Para ulama berbeda pendapat tentang diri Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah, apakah ia seorang ulama beraqidah Asyaa’irah ataukah Ahlus-Sunnah (mengikuti madzhab salaf). Pendapat mainstream menyatakan bahwa Al-Khathiib seorang Asy’ariy, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Asaakir rahimahullah :
وكان يذهب إلى مذهب أبي الحسن الأشعري رحمه الله
“Dan ia (Al-Khathiib) mengikuti madzhab Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah” [Tabyiinul-Kadzibil-Muftariy, hal. 271].
Akan tetapi, ada teks lain yang menyatakan lain bahwa Al-Khathiib adalah seorang ulama beraqidah Ahlus-Sunnah, terutama dalam masalah sifat (Allah). Hal ini ditunjukkan dengan adanya risalah yang shahih ternukil dari beliau yang menjelaskan ‘aqidah beliau. Risalah tersebut adalah sebagai berikut :
أخبرنا الحافظ أبو الفضل محمد بن ناصر بن محمد بن علي البغدادي , قال : أخبرنا أبو الحسين المبارك بن عبد الجبار بن أحمد الصيرفي قراءة عليه , وأنا اسمع , في شوال سنة أربع وتسعين وأربع مئة , أخبرنا أبو بكر أحمد بن علي بن ثابت الخطيب :
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abul-Fadhl Muhammad bin Naashir bin Muhammad bin ‘Aliy Al-Baghdaadiy[1], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Husain Al-Mubaarak bin ‘Abdil-Jabbaar bin Ahmad Ash-Shairafiy[2]dalam qira’at yang dibacakan kepadanya dan aku mendengarnya pada bulan Syawal tahun 494 H : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin ‘Aliy bin Tsaabit Al-Khathiib :
أخبرنا أبو منصور محمد بن عيسى البزارـ بهمذان ـ حدثنا صالح بن أحمد الحافظ, قال : سمعت عبد الله بن إسحاق بن سيامرد يقول :
التقيت مع المروذي لي بطرسوس , فقلت له : يا أبا بكر , كيف سمعت أبا عبد الله يقول في القرآن ؟ .
قال : سمعت أبا عبد الله يقول :
القرآن كلام الله غير مخلوق , فمن قال : ( مخلوق ) , فهو كافر.
قلت : كيف سمعته يقول فيمن وقف ؟
قال : هذا رجل سوء , وأخاف أن يدعو إلى خلق القرآن .
قلت له : يا أبا بكر , كيف سمعت أبا عبد الله يقول في اللفظ ؟
قال : من قال : لفظه في القرآن مخلوق فهو جهمي .
قلت أنا له : وأيش الجهمي ؟ .
قال : شك في الله أربعين صباحاً .
قلت : من شك في الله فهو كافر .
قال : نعم.
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Manshuur Muhammad bin ‘Iisaa Al-Bazzaar[3] di Hamdzaan : Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin Ahmad Al-Haafidh[4], ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Ishaaq bin Sayaamard[5], ia berkata : “Aku pernah bertemu dengan Al-Marwadziy[6] di negeri Thursuus.
Aku berkata kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa yang engkau dengar dari perkataan Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Al-Qur’an ?”.
Ia (Al-Marwadziy) berkata : “Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : ‘Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan ‘makhluk’, maka ia kafir”.
Aku berkata : “Apa yang engkau dengar dari perkataan Abu ‘Abdillah tentang orang yang abstain (tidak mengatakan makhluk atau bukan makhluk) ?”.
Al-Marwadziy berkata : “Orang ini jelek, dan aku khawatir ia akan menyerukan Al-Qur’an adalah makhluk”.
Aku berkata padanya : “Wahai Abu Bakr, apa yang engkau dengar dari perkataan Abu ‘Abdillah dalam permasalahan lafadh (Al-Qur’an) ?”.
Al-Marwadziy berkata : “Barangsiapa yang mengatakan : ‘Pelafadhannya terhadap Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia Jahmiy”.
Aku berkata kepadanya : “Siapakah Jahmiy itu ?”.
