menegakkannya. Sampai akhirnya, beliau didatangi oleh seorang wanita  dari penduduk ‘Uyainah yang telah melakukan zina dan dia mengakui perbuatan zinanya tersebut terhadap dirinya sendiri. Pengakuan itu  (diungkapkan,ed) berulang kali, hingga empat kali… Maka Syaikhpun berpaling darinya. Kemudian wanita itu kembali mengakuinya berulang-ulang, maka Syaikhpun menanyakan tentang akalnya. Beliaupun diberi tahu akan kesempurnaan dan kesehatan akalnya. Kemudian beliau menangguhkannya beberapa hari, dengan harapan dia menarik kembali pengakuannya, akan tetapi dia tetap bersikukuh di atas pengakuannya. Wanita itu mengakui sebanyak empat kali dalam empat hari berturut-turut. Maka Syaikh rahimahullahmemerintahkan pemimpin untuk merajamnya, karena dia muhshanah, dengan cara: Pakaiannya diikatkan pada badannya, lalu dirajam dengan batu sesuai cara yang disyari’atkan. Sang pemimpin, yaitu Utsman ibnu Ma’mar dan sejumlah kaum muslimin keluar untuk merajamnya sampai wanita itu meninggal dunia. Orang pertama yang merajamnya adalah Utsman sendiri. Tatkala wanita itu telah meninggal dunia, maka Syaikh memerintahkan agar mereka memandikan, mengkafani dan menshalatkannya.
Ketika kejadian ini sudah berlalu, maka bermunculanlah komentar-komentar ahli bid’ah dan orang-orang sesat. Mereka cemas dan takut, khawatir dan gundah. Maka lisan-lisan para ulama menjulur, mengingkari apa yang beliau lakukan, padahal beliau tidak melampaui hukum yang disyari’atkan dengan As-Sunnah dan ijma.
Tatkala mereka tidak mampu membantah hujjah-hujjah yang beliau utarakan, maka mereka beralih membantahnya dengan makar dan tipu daya. Mereka mengadukannya kepada sesepuh (tokoh) mereka, yaitu Sulaiman Alu Muhammad, pemimpin Banu Khalid dan Ahsa. Mereka mengomporinya dengan mengatakan kepadanya:“Sesungguhnya orang ini ingin menjatuhkan anda dari kekuasaan dan berupaya menghentikan urusan yang anda jalankan serta menghapuskan pajak dan upeti”
Ketika mereka menakut-nakutinya dengan hal itu, maka Sulaiman Alu Muhammad menulis surat kepada Utsman ibnu Ma’mar seraya memerintahkannya agar membunuh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab atau mengusirnya dari negerinya. Dia memojokkan dan mengancam Utsman, bahwa bila tidak melaksanakan hal itu, maka dia akan memutuskan upeti yang ada padanya di Ahsa –sedang itu adalah upeti yang sngat banyak- serta dia mengancamnya akan merampas semua harta Utsman yang ada padanya.
Tatkala surat Sulaiman diterima Utsman, maka Utsman merasa terpukul sehingga dia lebih mengedepankan dunia atas dien ini dan memerintahkan Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab agar keluar dari ‘Uyainah.
Maka Syaikhpun keluar meninggalkan ‘Uyainah pada tahun 1158 H menuju daerah Dir’iyyah. Pada malam pertama beliau singgah di rumah Abdullah ibnu Suwailim, kemudian di hari ke dua beliau pindah ke rumah muridnya, Syaikh Ahmad ibnu Suwailim.
Saat hal itu didengar oleh amir Muhammad ibnu Su’ud, maka ia dan kedua saudaranya Tsunayyan dan Musyariy segera menghampirinya di rumah Ahmad ibnu Suwailim, Ia mendatanginya dan mengucapkan salam terhadap beliau. Ia sangat memuliakan dan mengagungkannya serta ia mengabarkan kepadanya bahwa ia akan melindunginya seperti ia melindungi isteri-isteri dan anak-anaknya.
Maka Syaikh mengabarkan kepadanya apa yang dibawa dan didakwahkan Rasulullah saw, juga apa yang dipegang oleh para sahabat beliau sesudahnya serta apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah terhadap mereka. Syaikh juga mengabarkan bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan serta bahwa kejayaan dan kekayaan yang Allah berikan kepada mereka dengan sebab jihad fi sabilillah dan juga Dia jadikan mereka sebagai saudara. Kemudian Syaikh memaparkan kepadanya tentang realita yang dilakukan penduduk Nejed di zamannya, yaitu berupa penyelisihan mereka terhadap ajaran Rasulullah saw dengan penyekutuan Allah ta’ala, berbagai bid’ah, perselisihan dan kezhaliman.
