قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian bersenang-senang di dalamnya (pada masa jahiliyah). Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua raya itu yaitu : Hari Raya Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Hari Raya Kurban (‘Iedul Adlha)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/178, Abu Daawud no. 1134, An-Nasaa’iy no. 1556, dan yang lainnya; shahih].
1. Mandi sebelum shalat ‘Ied
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ "
Dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum berangkat (ke mushalla) [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy no. 13; shahih].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: " سُنَّةُ الْفِطْرِ ثَلاثٌ: الْمَشْيُ إِلَى الْمُصَلَّى، وَالأَكْلُ قَبْلَ الْخُرُوجِ، وَالاغْتِسَالُ "
Dari Sa’iid bin Al-Musayyib ia berkata : “Sunnah ‘Iedul-Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju mushalla, makan sebelum keluar mushalla, dan mandi” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain no. 18 & 26; shahih].
Hukum di atas diqiyaskan pula untuk ‘Iedul Adlha kecuali makan sebelum keluar menuju mushalla (lihat keterangan selanjutnya).
2. Berpenampilan indah pada hari raya
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ عُمَرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَلْبَثَ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ، فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ وَأَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ الْجُبَّةِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا حَاجَتَكَ "
Dari Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : ‘Umar (bin Khaththab) mengambil sebuah baju dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya di hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda kepada ‘Umar : “Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat)”. Maka tinggallah ‘Umar sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah dari sutera. ‘Umar menerimanya lalu mendatangi beliau. Ia berkata : “Ya Rasulullah, dulu engkau pernah berkata bahwa pakaian ini merupakan pakaian orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat), dan engkau kemudian mengirimkan kepadaku jubah ini”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabdakepadanya : “Juallah ia atau penuhilah kebutuhanmu dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 948].
Al-Imaam Maalik rahimahullah berkata :
سَمِعْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ الطِّيبَ وَالزِّينَةَ فِي كُلِّ عِيدٍ
“Aku mendengar para ulama bahwa mereka menyukai memakai minyak wangi dan berhias pada semua hari ‘Ied” [Al-Mughniy, 4/228].
Dan disukai untuk memakai pakaian yang berwarna putih seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ
“Kenakan pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci dan lebih bagus” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2810, An-Nasaa’iy no. 1896 & 5322-5323, Ibnu Maajah no. 3567, dan yang lainnya; shahih].
3. Tidak makan sebelum shalat ‘Ied.
عَن بُرَيْدَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَانَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ، وَكَانَ لَا يَأْكُلُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَرْجِعَ
Dari Buraidah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri hingga beliau makan, sedangkan pada hari raya kurban (‘Iedul-Adlhaa) beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 542, Ibnu Maajah no. 1756, Ad-Darimi no. 1641, dan Ahmad 5/352; shahih].
4. Keluar menuju tanah lapang (mushalla)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha, lalu shalat bersama orang-orang...” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1576, Al-Baihaqiy 3/278, dan yang lainnya; shahih].
Diperbolehkan untuk shalat di masjid apabila terdapat ‘udzur yang menghalangi (hujan, sakit, dan lain-lain).
5. Mengambil jalan yang berlainan ketika pergi dan kembali dari tanah lapang (mushalla).
عَنْ جَابِرِ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari Jaabir, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 986].
6. Takbir hari raya
Kaum muslimin dianjurkan untuk melakukan takbir hari raya sebagai salah satu syi’ar agama Islam. Hendaknya takbir hari raya ini hanya diambil dari riwayat-riwayat yang shahih, seperti :
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tiada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah-lah segala pujian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5694-5695; shahih].
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
“Allah Maha Besar 3x dan bagi Allah-lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/315; shahih].
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar Kabiira 2x. Allah Maha Besar dan Maha Mulia. Allah Maha Besar dan untuk Allah-lah segala pujian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5689; shahih].
Takbir ‘Iedul-Adlha dimulai dari awal fajar hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) sampai dengan akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah) [lihat : Majmu’ Fatawaa 24/220 dan Subulus-Salaam 2/71-72].
7. Melaksanakan shalat ‘Ied.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin untuk melakukan shalat ‘Iedul-Adlha. Bahkan perintah ini juga berlaku bagi kaum wanita seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah radliyallahu ‘anha :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: " أَمَرَنَا تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ: الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ "
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita yang berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita yang sedang haidl untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 971 dan Muslim no. 890].
8. Boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at bila hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ "
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Ied. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Ied telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi kami mengerjakan shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1073, Al-Haakim 1/288, dan yang lainnya; shahih dengan keseluruhan jalannya[1]].
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ، قَالَ: وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ "
Dari An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca ketika shalat ‘Iedain dan shalat Jum’at surat sabbihisma rabbikal-a’laa (QS. Al-A’laa) dan hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyyah (QS. Al-Ghaasyiyyah)”. An-Nu’maan berkata : “Apabila berkumpul ‘Ied dan Jum’at dalam satu hari, maka beliau membaca kedua surat tersebut dalam dua shalat (yaitu : shalat ‘Ied dan shalat Jum’at)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 878].
