Belakangan ramai dibicarakan adanya partai berplatform Islam yang mengangkat caleg non-muslim, khususnya di daerah minoritas Islam. Khabarnya, pendeta pun dijadikan incaran. Fenomenal memang, berani membuat inovasi. Seandainya tidak membawa nama Islam, tentu kita tidak peduli. Seandainya tidak membawa alasan Islam sebagai pelegalan, tentu kita juga tidak peduli. “Boleh meminta bantuan kepada kuffar untuk kepentingan kaum muslimin saat kondisi kaum muslimin lemah,”begitu kata sebagian mereka.
Setuju ?. Jelas lahir batin saya tidak setuju. Oleh karena itu, di sini sedikit akan saya tulis catatan ringkas terkait hal tersebut sebagai berikut:
1. Demokrasi adalah haram dalam Islam.
Demokrasi sangat bertentangan dengan ketauhidan yang telah mendudukkan manusia sebagai agen tandingan Allah dalam masalah hak pembuatan dan penetapan hukum. Allah ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah” [QS. Yusuf : 40].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
Orang muslim, mukmin, fasiq, kafir, musyriq, atau atheis mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem ini. Tidak ada satu paham pun yang dilarang mutlak oleh demokrasi, kecuali paham yang mengharamkan demokrasi.
2. Beberapa ulama yang membolehkan masuk dalam demokrasi (baca : berpartisipasi dalam Pemilu dan Parlemen) adalah dengan alasan darurat atau memilih mafsadat teringan di antara dua mafsadat.
Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ?” (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.
Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].
Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum masuk parlemen suatu negara yang belum menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh, maka beliau menjawab :
لابد من الدخول والمشاركة فى الحكومة وان ينوى الانسان بالدخول الاصلاح لا الموافقة على كل ما يصدر , وفى هذا الحال اذا لقى ما يخالف الشرع فانه يرده, وهو وإن لم يتبعه على ذلك اناس كثيرون يحصل بهم تقويته فى اول مرة او ثانى مرة او الشهر الاول او الثانى او الثالث او السنة الاولى او الثانية سوف يكون فى المستقبل له اثر طيب , أما التخلي عن ذلك فيُترَكُ المجال لأناس بعيدين من تحكيم الشريعة، فإن هذا تفريطٌ عظيم،لا ينبغي للإنسان أن يتَّصِفَ به
“Seseorang hendaknya masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang haruslah meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini, apabila dia mendapatkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Adapun membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi untuk orang-orang yang jauh dari sikap berhukum pada syari’at, merupakan peremehan yang besar. Tidak selayaknya bagi seseorang untuk bersikap seperti demikian” [Ad-Da’wah ilal-Jamaa’ah wal-I’tilaaf, hal. 155 – sumber : sini].
Seandainya ada orang yang masuk ke dalam parlemen, maka misinya harus diniatkan untuk perbaikan, khususnya memperjuangkan syari’at Islam dan kaum muslimin, dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan syari’at Islam. Harus tegas, tidak boleh memble.
3. Orang kafir tidak mungkin memperjuangkan syari’at Islam dan kaum muslimin, karena Allah ta’ala berfirman:
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar” [QS. Al-Baqarah : 105].
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” [QS. Al-Baqarah : 109].
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” [QS. Al-Baqarah : 120].
Inilah tabiat orang kafir yang membenci Islam dan kaum muslimin.
4. Orang yang duduk di parlemen (legislatif) dalam sistem demokrasi merupakan orang yang dipilih rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan keinginannya.
Saat masih menjadi caleg, banyak orang berkampanye mengobral janji akan melakukan begini dan begitu demi meraih simpati rakyat. Tujuannya jelas, saat Pemilu rakyat memilih/mencoblos dirinya. Tanpa itu, maka seorang caleg hanyalah caleg yang namanya bersejarah pernah menghiasi kertas suara Pemilu. Rakyat pun cenderung hanya akan memilih caleg yang seide dan sepaham saja, kecuali jika ada yang bermain money politic.
Menurut Anda, mungkinkah orang-orang liberal semisal komunitas Utan Kayu akan memilih caleg yang faqih agama ?. Mungkinkah orang-orang doyan korupsi akan memilih caleg anti korupsi ?. Mungkinkah orang-orang Kuda Mati (Ambon) akan memilih caleg dari Batu Merah ?. Mungkinkah orang-orang non-muslim memilih caleg muslim ?.