Tatkala amir Muhammad ibnu Su’ud benar-benar mengenal tauhid dan mengetahui mashlahat dieniyyah dan duniawiyyah yang ada di dalamnya, maka ia berkata kepada Syaikh: “Wahai Syaikh, sesungguhnya ini adalah dienullah wa rasulihi yang tidak ada keraguan di dalamnya, maka berbahagialah dengan dukungan bagimu dan bagi apa yang engkau perintahkan serta jihad melawan orang-orang yang menyelisihi tauhid. Akan tetapi, saya ingin mensyaratkan dua hal kepada engkau, (yaitu): Bila kami telah berdiri membelamu dan berjihad di jalan Allah serta Allah telah memberikan kemenangan bagi kita, saya khawatir engkau pergi meninggalkan kami dan engkau menggantikan kami dengan orang lain dan ke dua: Selama ini saya memungut upeti dari dari penduduk Dir’iyyah di setiap musim panen dan saya khawatir engkau mengatakan “jangan mengambil sesuatupun dari mereka””. Maka Syaikh rahimahullah berkata: “Adapun syarat yang pertama, maka ulurkan tanganmu ~Darah dengan darah, jaminan dengan jaminan~, dan adapun syarat yang ke dua, maka mudah-mudahan Allah membukakan banyak penaklukan bagimu sehingga Allah memberikan ganti kepadamu berupa ghanimah yang lebih baik dari apa yang diambil dari mereka”.
Maka amir Muhammad mengulurkan tangannya dan membai’at Syaikh di atas agama Allah dan Rasul-Nya, jihad di jalan-Nya, penegakan syari’at Islam, serta al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar. Kemudian syaikh bangkit dan masuk ke negeri itu bersamanya serta menetap di sana.
Di antara orang-orang yang terkenal mendukung dan membelanya dari kalangan saudara-saudara amir Muhammad, para pembantunya dan jajaran aparatnya dari penduduk Dir’iyyah adalah :Tsunayyan ibnu Su’ud, Musyari ibnu Su’ud, Farhan ibnu Su’ud, Syaikh Ahmad ibnu Suwailim, Syaikh Isa ibnu Qasim, Muhammad Al Hazimiy, Abdullah ibnu Dughaitsir, Sulaiman Al Wusyaiqiriy, Hamd ibnu Husain, dan saudaranya Muhammad serta yang lainnya.
Syaikh telah menetap dua tahun di Dir’iyyah. Beliau membimbing manusia dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Di sela-sela itu, berdatanganlah kepadanya para pendukung beliau dari ‘Uyainah secara diam-diam, di antaranya: Abdullah ibnu Muhsin, dan kedua saudaranya, Zaid dan Sulthan dari Banu Ma’mar, Abdullah ibnu Ghunnam dan  saudaranya, Musa. Ikut hijrah pula bersama mereka sejumlah besar para sesepuh Banu Ma’mar yang menyelisihi Utsman ibnu Ma’mar di ‘Uyainnah. Begitu juga orang-orang yang berasal dari wilayah-wilayah sekitarnya ikut hijrah  bersama mereka, saat mengetahui bahwa Syaikh telah menetap di Dir’iyyah serta mendapat dukungan dan perlindungan.
