Pembahasan ini menarik di kalangan peneliti, setidaknya ketika Asy-Syaikh ‘Amru bin ‘Abdul-Mun’im hafidhahullah mengangkatnya dan kemudian menghukumi (tambahan) lafadh tersebut tambahan lafadh yang tidak sah. Hal ini bertentangan dengan pendapat ‘mainstream’ yang telah ‘eksis’ sebelumnya yang menyatakan sah.
To the point, hadits tersebut dengan lafadh lengkap (plus ziyaadah-nya) adalah sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قال: أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: " مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ "، ثُمَّ يَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ " وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ، ثُمَّ قَالَ: " مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ، وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utbah bin ‘Abdillah[1], ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnul-Mubaarak[2], dari Sufyaan[3], dari Ja’far bin Muhammad[4], dari ayahnya[5], dari Jaabir bin ‘Abdillah[6], ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhuthbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan apa-apa yang layak bagi-Nya. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di dalam neraka”. Kemudian beliau bersabda : “Ketika aku diutus, jarak antara aku dan hari kiamat seperti jarak dua jari ini”. Apabila beliau menyebutkan tentang hari kiamat, maka kedua pipinya memerah, suaranya meninggi, dan amarahnya bertambah, seolah-olah beliau memperingatkan pasukan. Beliau bersabda : “Berhati-hatilah jika ia datang pada waktu pagi dan sore kalian. Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu buat keluarganya dan barangsiapa meninggalkan utang atau sesuatu yang hilang maka itu tanggunganku. Aku adalah wali bagi orang-orang yang beriman” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1578].
Dhahir sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat kecuali Ja’far bin Muhammad, seorang yang shaduuq.
Diriwayatkan juga oleh :
a. An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 2/308 no. 1799 & 5/384-385 no. 5861, Ibnu Khuzaimah 3/143 no. 1785, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 3/189; dari jalan ‘Utbah bin ‘Abdillah,
b. Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar hal. 251 no. 448, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/170 no. 90 & 1/388-389 no. 446, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (Al-Qadar) 2/85 no. 1491, Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad 1/184-185 & dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/202-203 no. 137; dari jalan Hibbaan bin Muusaa[7],
c. Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (Al-Qadar) 2/85 no. 1491, dari jalan Suwaid bin Nashr[8],
d. ‘Abdullah Al-Anshaariy dalam Dzammul-Kalaam 3/46-49 no. 417; dari jalan ‘Abdaan (‘Abdullah bin ‘Utsmaan),
semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah dengan tambahan lafadh : wa kullu dlalaalatin fin-naar.
‘Abdullah bin Al-Mubaarak mempunyai mutaba’ah dari Wakii’ bin Al-Jarraah[9]; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 1953 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 1/202-203 no. 137; dari beberapa jalan (Abu Bakr bin Abi Syaibah[10], ‘Utsmaan bin Abi Syaibah[11], dan Salm bin Junaadah[12]), semuanya dari jalan Wakii’, dari Sufyaan Ats-Tsauriy dengan membawakan tambahan lafadh : kullu dlalaalatin fin-naar.
Adapun Ahmad 3/371, Muslim no. 867, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 24 & 259 (dari jalan Ibnu Abi Syaibah), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/214 (3/303) no. 5800 (dari jalan Ibnu Abi Syaibah); meriwayatkan dari jalan Wakii’ tanpa tambahan.
Di sini dapat dipahami bahwa tambahan lafadh ‘kullu dlalaalatin fin-naar’ dari jalan Wakii’ adalah mahfuudh, sehingga poros lafadh tersebut terletak pada Sufyaan Ats-Tsauriy – bukan pada Ibnul-Mubaarak.
Kemudian.......
Sufyaan Ats-Tsauriy diselisihi oleh :
a. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan (tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah)[13]– sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 3/319, dan Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 74,
b. Sulaimaan bin Bilaal (tsiqah)[14]– sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 867, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa 1/258 no. 298, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/213-214 (3/302-303) no. 5798-5799, dan Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 1952,
c. ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid (tsiqah, namun berubah hapalannya tiga tahun sebelum kematiannya)[15]– sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 867, Ibnu Maajah no. 870, Abu Ya’laa no. 2111, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1798, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa 1/258 no. 297, Ibnu Hibbaan no. 10, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 202, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 1951, dan Al-Laalikaaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 82,
d. Anas bin ‘Iyaadl (tsiqah)[16]– sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 3/143 no. 1785 dan Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Ahwaal no. 3 & dalam Qisharul-Amal no. 124,
e. Wuhaib bin Khaalid (tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya)[17]– sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2119,
f. Ad-Daraawardiy (tsiqah)[18]– sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 1/181 dan As-Sarraaj dalam Hadiits-nya no. 2248,
g. Yahyaa bin Sulaim Ath-Thaaifiy (shaduuq, namun jelek hapalannya)[19]– sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 212 dan Ibnu Wadldlaah dalam Al-Bida’ no. 57,
h. Muhammad bin Ja’far bin Muhammad (seorang yang diperbincangkan)[20]– sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 75, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 9418, As-Sahmiy dalam Taariikh Jurjaan 1/364, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 51/227,
semuanya dari jalan Ja’far bin Muhammad tanpa membawakan tambahan lafadh : kullu dlalaalatin fin-naar.