Ya, kecil kemungkinan, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
5. Berkaitan dengan beberapa butir yang telah disebutkan di atas, maka mengharapkan seorang caleg non-muslim memperjuangkan syari’at Islam dan kaum muslimin adalah MUSTAHIL.
Mengapa ?. Caleg tersebut merupakan representasi konstituennya dari komunitas non-muslim. Ia terpilih karena dipilih oleh konstituennya yang seide dan sepaham.
Jika demikian, mungkinkah caleg itu jika nanti benar-benar terpilih akan memperjuangkan syari’at Islam dan kaum muslimin ?. Mau tidak mau, ia mengemban misi dan di bawah tekanan konstituennya, sedangkan karakteristik umum konstituennya telah dituliskan pada butir 3.
Seandainya caleg itu secara pribadi benar-benar akan berjuang untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin – dan ini sulit dicerna akal - , kemungkinan besar konstituennya akan marah, mendemonya, dan memintanya untuk turun. Ingat sekali lagi,….. caleg itu berada di daerah minoritas Islam. Jangan dilupakan ini.
6. Menggunakan alasan bolehnya meminta bantuan kepada kuffardalam permasalahan ini adalah tidak tepat.[1]
Mereka berdalil dengan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
“Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan Abu Bakr mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad-Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2264].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang peristwa hijrah tersebut:
وَفِي الْحَدِيثِ اسْتِئْجَارُ الْمُسْلِمِ الْكَافِرَ عَلَى هِدَايَةِ الطَّرِيقِ إِذَا أُمِنَ إِلَيْهِ واستئجار الْإِثْنَيْنِ وَاحِدًا على عمل وَاحِدجَازَ
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa seorang muslim mengupah orang kafir untuk membantunya memberikan petunjuk jalan jika hal itu aman baginya, dan juga dua orang yang mengupah satu orang dalam satu perbuatan, itu adalah diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 4/442-443].
Kita katakan : Kita tidak pernah mengingkari pendalilan ini, karena memang boleh memperkerjakan orang kuffar untuk membantu sebagian urusan kita. Oleh karena itu, Anda boleh membayar orang kafir mengecat rumah Anda, mengupah tukang ojek kafir untuk mengantarkan ke tempat tujuan, berobat ke dokter kafir, dan yang lainnya yang semisal dengannya.
Mengangkat caleg itu bukan seperti hal-hal yang disebutkan di atas. Ini namanya qiyas ma’al-fariq. Mengangkat caleg dalam parlemen bukan seperti masalah mengupah tukang cat, tukang ojek, dan dokter. Adanya caleg di parlemen adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Di situlah hukum ditentukan, halal atau haram, maslahat atau mafsadat bagi Islam. Dan itu semua tidak akan dipahami, dimengerti, dan dilaksanakan kecuali oleh orang Islam.
Lebih tegas lagi Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 71].
Memperjuangkan Islam dan kaum muslimin dalam sistem demokrasi yang (asalnya) diharamkan bukan dengan cara mengangkat caleg non-muslim.
Jika kita melihat realitas (waaqi’) orang-orang partai yang akan mengangkat caleg non-mulsim itu, maka kita dapatkan beberapa track record sebagai berikut :
a. Mulai melakukan cara-cara partai abangan untuk menarik simpati rakyat demi kemenangan dan kursi parlemen, seperti : lomba domino (gaple)[2], gangnam style ria[3], harlem shake[4] (lebih pantas disebut pentas orang tak punya malu), mengucapkan selamat Natal[5], dan yang lainnya.
b. Mengisukan diri (atau memproklamirkan ? ) sebagai partai terbuka dan inklusif.[6]
c. Menegaskan bahwa partai tidak membawa misi penegakan syari’at Islam secara khusus, dalam konteks : Negara yang didasarkan pada agama/syari’at Islam.[7]
So what ?. Kok bisa ?
Kira-kira, jelas kan kalau melihat alur ceritanya hingga mereka akhirnya memutuskan (akan) mengangkat caleg non-muslim ?.
Tidak usah berdalam-dalam sebenarnya membahas di area fiqh jika berkaitan dengan partai ini, karena kita tahu mana badut yang sedang berdalil dan mana pula ulama yang sedang berdalil.
Semoga catatan singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 16061434/26042013 – 01:25].