Apakah Keluarnya Darah Sehari atau Dua Hari Menjelang Kelahiran Tetap Mewajibkan Wanita Shalat ?


Bahasan ini erat kaitannya dengan darah yang keluar pada wanita hamil, apakah ia dihukumi darah haidl, darah nifas, atau darah istihaadlah ?. Jika ia merupakan darah haidl atau nifas, maka tidak wajib shalat[1]. Namun jika ia merupakan darah istihaadlah, maka tetap wajib shalat[2]. Melalui artikel ini, akan dituliskan bahasan ringkasnya semoga dapat menjadi pemahaman bagi kita bersama.
Darah haidl, secara bahasa Al-Maawardiy rahimahullah menjelaskan :
وَسُمِّيَ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ الْمَرْأَةِ ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِ : حَاضَ السَّبِيلُ ، وَفَاضَ إِذَا سَالَ..... الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ : الْحَيْضُ وَالطَّمْثُ وَالْعَرْكُ وَالضَّحِكُ وَالْإِكْبَارُ وَالْإِعْصَارُ
“Darah haidl dinamakan haidl, karena darah itu mengalir dari rahim wanita. Pengertian ini diambil dari perkataan : ‘haadlas-sailu idzaa faadla’ (banjir meluap)”…… Dan syara’ mempunyai enam nama untuk darah haidl, yaitu : al-haidlu, ath-thamtsu, al-‘arku, adl-dlahiku, al-ikbaaru, dan al-i’shaaru”.[3] 
Adapun secara terminologis, Al-Kasaaniy rahimahullah berkata :
اسم لدم خارج من الرحم لا يعقب الولادة مقدر بقدر معلوم في وقت معلوم
“Nama bagi darah yang keluar dari rahim wanita yang bukan disebabkan karena melahirkan, dengan dibatasi ukuran/lama dan waktu tertentu”.[4]
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
سيلان دم طبيعي يعتاد الأنثى في أوقات معلومة عند بلوغها وقابليتها للحمل
“Darah thabi’iy yang mengalir (dari rahim) yang biasa dialami wanita pada waktu tertentu pada masa balighnya, sebagai tanda kesanggupan untuk hamil”.[5]
Jadi, darah haidl itu adalah darah yang keluar dari rahim pada waktu tertentu dan dengan batas waktu tertentu. Sifatnya periodik.
Darah istihadlah, secara bahasa Al-Jauhariy rahimahullah menjelaskan :
واستُحيضَت المرأة، أي استمر بها الدم بعد أيامها، فهي مستحاضة
“Wanita yang mengalami istihadlah, yaitu darahnya terus keluar setelah hari-hari haidlnya, dan ia disebut mustahaadlah.[6]
Al-Fairuuz Abaadiy rahimahullah berkata :
والمستحاضة من يسيل دمها لا من الحيض بل من عِرق العاذل
Al-mustahaadlahadalah wanita yang darahnya mengalir bukan dari (sebab) haidl, namun dari urat yang terputus”.[7]
Adapun secara terminologis, Abu Bakr Al-Husainiy rahimahullah berkata :
الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس
“Darah yang keluar di luar hari-hari haidl dan nifas”.[8]
Darah nifas, secara bahasa dikatakan :
ولادة المرأة إذا وضعت، فهي نفساء، والنفس : الدم
“Perempuan ketika ia melahirkan disebut nufasaa’. Dan an-nafs artinya darah”.[9]
Adapun secara terminologi, definisi nifas adalah :
إسم للدم الخارج عقب الولادة، مشتق من تنفس الرحم به
“Kata bagi darah yang keluar mengikuti proses kelahiran, musytaq dari tanaffasa ar-rahmu bihi (rahim mengeluarkan darah)”.[10]
Kembali pada bahasan di judul…..
Melihat definisi yang disebutkan di atas, darah yang keluar menjelang proses kelahiran tidak tepat jika disebut darah haidl, karena tidak memenuhi aspek lama dan waktu tertentu sebagai satu siklus yang bisa diperkirakan.[11] Para ulama berselisih pendapat apakah darah tersebut termasuk katagori darah nifas ataukah bukan.
Ulama dari kalangan madzhab Syaafi’iyyah dan Hanaabilah mengkatagorikannya sebagai darah nifas. Ini juga merupakan pendapat Ishaaq, Ibraahiim An-Nakhaa’iy, dan penduduk Madiinah. Hanya saja menurut pendapat Maalikiyyah, darah tersebut dikatagorikan darah haidl(dan ini tidak tepat sebagaimana disinggung sebelumnya).[12] Alasan mereka : apabila darah tersebut keluar karena akan terjadi proses melahirkan/persalinan, maka termasuk katagori darah nifas, sebagaimana darah yang keluar pasca melahirkan. Apalagi ditandai dengan gejala-gejala rasa sakit, mulas, dan yang semisalnya.
