MU'TAH

“Pada Perang Mu’tah, Sembilan bilah pedang patah di tanganku, hingga tidak tersisa kecuali sebilah pedang pendek dari Yaman.” (Khalid bin Walid).

Bagi saya, Mu’tah sangat berkesan. Ia lambang konfidensi tertinggi, juga lambang pengorbanan untuk sebuah keyakinan atas nama kebenaran. Mu’tah adalah nama sebuah desa kecil tempat terjadinya konfrontasi militer pertama antara tentara Islam dengan super power masa itu, Romawi. Pengiriman ekspedisi militer ini disebabkan terbunuhnya duta rasulullah yang membawa surat resmi seruan dakwah, oleh gubernur Romawi. Pembunuhan duta suatu negara yang membawa pesan perdamaian adalah penghinaan berat. Selain itu, pembunuhan ini dapat menyebabkan instabilitas bagi eksistensi komunitas Islam yang masih muda. Musuh-musuh Islam akan kembali meremehkan dan menimpakan gangguan kepada kaum muslimin. Karena itu Rasulullah mengambil tindakan tegas, menyerang Romawi di tempat mereka!


Tiga ribu tentara disiapkan. Dan tahukah anda berapa jumlah tentara Romawi yang akan di hadapi? Duaratus ribu! Jangankan kita, bahkan para tentara yang di didik langsung oleh Rasulullah ini juga gamang. Di Mu’an, beberapa mil sebelum Mu’tah, akhirnya mereka mengetahui jumlah tentara yang akan dihadapi. Belum pernah sebelumnya kaum muslimin menghadapi musuh sebanyak ini. Mereka ragu dan berhenti sejenak, dengan kebingungan apakah mundur atau menanti bala bantuan dari Madinah. Tapi salah satu Panglima Militer Islam, Abdullah bin Rawahah bangkit seraya meniupkan semangat heroik untuk meraih surga. Segera para mujahid ini berdiri memenuhi seruannya. Mereka adalah manusia yang langsung mendapatkan tarbiyyah dari Muhammad sang nabi, dan mereka membuktikan kualitasnya, mengganti ragu dengan semangat untuk maju.

Abdullah adalah salah satu panglima? Ya. Rasulullah memang menunjuk tiga sahabat pilihan sebagai panglima. Zaid bin Haritsah, anak angkat tersayang beliau sebagai panglima pertama. Ja’far bin Abi Thalib, sepupu beliau sebagai panglima kedua, dan Abdullah bin Rawahah, pemuka Anshar penolong beliau, sebagai panglima ketiga. Ada kisah menarik dari penunjukan panglima ini. Rasul berpesan bahwa Zaid adalah komandan tertinggi. Jika ia syahid, Ja’far mengganti tempatnya, dan jika ia syahid, Abdullah yang mengambil bendera. Dan jika ia syahid, seluruh tentara dipersilahkan memilih sendiri panglima yang mereka sepakati. Dari taklimat sang nabi, sebenarnya ada isyarat yang terang benderang dan dipahami semua sahabat bahwa ketiga panglima ini insyaAllah akan gugur sebagai syuhada’. Dan apakah mereka mundur? Tidak! Selangkah pun mereka tidak surut untuk menukar surga dengan dunia.

Dan itulah yang terjadi. Dari sisi perhitungan militer manapun, sulit diharapkan kemenangan tigaribu tentara melawan duaratus ribu. Apalagi perlengkapan militer Romawi jauh lebih unggul dan lebih lengkap. Tetapi seluruh mujahid muslim menyerbu lawannya tanpa ragu. Zaid sang panglima pertama berlaga dengan gagah di atas kudanya. Ia menyerbu bagai badai. Segera tentara musuh mengepung untuk meruntuhkan bendera kaum muslimin yang ada di genggamannya. Dengan senyum terkembang ia menyongsong datangnya bidadari surga lewat pralaya sabilillah. Zaid syahid. Seorang saksi menyatakan bahwa ditemukan tujuhpuluh dua luka tusukan pedang, tombak dan hantaman panah di tubuhnya. Semuanya di bagian depan. Tidak ada yang di punggung.

Ja’far segera megambil alih bendera sebelum jatuh ke tanah. Ia maju sebagai panglima kedua. Kudanya segera ditebas musuh. Berjalan kaki, ia bertempur dengan perwira ditengah hutan kepungan tentara Romawi. Seorang musuh menebas putus tangan kanan Ja’far yang memegang bendera, ia beralih memegang dengan tangan kiri. Musuh yang lain datang menebas tangan kirinya, bendera itu ia peluk dengan kedua pangkal lengan yang tersisa. Ja’far khawatir jatuhnya bendera akan meruntuhkan moral pasukan Islam. Hal ini membuka kesempatan musuh untuk menghujani tubuhnya dengan tikaman tombak. Ja’far syahid dengan bendera tetap berdiri dipelukannya. Rasulullah mempersaksikan bahwa kedua tangan Ja’far yang putus diganti dengan sayap, yang mengantarkannya ketempat manapun ia mau di Surga. Ja’far mendapat gelar kehormatan at-Thayyar fi-l-Jannah, (yang terbang di surga).