Penyelisihan Ats-Tsauriy terhadap kesembilan perawi ini menurut sebagian muhaqqiqiin dianggap penyelisihan yang tidak diterima. Atau dengan kata lain, ziyaadah yang dibawakan Ats-Tsauriy ini adalah syaadz, bukan termasuk katagori ziyaadatuts-tsiqah yang diterima.
Adapun saya lebih cenderung mengikuti pendapat para ulama/peneliti yang menshahihkannya dengan mengkatagorikan tambahan lafadh wa kullu dlalaalatin fin-naar sebagai ziyaadatuts-tsiqah yang diterima. Beberapa qariinah yang menyebabkan penerimaan tersebut antara lain adalah :
1. Sufyaan Ats-Tsauriy adalah seorang imam yang terkenal keluasan ilmu dan riwayatnya, ketsiqahannya, akurasinya, sehingga Ibnu Hajar rahimahullah menghukuminya dengan : ‘tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah’. Bukan hal mustahil seorang yang mempunyai kedudukan seperti Ats-Tsauriy mempunyai memiliki riwayat yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
إن تفرد الثقة المتقن يعد صحيحاً غريباً
“Sesungguhnya tafarrud perawi tsiqah lagi mutqin terhitung shahih namun ghariib” [Miizaanul-I’tidaal, 3/140-141].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وأما أكثر الحفاظ المتقدمين فإنهم يقولون في الحديث إذا انفرد به واحد وإن لم يرو الثقات خلافه : أنه لا يتابع عليه ، ويجعلون ذلك علة فيه ، اللهم إلا أن يكون ممن كثر حفظه واشتهرت عدالته وحديثه كالزهري ونحوه ، وربما يستنكرون بعض تفردات الثقات الكبار أيضاً
“Kebanyakan para huffaadh mutaqaddimiin, mereka mengatakan hadits yang seorang perawi bersendirian (tafarrud) dengannya dan tidak ada perawi tsiqaat menyelisihinya dengan sebutan : ‘tidak ada mutaba’ah-nya’ – dan menjadikan hal tersebut sebagai ‘illat dalam hadits tersebut. Allahumma, kecuali hadits tersebut berasal dari perawi yang banyak hapalannya, terkenal ‘adalah-nya, dan haditsnya seperti Az-Zuhriy dan semisalnya. Dan kadang mereka (para ulama) mengingkari juga sebagian tafarrud para perawi tsiqaat kibaar” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 1/352-354].
2. Para perawi yang tidak membawakan tambahan lafadh di atas kedudukannya di bawah Ats-Tsauriy (atau bahkan sebagiannya jauh di bawahnya), kecuali Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan yang bisa dikatakan sepadan dengannya.
3. Sufyaan Ats-Tsauriy termasuk tingkatan kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang tafarrud-nya dapat diterima. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
فهؤلاء الحُفَّاظُ الثقات ، إذا انفرد الرجلُ منهم من التابعين ، فحديثهُ صحيح . وإن كان من الأتباعِ قيل : صحيح غريب . وإن كان من أصحاب الأتباع قيل : غريبُ فَرْد
“Mereka adalah kalangan huffaadh lagi tsiqaat. Apabila seorang dari mereka yang ber-tafarrud termasuk kalangan taabi’iin, maka haditsnya shahih. Apabila mereka termasuk atbaa’ut-taabi’iin, maka shahih ghariib. Namun apabila mereka termasuk murid-murid atbaa’ut-taabi’iin, dikatakan : ghariib fard” [Al-Muuqidhah, hal. 77].
4. Tambahan lafadhtersebut tidak menafikkan riwayat jama’ah. Bahkan, tambahan lafadh tersebut sejalan dengan riwayat induk/jama’ah. Kesesatan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran dan petunjuk. Jika dikatakan setiap bid’ah adalah sesat, maka sudah merupakan konsekuensi (pelaku) kesesatan[22]diancam dengan neraka.
Allah ta’ala berkata :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” [QS. Yuunus : 32].
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” [QS. Al-Baqarah : 16].
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” [QS. Thaha : 123].
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوعَدُونَ إِمَّا الْعَذَابَ وَإِمَّا السَّاعَةَ فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضْعَفُ جُنْدًا
“Katakanlah: "Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya” [QS. Maryam : 75].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[23], karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-An’aam : 153].
5. Hadits dengan tambahan lafadh tersebut telah dishahihkan oleh beberapa ulama terdahulu, antara lain : Ibnu Khuzaimah yang telah memasukkan dalam kitab Shahiih-nya, Abu Nu’aim, Al-Baihaqiy, Ibnu Taimiyyah rahimahumullah.
Abu Nu’aim berkata : “Hadits ini shahih lagi tsaabit dari hadits Muhammad bin ‘Aliy. Diriwayatkan oleh Wakii’ dan yang lainnya dari Ats-Tsauriy” [Hilyatul-Auliyaa’, 3/189].