Ulama dari kalangan madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa darah yang keluar sebelum proses keluarnya anak bukanlah darah nifas, akan tetapi termasuk katagori darah istihaadlah.[13] Darah tersebut keluar karena pecahnya pembuluh darah. Tidak ada bedanya antara sehari dua hari atau sebelum dua bulan sebelum melahirkan.
Yang kuat di antara dua pendapat tersebut adalah pendapat Hanaafiyyah, karena hakekat darah nifas adalah akibat proses kelahiran sebagai bagian dari proses pengembalian fungsi rahim/sistem reproduksi wanita pada keadaan semula. Jika belum terjadi kelahiran, tidak ada darah nifas. Selain itu dikuatkan juga oleh batas maksimal darah nifas selama 40 hari, dimana waktu tersebut dihitung mulai waktu kelahiran, bukan sebelum (terjadinya) kelahiran.
Dengan demikian, keluarnya darah sehari atau dua hara menjelang kelahiran tidaklah menggugurkan kewajiban shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain bagi seorang wanita.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
Bahan bacaan : Ahkaamul-Mar’atil-Haamil oleh ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Khathiib, Min Ahkaamil Mar’atil-Haamil fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Dr. Muhammad Nabhaan Al-Haitiy, dan Al-Haidl wan-Nifaas Riwaayatan wa Diraayatan oleh Dibyaan bin Muhammad Dibyaan].
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 27012013 – 22:44].



[1]      Dalil wanita haidl tidak mengerjakan shalat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ الْمِصْرِيُّ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: .......أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي، مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Muhaajir Al-Mishriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Ibnul-Haad, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “…..Maksud kekurangan akal adalah, persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah (maksud) kekurangan akal. Begitu juga wanita tidak mengerjakan shalat di malam-malam yang ia lalui dan berbuka (di siang hari) bulan ramadlaan (karena haidl). Inilah maksud kekurangan agama (bagi mereka)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 79].
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، قَالَ: حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ: " أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ، كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَأْمُرُنَا بِهِ أَوْ قَالَتْ فَلَا نَفْعَلُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah : Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada ‘Aisyah : “Apakah kita (wanita) mengganti shalat setelah suci (dari haidl) ?”. ‘Aisyah berkata : “Apakah engkau seorang haruriyyah/khawarij ? Kami mengalami haidl di masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami mengganti shalat – atau tidak pernah mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 321].
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
أجمع أهل العلم لا اختلاف بينهم على إسقاط فرض الصلاة عن الحائض في أيام حيضها
“Para ulama telah sepakat tanpa ada perselisihan di antara mereka tentang gugurnya kewajiban shalat atas wanita yang sedang haidl pada hari-hari haidlnya” [Al-Ausath, 2/202].
Adapun dalil wanita nifas tidak mengerjakan shalat :
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ أَبُو بَدْرٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِي سَهْلٍ، عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: " كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، .... "
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Al-Waliid Abu Badr, dari ‘Aliy bin ‘Abdil-A’laa, dari Abu Sahl, dari Mussah Al-Azdiyyah, dari Ummu Samalah, ia berkata : “Dulu para wanita yang mengalami nifas duduk (tidak mengerjakan shalat) selama empat puluh hari di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam…..” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 139 dengan sanad lemah dengan sebab Mussah Al-Azdiyyah, seorang yang majhuul al-haal. Akan tetapi Asy-Syaikh Al-Albaaniy menghasankannya dalam Irwaaul-Ghaliil, 1/222-223 no. 201 dengan adanya syaahid dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu].
أَخْبَرَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ نَحْوًا مِنْ أَرْبَعِينَ يَوْمًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin Maahak, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Wanita yang sedang mengalami nifas duduk (tidak shalat) selama kurang lebih 40 hari” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 997 dengan sanad shahih].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي
“Para ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, taabi’iin, dan generasi setelah mereka telah bersepakat bahwa wanita yang sedang mengalami nifas meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat selama 40 hari, kecuali ia melihat dirinya telah suci (nifasnya berhenti) sebelum itu. Maka ia wajib mandi lalu mengerjakan shalat” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/181].