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap menegakkan shalat Jum’at ketika dua hari raya berkumpul dalam satu hari.
Perlu diketahui bahwa dengan gugurnya kewajiban shalat Jum’at ini tetap mengharuskan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat Dhuhur. Bagi penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat Jum’at supaya dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Ied atau bagi orang yang ingin menghadiri Jum’at dari kalangan orang-orang yang tidak hadir shalat ‘Ied. Menghadiri keduanya (shalat Jum’at dan shalat ‘Ied) adalah lebih utama.
9. Diperintahkan untuk berkurban bagi yang mampu.
Allah ta’ala berfirman :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah” [QS. Al-Kautsar : 2].
- Waktu penyembelihan
Dimulai setelah shalat ‘Iedul-Adlha (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda :
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengulang dengan hewan yang lain” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5562].
وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Dan setiap hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) ada sembelihan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/82, Ibnu Hibbaan no. 3854, dan yang lainnya; shahih].
- Jenis binatang
Tidak boleh untuk berkurban kecuali binatang ternak (an’aam) yaitu : unta, sapi, dan kambing. Allah ta’ala berfirman :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
“Dan bagi setiap umat, Kami telah mensyari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak (bahiimatul-an’aam) yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka” [QS. Al-Hajj : 34].
Bahiimatul-an’aam dalam bahasa Arab adalah : unta, sapi, dan kambing.
- Umur binatang
i. Domba (dha’n) : 1 tahun penuh (jadza’).
ii. Kambing jawa (ma’z) : 2 tahun penuh dan memasuki tahun ketiga (tsaniyya).
iii. Sapi : 2 tahun penuh dan memasuki tahun ketiga (tsaniyya).
iv. Unta : 5 tahun penuh dan memasuki tahun keenam (tsaniyya).
- Sifat binatang
Sehat, gemuk, dan besar.
- Yang tidak boleh untuk kurban
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda :
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الضَّحَايَا: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا، وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقِي
”Empat binatang yang tidak boleh untuk binatang kurban : yang buta sebelah matanya yang jelas-jelas kebutaannya, yang sakit yang jelas-jelas sakitnya, yang pincang yang jelas-jelas pincangnya, dan yang tua yang tidak bersumsum (pada tulangnya)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1497, Abu Daawud no. 2802, An-Nasaa’iy no. 4369, Ahmad 4/284, dan yang lainnya; shahih].
Dalam hadits yang lain disebutkan juga beberapa sifat yang lain :
i. Muqaabalah : ujung telinganya dipotong sedikit dan dibiarkan menggelantung
ii. Mudaabarah : pangkal telinganya dipotong sedikit dan dibiarkan menggelantung
iii. Kharqaa’ : robek (pecah) telinganya
iv. Tsarmaa’ : telah tanggal (ompong) gigi serinya
- Larangan sebelum menyembelih.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda :
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا "
“Apabila telah masuk 10 hari (awal bulan Dzulhijjah) dan seseorang mempunyai binatang kurban yang dia ingin untuk menyembelihnya, maka janganlah ia mencukur rambut dan janganlah ia memotong kuku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1977].
- Disunnahkan untuk bersedekah dengan hewan kurban; dan boleh bagi si pekurban untuk memakan dan menyimpannya.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلَا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ، وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ "، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِي، قَالَ: " كُلُوا، وَأَطْعِمُوا، وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا "
Dari Salamah bin Al-Akwa’, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah ada sisa daging kurban di rumahnya pada hari ketiga”. Pada tahun selanjutnya para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, apakah kami akan lakukan seperti tahun lalu ?”. Beliau menjawab : “Sekarang, makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah. Tahun lalu aku melarangnya karena pada saat itu orang-orang dalam keadaan sulit dan aku ingin membantu mereka dengan daging kurban tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5569].
- Upah tukang sembelihan tidak boleh diambilkan dari hewan kurban.
Dari Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا، وَجُلُودِهَا، وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عَنْدِنَا
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan aku untuk mengurusi kurban-kurban; dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulitnya, dan apa yang dikenakannya. Dan aku tidak boleh memberi tukang sembelihan sedikitpun dari hewan kurban itu”. ‘Aliy berkata : “Kami memberikan upahnyadari sisi kami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1317].
- Tidak boleh menjual sesuatu darinya (hewan kurban).
Hadits pada butir h juga menjadi dalil tidak diperbolehkannya menjual sesuatu dari sembelihan hewan kurban. Semuanya (dari ujung kepala sampai ujung ekor) untuk disedekahkan, disimpan, atau dimakan. Adapun apabila daging (atau yang lain) telah disedekahkan/diberikan kepada orang-orang yang menerima, maka setelah itu terserah bagi si penerima tersebut : apakah mau dijual, disimpan, dimakan, atau diberikan lagi kepada orang lain. Inilah pendapat jumhur ulama dan yangrajih.
Wallaahu a’lam.
[repro : abooljaoozaa1425 H].