“Beliau itu seorang wali yang nggak mungkin salah. Di dadanya ada malaikat!,” begitulah kurang lebih ucapan yang pernah Penulis dengar beberapa waktu lalu. Jika hal tersebut benar, sungguh sangat menyedihkan………. Fenomena ini sedikit banyak menggambarkan kultur keberagamaan masyarakat kita. Kultus individu begitu kuat mengakar, dan… tidak jarang malah menjurus kepada perbuatan syirik. Individu-individu dijadikan barometer kebenaran umat. Bukan hal yang aneh, mungkin, bagi sebagian kita melihat seseorang begitu diagung-agungkan masyarakat, sampai-sampai dianggap sebagai pribadi yang ma’shum, calon penghuni surga, atau mengetahui kunci-kunci keghaiban. Kedatangannya membuat orang-orang mengerubunginya dengan mencium tangannya sambil membungkuk-bungkuk tanda hormat. Bahkan, .. ketika mati kuburannya menjadi ramai dikunjungi banyak orang untuk mencari barakah, mohon restu, mengadu segala kegundah-gulanaannya, berdoa meminta agar hajatnya bisa terlaksana, ataupun hanya sekedar ‘Yasinan’ di samping kuburnya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Ini merupakan musibah besar yang menimpa kaum muslimin akibat berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama.
Allah ta’ala berfirman :
يَأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاّ الْحَقّ
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (An-Nisaa’ : 171).
Ghuluw di sini adalah bentuk pemujaan secara berlebihan baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun keyakinan. Larangan Allah ta’aladalam ayat ini meskipun konteksnya berkaitan dengan Ahli Kitab – yaitu Yahudi dan Nashrani – , namun berlaku pula bagi umat Islam agar mereka jangan mengangkat kedudukan makhluk melampaui batas dari yang telah diberikan kepada mereka. Termasuk pula kepada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam , sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kamu memujiku secara berlebih-lebihan sebagaimana orang-orang Nashrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah (bahwa aku) : Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya “ (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan tidak mau dihormati dengan cara berdiri atas kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dikabarkan oleh shahabat Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu:
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ "
“Tak seorangpun yang lebih dicintai oleh para shahabat daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi bila mereka melihat beliau (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau, sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut” (shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi).
Apabila bersikap ghuluw terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang notabene adalah orang yang paling mulia dan paling taqwa adalah dilarang, lalu bagaimana jadinya apabila hal itu terjadi pada selain beliau?
Orang-orang shalih/wali adalah pribadi-pribadi yang tidak ma’shum, bisa salah dan benar. Selain itu, tingkat keshalihan harus dilihat apakah dia mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam aspek-aspek kehidupannya. Sebab tidak jarang orang-orang yang dianggap shalih, ternyata hanyalah orang biasa, atau bahkan seorang kahin/dukun (seperti banyak terjadi di masyarakat) – yang suka meramal nasib orang dan ngaku-ngaku mengetahui hal-hal ghaib. Sikap ‘nyleneh’ yang bertentangan dengan dalil sharih (jelas) dari seseorang, siapapun dia, adalah sesuatu yang wajib kita ingkari. Namun sebagian orang yang telah termakan racun ghuluw dan fanatik golongan akan mengatakan : “Kamu itu siapa, sedangkan beliau itu adalah wali Allah yang mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui. Beliau telah mencapai derajat Ma’rifat[1] sehingga sudah diampuni dosa-dosanya baik yang lampau dan yang akan datang”. Setiap anak keturunan Adam pasti pernah berbuat salah, tidak ada yang ma’shum kecuali Nabi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam (pernah) berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat “ (hasan, diriwayatkan Ibnu Majah).
Tidak ada seorangpun kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya ada yang diambil atau ditinggalkan[2].