Tatkala Utsman ibnu Ma’mar mengetahui semua itu, maka ia menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan berupa pengusiran Syaikh dan sikap tidak membelanya dan ia juga menjadi mengkhawatirkan banyak hal dari Syaikh. Akhirnya ia pun bersama sejumlah penduduk ‘Uyainah dan sesepuh-sesepuhnya berangkat mendatangi Syaikh di Dir’iyyah. Ia menginginkan Syaikh kembali bersamanya dan ia menjanjikan dukungan dan pembelaan baginya, maka Syaikh berkata: “Hal ini bukan kepada saya, akan tetapi kepada Muhammad ibnu Su’ud, bila ia ingin saya pergi bersamamu, maka saya pergi dan bila ia ingin saya menetap padanya, maka saya menetap dan saya tidak mungkin menggantikan seseorang yang telah menyambut saya penuh penerimaan dengan orang lain, kecuali ia mengizinkannya bagi saya”. Kemudian Utsmanpun mendatangi Muhammad ibnu Su’ud, namun ia menolak permintaannya. Tatkala ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, maka ia kembali pulang ke negerinya seraya menyembunyikan permusuhan, niat jahat dan khianat, walaupun ia menampakkan sikap dukungan kepada al-haq dan dukungan kepada syaikh dan amir Muhammad. Tipu dayanya pun terjadi berulang-ulang dan nampaklah kemunafikannya serta terbongkarlah niat busuknya, maka akhirnya sejumlah ahlut tauhid membunuhnya setelah selesai shalat Jum’at di tempat shalatnya di dalam mesjidnya di ‘Uyainah tahun 1163 H sebagaimana yang akan dijabarkan nanti.
Syaikh menulis surat memaparkan dakwahnya kepada berbagai penduduk negeri dan para sesepuh mereka serta para pengaku ilmu di tengah mereka, maka di antara mereka ada yang menerima al haq dan mengikutinya dan ada juga yang malah melecehkan dan memperolok-oloknya. Mereka menuduh beliau bodoh dan kadang menuduhnya tukang sihir serta menuduhnya dengan hal-hal yang padahal beliau berlepas diri dari semua itu.
Syaikh rahimahullah tetap teguh mengajak manusia kepada jalan Tuhannya dengan hujjah yang nyata dan dengan pelajaran yang baik. Beliau tidak serta merta mengkafirkan seorangpun dan tidak memulai menyerang seorangpun, namun beliau menahan diri dari itu semua sebagai sikap wara’ darinya dan pengharapan Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang sesat. Sampai akhirnya mereka semua malah bangkit memusuhi  dan mengkafirkan beliau dan jama’ahnya secara terang-terangan di seluruh pelosok negeri serta menghalalkan darah mereka, sedangkan mereka tidak membuktikan klaim batil mereka tersebut dengan satu hujjahpun dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya. Mereka tidak peduli dengan kebohongan dan kepalsuan yang mereka tuduhkan kepada Syaikh dan tidak peduli pula dengan cara-cara yang mereka gunakan untuk mengusir beliau dan jama’ahnya dari negeri itu serta pengejaran mereka dengan disertai penyiksaan dan penindasan. Ya, memang beliau rahimahullah tidak memerintahkan untuk menumpahkan darah dan memerangi mayoritas orang-orang sesat dan budak hawa nafsu sampai mereka sendiri yang lebih dulu memerangi dan mengkafirkan beliau dan para sahabatnya, maka saat itu Syaikh memerintahkan jama’ahnya untuk berjihad. Beliau mengobarkan semangat para pengikutnya untuk berjihad, maka merekapun melaksanakan perintah beliau.
Beliau selalu ber-munajat kepada Allah yang telah menganugerahkan karunia Tauhid ini agar melapangkan dada kaumnya untuk menerima al-haq dan menghindarkan kejahatan mereka dengan daya dan kekuatan-Nya serta memalingkan tindakan jahat mereka darinya. Dalam menyikapi mereka beliau selalu mengambil sikap pemaaf dan lapang dada. Hal yang paling beliau sukai adalah bila seseorang di antara mereka meminta maaf kepada beliau, maka beliau lekas memaafkannya. Beliau tidak pernah membalas dendam kepada seorangpun setelah beliau menang dan menguasainya. Seandainya (dulu, ed) Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk membinasakan beliau, tentulah mereka menghabisi dan mencincang beliau. Sungguh beliau mengetahui benar hal itu, namun beliau tidak pernah melampiaskan dendam setelah beliau menguasai dan meraih kemenangan, yaitu di saat mereka datang kepada beliau dengan berbondong-bondong seraya tunduk patuh, baik suka maupun terpaksa. Beliau justeru menyikapinya dengan kasih sayang sehingga beliau berpaling dari apa yang pernah mereka lakukan terhadap beliau, seolah tidak pernah ada apa-apa dari mereka. Beliau menampakkan kepada mereka sikap ramah dan akrab serta  sikap baik, pemberian dan pemuliaan. Akhlaq semacam ini tidak dapat digapai, kecuali oleh orang-orang yang baik dan mulia, ulama hebat yang Allah hiasi dengan taqwa, manfaat dan hidayah.
