Nyadran dan Cheng Beng

  • Inilah bukti-bukti jauhnya dari Islam
 Nyadran dan Cheng Beng
DI KALANGAN masyarakat tertentu, ada ritual populer yang dilakoni setidaknya setahun sekali, terutama di bulanyang mereka sebut Ruwah alias bulan Sya’ban, yaitu Nyadran atau Sadranan. Ada yang mengatakan Sadran berasal dari kata “Sodrun” yang secara harfiah artinya tidak waras.
 Konon, pada masa sebelum Walisongo berdakwah, sebagian masyarakat di Pulau Jawa banyak yang berperilaku tidak waras (sodrun), seperti menyembah pohon, batu, hewan dan sebagainya, sambil membawa sesajen berupa makanan, serta diiringi pembacaan mantra.
 Pada masa Walisongo, ritual sodrun tersebut kemudian ‘diwaraskan’ sehingga yang semula menyembah pohon, batu, hewan dan sebagainya, menjadi menyembah kepada Allah. Mantra-mantra yang dibaca diubah menjadi doa-doa dalam bahasa Arab, dan sesajen diubah menjadi makanan yang dinikmati bersama.
 Namun ada juga yang mengatakan bahwa nyadran atau sadran berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Sraddha yang secara harfiah berarti keyakinan. Konon, itu sebuah keyakinan yang sudah mentradisi sejak zaman Hindu-Budha.
 Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa kata Sadran berasal dari bahasa Arab yaitu Sod’ru yang secara harfiah bermakna suatu doa yang ditujukan kepada leluhur yang sudah berada di alam kubur atau yang sudah meninggal dunia.
 Menurut Karkono Kamajaya, pakar budaya Jawa, dalam bukunya berjudul Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, Nyadran atau sadranan berarti melaksanakan upacara sadran. Upacara ini diadakan setiap tahun yaitu pada bulan Sya’ban (Ruwah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa bulan Ramadhan.
 Dalam prakteknya, menurut Karkono, Nyadran dilangsungkan dengan selametan di rumah atau di makam, dengan membuat makanan berupa ketan, kolak dan apem, ditambah sesaji yakni dengan membakar kemenyan dan menyajikan kembang setaman. Menurut Karkono pula, Nyadran adalah suatu perwujudan PENGAGUNGAN TERHADAP ARWAH LELUHUR.
 Nyadran konon sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Majapahit (1293 hingga 1500 M). Barulah pada abad ke-15 dakwah walisongo ‘mengislamkan’ tradisi kaum pagan itu menjadi sebuah ritual yang sinkretik bahkan cenderung musyrik.
 Tradisi MENGHORMATI LELUHUR ternyata juga dipraktekkan oleh masyarakat keturunan CINA, namanya CHENG BENG. Ziarah kubur, membersihkan kubur para leluhur dan sembahyang kubur yang dilakukan masyarakat keturunan Cina ini, dilengkapi dengan membawa beragam sesaji untuk para leluhur, berupa kue basah dan kue kering, buah-buahan, minuman, lauk pauk, hio, lilin, uang-uangan berupa kertas berwarna kuning. Tak beda dengan nyadran.
 Kemungkinan tradisi nyadran merupakan bawaan para keturunan Cina, karena Cheng Beng yang mirip nyadran ini sudah dipraktekkan orang-orang Cina di negerinya sejak 200 tahun sebelum masehi.
 Dari fakta ini semakin jelas, bahwa nyadran tidak berasal dari Islam dan tidak juga dari akar budaya lokal. Tetapi, pengaruh dari Cina yang kemudian membaur dengan kepercayaan Hindu-Budha yang saat itu dianut masyarakat.
 Meski sudah ‘diwaraskan’ dan ‘di-Islamkan’ oleh para wali, namun unsur TBC (tahayul bid’ah dan churafat) serta nuansa sinkretik mistis yang cenderung musyrik masih tetap terasakan. Bahkan, nyadran pada sebagian masyarakat menjadi medium membangun forum lintas agama.
 Misalnya, sebagaimana terjadi di Desa Ngemplak Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, ratusan umat Islam dan Katolik di sana melaksanakan tradisi nyadran bersama dengan membawa makanan di kompleks makam Kyai Ledok yang dipercaya sebagai pendiri desa Ngemplak. Peristiwa tersebut berlangsung pada hari Jumat tanggal 31 Mei 2013.
 Di depan makam Kyai Ledok dan Nyi Ledok mereka melakukan doa bersama. Doa pertama dilakukan kaum muslim dan doa kedua oleh umat Katolik. Saat warga beragama Islam melantunkan Yasin dan Tahlil, warga Katolik tidak ambil bagian. Begitu juga ketika warga beragama Katolik memanjatkan doa, warga Muslim hanya menyaksikan dan terdiam.
 Acara doa bersama, dilanjutkan dengan acara makan bersama, saling tukar dan berbagi makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Tradisi nyadran bersama ini telah berlangsung sejak dulu dan rutin setiap tahun digelar setiap Jumat Kliwon bulan Rajab.
 Di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, tradisi nyadran dinamakan Upacara Adat Bersih Dam Bagong. Dam Bagong adalah sistem irigasi yang membagi aliran sungai Bagong untuk mengairi persawahan di Kota Trenggalek. Konon, Dam Bagong dibangun oleh Ki Ageng Menak Sopal yang juga merupakan pendiri cikal bakal kota Trenggalek.
 Ritual Nyadran di Trenggalek ini biasanya diikuti oleh para pejabat daerah dan warga masyarakat, diawali dengan tahlilan di samping makam Ki Ageng Menak Sopal, dilanjutkan dengan ziarah makam. Sementara itu, di halaman kompleks makam disajikan hiburan tarian kepahlawanan khas Trenggalek, yaitu jaranan yang brnuansa mistis.
 Sebagai puncak acara Nyadran adalah melarung tumbal kepala kerbau ke sungai. Sebelum larung kepala kerbau berlangsung, biasanya sejumlah warga telah bersiap-siap di dalam sungai untuk memperebutkan kepala kerbau yang dilarung tadi. Mereka percaya, dengan mendapatkan kepala kerbau, mereka akan memperoleh berkah dalam hidupnya. Sebagai penutup rangkaian prosesi Nyadran, digelar pertunjukkan wayang kulit.
 Di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ritual Nyadran dilakoni dengan membersihkan makam leluhur (makam Mbah Sanggem). Di pemakaman itu, mereka memanjatkan doa, memohonan ampun, dan menabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan tersebut dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang (tandu). Selain makanan, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga seperti mawar, melati, dan kenanga.
 Di Desa Wijirejo, Bantul, Yogyakarta, nyadran dilaksanakan di makam Panembahan Bodo alias Raden Trenggono, yang dianggap sebagai penyebar agama Islam di kawasan tersebut. Di Dusun Panjang Lor, Kabupaten Semarang, nyadran dilakukan di makam Nyi Tirto Tinoyo alias Nyi Panjang, yang diyakini merupakan istri dari Lurah pertama di kawasan itu. Sedangkan masyarakat di Desa Bulakan, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah,  menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Gesingan. Sementara itu, warga Desa Jetis, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menyelenggarakan ritual nyadran di kompleks pemakaman leluhur mereka yang terletak di di kaki Gunung Sumbing.
 Nah, terbukti khan, bahwa ritual nyadran yang katanya sudah ‘diwaraskan’ dan di-Islamkan oleh para wali, tetap saja tidak waras dan tidak Islami.
Allah Ta’ala telah menegaskan:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al-Ahzab/ 33: 36)
(haji/tede/nahimunkar.com)

wdcfawqafwef