Al-Baihaqiy berkata : “Dan telah diriwayatkan kepada kami hadits yang tsaabit dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : ....(lalu ia menyebutkan hadits Jaabir dengan tambahan lafadh : wa kullu dlalaalatin fin-naar)” [Al-I’tiqaad, 1/184].
Ibnu Taimiyyah setelah menyebutkan hadits Jaabir di atas berkata : “Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dengan sanad shahih, dan ia menambahkan lafadh : ‘fakullu bid’atin fin-naar’ (setiap bid’ah ada di dalam neraka)[24]” [Iqaamatud-Daliil ‘alaa Ibthaalit-Tahliil, hal. 163].
Dishahihkan pula oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 1/512
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
NB : Pembahasan mengenai ziyaadatuts-tsiqaat sebagaimana ada dalam inti artikel telah menjadi perdebatan sehingga menghasilkan pandangan dan pendapat yang berbeda-beda dalam menyikapinya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 14121434/19102013 – 22:40].
[1] ‘Utbah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah Al-Yuhmidiy Al-Azdiy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziibhal. 658 no. 4465 dan Tahriirut-Taqriib 2/430 no. 4433].
[2] ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[3] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[4] Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang shaduuq, faqiih, lagi imam. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 958].
[5] Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
[6] Jaabir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Haraam Al-Anshaariy Al-Khazrajiy As-Sulamiy, Abu ‘Abdillah/Abu ‘Abdirrahmaan/Abu Muhammad Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 192 no. 879].
[7] Hibbaan bin Muusaa bin Sawwaar As-Sulamiy, Abu Muhammad Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 217 no. 1085].
[8] Suwaid bin Nashr bin Suwaid Al-Marwaziy, Abul-Fadhl Ath-Thuusaaniy – laqabnya Asy-Syaah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 425 no. 2714].
[9] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat 196H/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
[10] ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-Khawaasitiy Al-‘Absiy, Abu Bakr bin Abi Syaibah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, shaahibut-tashaanif(mempunyai banyak karangan/tulisan). Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 235 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3600].
[11] ‘Utsmaan bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 156 H, dan wafat tahun 239 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Tahdziibut-Tahdziib, 7/151].
[12] Salm bin Junaadah bin Salm bin Khaalid bin Jaabir bin Samurah As-Suwaa’iy Al-‘Aamiriy, Abus-Saaib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 174 H, dan wafat tahun 254 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 396 no. 2477].
[13] Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[14] Sulaimaan bin Bilaal Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Muhammad/Abu Ayyuub Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 177 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 405 no. 2554].
[15] ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid bin Ash-Shalt Ats-Tsaqafiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, namun berubah hapalannya tiga tahun sebelum kematiannya. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4289 dan Al-Mukhtalithiin hal. 78-79 no. 32].
[16] Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Al-Laitsiy, Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 104 H, dan wafat tahun 200 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154 no. 569].
[17] Wuhaib bin Khaalid bin ‘Ajlaan Al-Baahiliy, Abu Bakr Al-Bashriy; tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-7 dan wafat tahun 165 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1045 no. 7537].
[18] ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy, Abu Muhammad Al-Juhhaniy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.Ada beberapa komentar ulama tentangnya :
Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat :Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680].
Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al-Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295].
Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[19] Yahyaa bin Sulaim Al-Qurasyiy Ath-Thaaifiy, Abu Muhammad/Abu Zakariyyaa Al-Makkiy Al-Hadzdzaa’ Al-Kharraaz; seorang yang shaduuq, namun jelek hapalannya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 193 atau setelahnya di Makkah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1057 no. 7613].
[20] Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ishaaq bin Ja’far bin Muhammad lebih tsiqah daripadanya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Ia diperbincangkan” [Al-Kaamil 7/462 no. 1697, Al-Jarh wat-Ta’diil 7/220 no. 1218, dan Al-Mughniy 2/275 no. 5360].
[21] Mush’ab bin Sallaam At-Tamiimiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-8 dan dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib hal. 946 no. 6735 dan Tahriirut-Taqriib 3/382 no. 6690].
[22] As-Sindiy rahimahullah berkata :
(وَكُلّ ضَلَالَة فِي النَّار) أَيْ صَاحِبُهَا فِي النَّار
“Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan setiap kesesatan ada di dalam neraka’ – yaitu pelakunya di dalam neraka” [Haasyiyyah As-Sindiy, 3/47].
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ، ثنا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عِيسَى بْنِ مَيْمُونٍ، ثنا ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ، قَالَ: " الْبِدَعُ وَالشُّبُهَاتُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahyaa bin Khalaf : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari ‘Iisaa bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid tentang firman Allah : ‘dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) ((QS. Al-An’aam : 153); ia berkata : “Bid’ah-bid’ah dan syubuhaat” [As-Sunnah no. 20; shahih].
[24] Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dan yang benar – dan kemungkinan inilah yang beliau maksudkan – adalah : ‘wa kullu dlalaalatin fin-naar’. Beliau rahimahullah berhujjah dengan hadits ini pada beberapa tempat dalam kitabnya.