Syaikh terus dalam perjalanannya sedangkan kendali urusan, pengambilan dan pemberian, pengedepanan dan pengakhiran ada di tangannya. Tidak ada sesuatu pasukanpun yang diberangkatkan dan tidak muncul satu pendapatpun dari Muhammad ibnu Su’ud dan puteranya, yaitu ‘Abdul ‘Aziz, melainkan berasal dari ucapan dan pendapat beliau. Kemudian takala Allah memberikan bagi mereka kemenangan atas Riyadh ~sebagaimana yang akan dijelaskan nanti~ dan wilayah Islam meluas serta perjalanan menjadi aman juga semua kawasan badui dan kota tunduk. Maka Syaikh menjadikan kendali urusan di tangan ‘Abdul ‘Aziz ibnu Muhammad ibnu Su’ud. Beliau menyerahkan urusan kaum muslimin dan Baitul Mal kepadanya, beliau melepaskan diri dari sibuk dengannya dan beliau menyibukkan diri dengan ibadah dan pengajaran ilmu. Akan tetapi ‘Abdul ‘Aziz tidak memutuskan suatu urusanpun tanpa menyertakan beliau dan tidak melaksanakannya kecuali dengan izinnya.
Beliau rahimahullah menghidupkan mayoritas malamnya denganqiyamullail. Beliau shalat tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Sikap beliau hati-hati dan penuh pengkajian dalam pelaksanaan berbagai putusan. Hawa nafsu tidak memalingkannya dari syari’at dan permusuhan tidak menghalanginya dari al haq. Beliau memutuskan dengan putusan yang nampak kebenaran ~di hadapan beliau~ di dalamnya. Bila beliau mendapatkan suatu nash dari Kitabullah atau Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau memegangnya dan tidak berpaling darinya, bila tidak, maka beliau merujuk pada Kitab-Kitab Imam yang empat serta beliau mengkajinya dengan penuh kejelian, penelitian dan pembahasan.
Walaupun Allah memberikan limpahan karunia terhadap Baitul Mal dari harta-harta rampasan, akan tetapi beliau rahimahullah zuhuddan menjaga diri, tidak memakan harta itu, kecuali dengan ma’ruf. Beliau adalah orang yang dermawan, tidak pernah menolak orang yang meminta dan beliau tidak meninggalkan sedikitpun harta yang bisa dibagikan di antara ahli warisnya, bahkan justeru beliau memiliki banyak utang yang Allah telah membayarkannya…
Allah Ta’ala telah memilihnya untuk kembali kehadirat-Nya di hariSenin akhir Syawwal 1206 H dalam usia kurang lebih 92 tahun. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya dengan rahmat yang luas dan memasukkan beliau ke dalam surga-Nya serta membalas kebaikan atas jasanya bagi Islam dan muslimin, sebagai balasan syari’at Allah yang beliau hidupkan dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang beliau kembalikan.

Karya tulis beliau di antaranya:
  • Kitabut Tauhid Fiimaa Yajibu Min Haqqillah ‘Alal ‘Abiid
  • KItabul Kabaa-ir
  • Kitab Kasyfusy Syubuhat
  • Kitab As Sirah Al Mukhtasharah
  • Kitab As Sirah Al Muthawwalah
  • Kitab Mukhtashar Al Hadyu An Nabawiy
  • Kitab Majmuu’ Al Hadits ‘Ala Abwaabul Fiqhi
  • Kitab Mukhtashar Asy Syarhul Kabir
  • Kitab Mukhtashar Al Inshaf

 Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga memiliki banyak risalah, sebagiannya panjang lebar dan yang sebagian lainnya ringkas.
Dari
Kitab Tarikh Nejed
Syaikh Husain ibnu Ghunnam

Selesai diterjemahkan 
Senin, 3 Jumada Ats Tsaniyyah 1428 H/ 2007 M
Di LP Sukamiskin Bandung UB 30




[1] Beliau wafat tahun 1165 h dan di antara karya tulisnya :
  • Tuhfatul Anaam fil ‘Amal Bi Hadits An Nabiy ‘alaihi Afdlalush shalatu wassalaam
  • Tuhfatul Muhibiin fii Syarhil Arba’iin. (Lihat ‘Unwaanul Majdi : 34)
 (sumber; Ashabul kahfi site)

wdcfawqafwef