[2]      Dalilnya adalah :
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ. ح وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ عِرَاكٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " إِنَّ أَمَّ حَبِيبَةَ، سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّمِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: رَأَيْتُ مِرْكَنَهَا مَلآنَ دَمًا، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي "
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Ja’far, dari ‘Iraak, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : “Sesungguhnya Ummu Habiibah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang darah (yang keluar darinya)”. ‘Aaisyah berkata : “Aku melihat tempat cuciannya dipenuhi darah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Tetapilah seukuran waktu, lalu mandilah, dan kerjakan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 334].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا، إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Faathimah bintu Abu Hubaisy pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang sering mengalami istihadlahdan tidak pernah suci. Apakah aku mesti meninggalkan shalat ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak. Ia hanyalah darah yang berasal dari urat, bukan haidl. Apabila haidlmu telah datang, berhentilah shalat. Namun jik atelah selesai, maka bersihkanlah darahmu, lalu mandilah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 228].
[3]      Al-Haawiy, 2/378-379 – dengan peringkasan.
[4]      Badaai’ush-Shanaai’, 1/39.
[5]      Tanbiihul-Afhaam Syarh ‘Umdatil-Ahkaamoleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin, 1/123 – dicetak bersama Taisirul-‘Alaam.
[6]      Ash-Shihaah, 3/1073, tahqiq : Ahmad bin ‘Abdil-Ghafuur ‘Athaar.
[7]      Al-Qaamus Al-Muhiith, 2/329.
[8]      Kifaayatul-Akhbaar, 1/46.
[9]      Lisaanul-‘Araboleh Ibnul-Mandhuur 6/228 dan Al-Qaamus Al-Muhiith oleh Al-Fairuuz Abaadiy 2/255.
[10]     Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 2/19 dan Hilyatul-‘Ulamaa’ oleh Al-Qaffaal 1/298.
[11]     Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat mengenai darah yang keluar selama masa kehamilan. Ada dua pendapat dalam hal ini :
a.      Darah yang muncul saat masa kehamilan dihukumi sebagai darah haidl yang mewajibkan untuk meninggalkan shalat.
Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah dan Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadiid, bahkan ini yang mu’tamad dalam madzhabnya. Telah diriwayatkan dari Az-Zuhriy, Qatadah, Al-Laits, dan Ishaaq. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang shahih dari ‘Aisyah. Ini juga merupakan pendapat Yahya bin Sa’iid, Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman, dan Ibnu Abi Salamah.
b.      Darah yang muncul di masa kehamilan bukanlah darah haidl, namun ia hanyalah darah rusak, sehingga wanita tersebut tidak boleh meninggalkan shalat.
Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Tsaubaan; dan hal itu merupakan perkataan jumhur tabi’in, diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Atha’, Al-Hasan, Jaabir bin Zaid, ‘Ikrimah, Muhammad bin Al-Munkadir, Asy-Sya’biy, Mak-huul, Hammaad, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Sulaiman bin Yasaar, dan ‘Ubaidillah bin Al-Hasan.
Yang rajih dari dua pendapat di atas adalah pendapat yang kedua, dengan dalil diantaranya :
·            Hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidak boleh dikumpuli/digauli hingga ia melahirkan; dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga dia haidl sekali” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2157, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/124, Ad-Daarimiy no. 2341, dan yang lainnya; shahih lighairihi].
Adanya haidl menjadi indikasi atas bersihnya rahim dimana semua itu menunjukkan bahwa kehamilan tidak bisa bersatu dengan haidl.
·            Hadits Salim dari bapaknya, bahwa bapaknya (Ibnu ‘Umar) telah menceraikan istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
 “Perintahkanlah ia untuk merujuknya, kemudian agar ia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1471 dan Ahmad 2/58].
Hamil telah dijadikan indikasi atas tidak adanya haidl, sebagaimana suci dijadikan indikasi haidl. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :
فأقام الطهر مقام الحمل". والله عز وجل يقول: ﴿ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ﴾ [الطلاق: من الآية : 1]. أي بالطهر في غير جماع
“Kedudukan suci menempati kedudukan kehamilan. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Maka hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar)’ (QS. Ath-Thalaq : 1). Yaitu : dalam keadaan suci sebelum dicampuri” [lihat TafsiirAth-Thabari, 23/432].
[12]     Mughnil-Muhtajoleh Asy-Syarbiiniy 1/293, Kasysyaaful-Qinaa’ oleh Al-Bahuutiy 1/202, Al-Mughniy oleh Ibnu Qudaamah 1/362, Hasyiyyah Al-‘Adawiy Ma’a Haasyiyyah Al-Khurasyiy  1/209.
[13]     Al-Hidaayah ma’a Syarh Fathil-Qadiir oleh Al-Marghinaaniy 1/186.

wdcfawqafwef