Al-Marwadziy berkata : “Ia yang merasa ragu-ragu terhadap Allah selama 40 hari”.
Aku berkata : “Barangsiapa yang ragu terhadap Allah, maka kafir”.
Al-Marwadziy berkata : “Ya”
[sanad riwayat ini shahih].
أخبرنا الشيخ أبو طالب المبارك بن علي الصيرفي ـ إذناً ـ قال : أخبرنا أبو الحسن محمد بن مرزوق بن عبد الرزاق الزعفراني لي ـ قراءة عليه ـ وأنا اسمع في ربيع الأول من سنة ست وخمس مئة , قال : أخبرنا الخطيب الحافظ أبو بكر أحمد بن علي البغدادي قال :
Telah mengkhabarkan kepada kami Asy-Syaikh Abu Thaalib Al-Mubaarak bin ‘Aliy Ash-Shairafiy[7] – dengan seizinnya - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Marzuuq bin ‘Abdirrazzaaq Az-Za’faraaniy[8]secara qiraa’at kepadanya dan aku mendengarnya pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun 506 H, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Khathiib Al-Haafidh Abu Bakr Ahmad bin ‘Aliy Al-Baghdaadiy, ia berkata :
كتب إلي بعض أهل دمشق يسألني عن مسائل ـ ذكرها , ـ فأجبته عن ذلك ـ وقرأه لنا في جواب ما سئل عنه ـ فقال :
............
أما الكلام في الصفات :
فإن ما رُوي منها في السنن والصحاح مذهب السلف ـ رضوان الله عليهم ـ إثباتها , وإجراؤها على ظواهرها , ونفي الكيفية والتشبيه عنها .
وقد نفها قوم , فأبطلوا ما أثبته الله سبحانه , وحققها من المثبتين قوم ,فخرجوا في ذلك إلى ضرب من التشبيه والتكييف.
والقصد إن ما هو سلوك الطريقة المتوسطة بين الأمور , ودين الله بين الغالي فيه والمقصر عنه .
والأصل في هذا :
أن الكلام في الصفات فرع عن الكلام في الذات , ويحتذي في ذلك حذوه ومثاله , فإذا كان معلوماً أن إثبات رب العالمين عز وجل هو إثبات وجود ,لا إثبات كيفية , فكذلك إثبات صفاته , إنما هو إثبات وجود , لا إثبات تحديد وتكييف .
فإذا قلنا : لله تعالى يد , وسمع وبصر , فإن ما هي صفات أثبتها الله تعالى لنفسه , ولا نقول : إن معنى اليد : القدرة , ولا معنى السمع والبصر : العلم , ولا نقول : إنها جوارح , ولا نشبهها بالأيدي والأسماع والأبصار التي هي جوارح , وأدوات للفعل .
“Sebagian penduduk Damaskus telah menulis surat untuk bertanya kepadaku tentang beberapa permasalahan – lalu ia menyebutkannya - . Maka aku menjawab pertanyaan tersebut”. (Perawi – yaitu : Az-Za’faraaniy berkata : ) Lalu ia membacakan jawaban pertanyakan yang diajukan kepadanya. Ia (Al-Khathiib) berkata :
……..
“Adapun perkataan/penjelasan dalam masalah sifat (Allah) :
Sesungguhnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam kitab Sunan dan kitab Ash-Shihaah - sesuai dengan madzhab salaf ridlwaanullaahi ‘alaihim – adalah menetapkannya dan memberlakukannya sesuai dengan dhahirnya, serta menafikkan kaifiyyah dan penyerupaan darinya.
Sesungguhnya sekelompok orang telah menafikkannya (yaitu : sifat Allah), lalu mereka membatalkan apa-apa yang ditetapkan Allah subhaanahu wa ta’ala. Sebagian kaum yang lain menetapkannya dan membenarkan sifat Allah tersebut, namun justru mereka terjatuh dalam kekeliruan tasybiih dan takyiif.