Kultus individu ikut andil dalam menyemarakkan terjadinya praktek-praktek bid’ah, khurafat, dan syirik di kuburan para wali. Mengenai hal ini Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma menjelaskan ketika mengomentari ayat :
وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرا
“Dan mereka – kaum nabi Nuh – berkata : Janganlah kamu sekali-kali meninggalkan (penyembahan terhadap) sesembahan-sesembahan kamu dan (terutama) janganlah kamu sekali-kali meninggalkan (penyembahan terhadap) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr” (Nuh : 23);
dengan perkataannya : “Ini adalah nama orang-orang shalih dari kalangan kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka : Dirikanlah patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka. Maka orang-orang itupun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Namun setelah orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung itu disembah”. Ibnul-Qayyim rahimahullahmengatakan, “Banyak kalangan salaf yang berkata (tentang ayat ini) : Setelah mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka. Setelah masa demi masa berlalu, akhirnya patung-patung tersebut disembah.” Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Bahwa demikianlah sebab terjadinya penyembahan (terhadap patung) bermula dari kultus (ghuluwterhadap orang-orang shalih), dan akhirnya disembah”.[3]
Dan pada hari ini pun, tradisi syirik kaum Nuh masih tetap berlanjut. Bid’ah-bid’ah kubur menjadi semakin berkembang dan telah mencapai puncak keemasannya. Di Mesir muncul banyak kuburan-kuburan palsu yang diklaim sebagai kuburan Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak jauh-jauh ke Timur Tengah, di Indonesia pun dapat dengan nyata kita lihat. Beribu-ribu orang pada bulan-bulan tertentu mendatangi dan beribadah di kuburan-kuburan para wali seperti di Surabaya, Demak, Gresik, dan lain-lain. Mereka berkeyakinan bahwa si wali yang telah berada di liang kubur dapat berguna dan mendengar semua permintaan/doa mereka. Kubur itupun kemudian dianggap mempunyai ‘daya linuwih’ sebagai sumber barakah yang mampu berpengaruh pada keberuntungan hidup mereka. Masjid-masjid kemudian banyak dibangun dengan megah di atas pekuburan para wali[4]. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya mereka itu (orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Telah menjadi kesepakatan kaum muslimin yang berdasarkan nash-nash yang shahih bahwa haram hukumnya mendirikan masjid di atas kuburan dan melakukan shalat di dalamnya. Masjid tersebut harus dirobohkan apabila kuburan tersebut diketahui telah ada sebelum masjid itu dibangun[5].
Maka, kita sebagai seorang muslim harus menjauhi sikap ghuluw, khususnya terhadap pribadi-pribadi tertentu. Islam adalah agama pertengahan. Islam melarang ghuluw, tetapi juga melarang sikap meremehkan, menghina, atau merendahkan. Kita dilarang menyanjung secara berlebih-lebihan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hal-hal yang bid’ah atau kesyirikan. Tetapi juga bukan berarti kita mengabaikan dan meremehkan beliau sebagai seorang nabi dan rasul yang telah menunjuki kita kepada jalan yang benar (Islam). Sungguh, kita tidak bisa membalas apa-apa yang telah beliau lakukan terhadap kita, ummatnya. Kita hendaknya mengucapkan shalawat yang syar’ipada setiap kesempatan. Dan yang lebih penting lagi adalah kita hendaknya selalu mengikhlashkan niat terhadap segala macam amalan kita dengan mengikuti segala yang beliau perintahkan dan beliau larang (ittiba’). Dan seperti itu pulalah yang kita sikapi terhadap para ulama, orang-orang yang shalih lagi ahli ibadah, atau wali (yaitu tidak melakukan ghuluw) - yang tentu derajatnya masih jauh di bawah nabi.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Jauhilah oleh kalian sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena sikap melampaui batas dalam agama” (Silsilah Ash-Shahihah no. 1283).
لا تُشَدِّدُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ، فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشُدِّدَ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian mempersulit diri kalian sendiri hingga Allah akan mempersulit diri kalian, karena sesungguhnya suatu kaum telah mempersulit diri mereka sendiri maka Allah mempersulit mereka” (Shahih Jaami’ Ash-Shaghir6/3694).
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 28061434/07052013 – 23:14].
[1] Ini adalah keyakinan bid’ah dari sebagian kaum shufi dimana dalam derajat ini seseorang dianggap telah terlepas dari kewajibat-kewajiban syari’at dan ma’shum.
ليس أحد من خلق الله إلا ويؤخذ من قوله وترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “ (Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).