Abdullah maju mengganti Ja’far. Peperangan semakin sengit. Suara pedang beradu bertalu-talu. Sejenak ia ragu, tapi bayangan taman-taman surga menggodanya. Ia membentak nafsunya, “wahai jiwa, kulihat engkau enggan meraih surga. Demi Allah engkau harus maju dengan sukarela atau kupaksa.” Maka ia maju bertempur menyongsong syahid, meyusul kedua sahabatnya. Rasulullah menceritakan bahwa ketiga panglima perkasa itu duduk berdampingan di surga diatas dipan-dipan bertahtakan permata.

Bendera di raih Tsabit bin Arqam agar tetap berkibar. Ditengah kecamuk perang ia berteriak nyaring kepada semua tentara untuk memilih seorang panglima baru. Mereka sepakat mengangkatnya, tapi Zaid menolak. Ia merasa tidak mampu, dan didikan sang rasul menjauhkannya dari jabatan. Ia menyerahkan bendera kepada Khalid bin Walid, mantan panglima Quraisy yang kondang kepiawiannya dalam peperangan. Khalid dengan rendah hati menolak, karena ia baru saja masuk Islam, sementara banyak sahabat yang lebih senior. Tapi semua tentara menghendaki Khalid menjadi panglima. Panglima baru ini segera meraih bendera dan menyusun strategi. Ia naik ke tempat tinggi. Matanya tajam menyorot medan laga, menganalisa. Benaknya melihat kemungkinan tentaranya habis disapu gelombang besar pasukan Romawi. Segera otaknya bekerja, memikirkan taktik penarikan mundur, menghindarkan sisa pasukan dari kehancuran total. Sayap kanan pasukan ia perintahkan berpindah ke sayap kiri, dan sebaliknya. Pasukan garis belakang ia pindah ke depan dan sebaliknya.

Melihat pergerakan pasukan Islam, tentara Romawi kaget. Mereka menyangka telah datang bantuan dari Madinah. Mereka jeri. Segelintir pasukan Islam ini telah membuat mereka repot dan menimbulkan kerugian jiwa yang besar di kalangan prajurit Romawi, apalagi jika ditambah dengan bantuan yang baru datang. Mereka menahan serangan. Melihat ini perlahan Khalid menarik tentaranya mundur sambil sesekali melancarkan serangan sporadis. Tentara Romawi menyangka serangan sporadis ini adalah pancingan agar mereka mengejar tentara Islam, dan telah menanti jebakan militer bagi mereka di tengah padang pasir. Akhirnya mereka menahan diri tidak mengejar tentara Islam dan memilih pulang. Tentara Islam sukses mengundurkan diri dari peperangan dengan korban minimal, hanya duabelas jiwa gugur sebagai syahid.

Dunia Arab terperangah. Tidak ada satu orang Arab pun sebelumnya yang berani menantang Romawi kecuali pasukan Islam, dan mereka berhasil. Peperangan ini menimbulkan respek dan keseganan di kalangan Arab. Mereka semakin mengakui eksistensi kaum muslimin. Yang ajaib adalah ketika kalangan kafir Arab kagum atas keberhasilan ini, justru penduduk Madinah mencemooh pasukan yang kembali. Mereka meneriaki Khalid dan tentaranya dengan Farrar (orang yang melarikan diri). Keimanan mereka kepada Allah dan rasulnya tidak mentoleransi sedikitpun ketundukan kepada kaum kafir. Bagi mereka, berperang adalah untuk meraih salah satu dari dua kemenangan, menang di dunia ataukah syahid meraih surga. Tapi Rasulullah membela Khalid dan pasukannya. Beliau membantah sebutan farrar, bahkan menggelari mereka dengan Karrar (yang akan kembali). Sungguh Rasulullah tidak pernah berdusta. Lima tahun kemudian Khalid dan tentaranya kembali, menghancurkan dominasi Romawi dan mengusir mereka untuk selama-lamanya dari jazirah Arab. Ia mengalahkan Romawi dalam pertempuran legendaris, perang Yarmuk.

Maha benar Allah dan Ia maha besar.

Porong 27 Juni 2012.

Nur Rachmat Hidayat.

wdcfawqafwef