Maksud pembahasan ini adalah menempuh jalan pertengahan dalam beberapa perkara, karena agama Allah terletak antara sikap berlebihan dan meremehkan.
Dan pokok dalam permasalahan ini adalah :
Sesungguhnya pembicaraan dalam permasalahan sifat (Allah) termasuk cabang dari pembicaraan tentang Dzaat (Allah). Kita ambil contoh : Telah diketahui bahwa penetapan Rabbul-‘Aalamiin adalah penetapan wujud (eksistensi), bukan penetapan kaifiyyah. Begitu juga dengan penetapan sifat-sifat-Nya, maka itu hanyalah penetapan wujuud (eksistensi), bukan penetapan batasan dan kaifiyyah-nya.
Apabila kita katakan : Allah ta’ala memiliki tangan, pendengaran, dan penglihatan; maka ia hanyalah merupakan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya. Kita tidak mengatakan : Sesungguhnya makna tangan adalah kekuasaan/kekuatan, dan makna pendengaran dan penglihatan adalah ilmu. Kita tidak pula mengatakan ia adalah anggota badan. Kita tidak boleh menyamakannya dengan dua tangan, pendengaran, dan penglihatan yang semua itu merupakan anggota badan yang digunakan untuk berbuat.
ونقول : إنما وجب إثباتها ؛ لأن التوقيف ورد بها , ووجب نفي التشبيه عنها ,لقوله تبارك وتعالى: ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ [ الشورى : 11] وقوله عز وجل : ﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴾ [الإخلاص : 4] .
ولما تعلق أهل البدع على عيب أهل النقل برواياتهم هذه الأحاديث , ولبسوا على من ضعف علمه , بأنهم يروون ما لا يليق بالتوحيد , و لا يصح في الدين , ورموهم بكفر أهل التشبيه , وغفلة أهل التعطيل , أجيبوا بأن في كتاب الله تعالى آيات محكمات , يفهم منها المراد بظاهرها , وآيات متشابهات , لا يوقف على معناها إلا بردها إلى المحكم , ويجب تصديق الكل والإيمان بالجميع , فكذلك أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم جارية هذا المجرى , ومنزلة على هذا التنزيل , يرد المتشابه منها إلى المحكم , ويقبل الجميع .
Dan kami berkata : Yang menjadi kewajiban hanyalah menetapkannya, karena nash-nash telah datang menetapkannya. Dan wajib untuk menafikkan penyerupaan darinya berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta’ala : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuuraa : 11), dan juga firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash :4).
Ketika ahlul-bid’ah mencela ahlun-naql dengan riwayat-riwayat hadits mereka dan membuat pengkaburan terhadap orang yang lemah ilmunya bahwasannya ahlun-naql meriwayatkan sesuatu yang tidak cocok dengan ketauhidan dan tidak dibenarkan agama, serta menuduh mereka dengan kekafiran Ahlut-Tasybiih dan kelalain Ahlut-Ta’thiil; maka Ahlun-Naql menjawab bahwa dalam Kitabullah ta’ala terdapat ayat-ayat muhkamaat yang dapat dipahami maksudnya sesuai dengan dhahirnya, dan ayat-ayat mutasyaabihaat yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan mengembalikannya pada ayat-ayat muhkam. Wajib untuk membenarkan dan mengimani seluruh ayat-ayat dalam Kitabullah. Begitu juga dengan khabar-khabar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mesti dibawa pada pemahaman yang sama, mengembalikan yang mutasyaabih pada yang muhkam, serta menerima keseluruhannya (baik yang mutasyaabih maupun yang muhkam).
فتنقسم الأحاديث المروية في الصفات ثلاثة أقسام :
منها : أخبار ثابتة أجمع أئمة النقل على صحتها ؛ لاستفاضتها وعدالة نقلتها , فيجب قبولها والإيمان بها , مع حفظ القلب أن يسبق إليه اعتقاد ما يقتضي تشبيه الله بخلقه , ووصفه بما لا يليق به من الجوارح والأدوات , والتغير والحركات .
والقسم الثاني :أخبار ساقطة بأسانيد واهية , وألفاظ شنيعة , أجمع أهل العلم (بـ) النقل على بطولها , فهذه لا يجوز الاشتغال بها , ولا التعريج عليها .
والقسم الثالث : أخبار اختلف أهل العلم في أحوال نقلتها , فقبلها البعض دون الكل , فهذه يجب الاجتهاد والنظر فيها ؛ فإني لم أشتغل بها , ولا تقدم مني جمع لها , و لعل ذلك يكون فيما بعد , إن شاء الله .
“Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah sifat dibagi menjadi tiga macam :
Pertama, hadits-hadits yang telah disepakati para ulama akan keshahihannya karena faktor tersebar luasnya dan keadilan perawinya, maka wajib diterima dan diimani; bersamaan dengan usaha menjaga hati agar tidak dikuasai keyakinan yang menuntut penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, serta tidak mensifati-Nya dengan sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya seperti anggota badan, alat, perubahan, dan pergerakan.
Kedua, hadits-hadits yang digugurkan karena sanadnya lemah, lafadhnya buruk, dan disepakati para ulama akan kebathilannya; maka tidak boleh menyibukkan diri dengannya dan condong kepadanya.
Ketiga, hadits-hadits yang diperselisihkan para ulama dalam hal penyampaiannya, sehingga ada sebagian ulama yang menerimanya dan sebagian yang lain tidak; maka dalam hal ini wajib berijtihad dan melakukan penelitian terhadapnya. Dan sesungguhnya (saat ini) aku tidak menyibukkan diri dengannya dan aku juga belum mengumpulkannya. Barangkali hal tersebut akan dilakukan di waktu yang akan datang, insya Allah…..”
[sanad riwayat ini shahih].
[Diterjemahkan Abul-Jauzaa’ dari Risaalah : Mas-alatun fish-Shifaat oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas bogor - 22121434/27102013 – 03:05].
[1] Al-Haafidh Abul-Fadhl Muhammad bin Naashir bin Muhammad bin ‘Aliy Al-Baghdaadiy, terkenal dengan nama : As-Sulamiy (467 H – 550 H); seorang yang tsiqah, haafidh, mutqin, lagi shaahibus-sunnah [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 20/265].
[2] Abul-Husain Al-Mubaarak bin ‘Abdil-Jabbaar bin Ahmad Ash-Shairafiy (411 H – 500 H); seorang yang tsiqah, tsabat, shahiihul-ushuul, bersamaan dengan keistiqamahannya dalam agama dan kebagusan akhlaqnya [As-Siyar, 19/213].
[3] Abu Manshuur Muhammad bin ‘Iisaa Al-Bazzaar Al-Hamdzaaniy (354 H – 431 H); seorang yang shaduuq lagi tsiqah [As-Siyar, 17/563].
[4] Shaalih bin Ahmad Al-Haafidh At-Tamiimiy Al-Hamdzaaniy (303 H – 384 H); seorang yang tsiqah, haafidh, lagi tsabat [As-Siyar, 16/518].
[5] ‘Abdullah bin Ishaaq bin Sayaamard, Abu ‘Abdirrahmaan An-Nahaawandiy; seorang yang tsiqahlagi haafidh [As-Siyar, 15/247].
[6] Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj, Abu Bakr Al-Marwadziy Al-Baghdaadiy (w. 275 H); seorang imam, salah seorang shahabat Al-Imaam Ahmad yang paling masyhuur [As-Siyar, 13/173].
[7] Abu Thaalib Al-Mubaarak bin ‘Aliy Ash-Shairafiy, dikenal dengan nama : Ibnul-Khudlair (483 H – 517 H), termasuk pendudukan Baghdaad; seorang yang shaduuq, punya banyak riwayat, lagi shaalih [As-Siyar, 20/487].
[8] Abul-Hasan Muhammad bin Marzuuq bin ‘Abdirrazzaaq Az-Za’faraaniy Al-Jalaab (442 H – 517 H); seorang muhaddits yang tsabat [As-Siyar, 19/471].