Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَرِيزٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَيْسَرَةَ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيَّ، قَالَ: " أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hariiz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib Al-Kindiy, ia berkata : Didatangkan air wudlu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berwudlu dengan mencuci dua telapak tangannya tiga kali, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci dua hastanya tiga kali tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristinsyaaq tiga kali, dan mengusap kepalanya dan telinganya bagian luar dan dalam, dan mencuci dua kakinya tiga kali” [Al-Musnad, 4/132 (28/425) no. 17188].
1. ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang perawi tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 618 no. 4173; dan Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal. 158 no. 1347].
2. Hariiz bin ‘Utsmaan bin Jabr bin Ahmar bin As’ad Ar-Rahabiy Al-Masyriqiy, Abu ‘Utsmaan/Abu ‘Aun Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun dituduh berpemahaman Nashibiy. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 163 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 231 no. 1194 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 82 no. 27].
3. ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, Abu Salamah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘maqbuul’. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4048].
Berikut perincian perkataan para ulama tentangnya :
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Majhuul, tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Al-‘Ijliy berkata : “Taabi’iy, tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Daawud berkata : “Guru-guru dari Hariiz semuanya tsiqaat”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata : “Majhuul al-haal, tidak diketahui ada orang yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Al-Albaaniy berkata : “Haditsnya hasan”.
Perkataan Ibnul-Madiiniy di atas tidaklah benar, karena yang meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Maisarah selain Hariiz, adalah : Tsaur bin Yaziid (tsiqah) dan Shafwaan bin ‘Amru (tsiqah) sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal. Juga telah meriwayatkan darinya Mu’aawiyyah bin Shaalih. Tautsiq Abu Daawud meskipun sifatnya umum, maka itu tetap dapat dipertimbangkan. Tautsiq ini bersamaan dengan tautsiq Ibnu Hibbaan dan Al-‘Ijliy, beserta periwayatan beberapa orang perawi tsiqaat darinya, mengangkat jahalah‘Abdurrahmaan.
Oleh karena itu, statusnya adalah shaduuq, hasanul-hadiits, wallaahu a’lam.
[Tahdziibul-Kamaal17/450-451 no. 3973, Tahdziibut-Tahdziib 6/284 no. 556, Bayaanul-Wahm wal-Iihaam 4/109 no. 1547, Al-Kaasyif 1/646 no. 3327, Mu’jamu Asamiyyir-Ruwaat 2/504-505, Tahriirut-Taqriib 2/351 no. 4022, Kasyful-Iihaamhal. 456 no. 364, dan Natsnun-Nabaal hal. 779 no. 1788].
4. Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib bin ‘Amru Al-Kindiy, Abu Kariimah/Abu Yahyaa; salah seorang shahabat yang masyhuur. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 87 H di Syaam dalam usia 91 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 969 no. 6919].
Ahmad dalam periwayatan dari Abul-Mughiirah mempunyai mutaba’ah dari Abu Zaid Al-Hauthiy dan Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab bin Najdah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 1076 dan dalam Al-Kabiir 20/276-277 no. 654.
Abu Daawud [no. 121] membawakan dari jalan Ahmad dengan lafadh berkumur dan istinsyaaq sebelum mencuci wajah, namun yang mahfuudh dari jalan Al-Miqdaam adalah sebagaimana tersebut di atas.
Riwayat lain, Abu Daawud rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ابْنِ عَفْرَاءَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ يَأْتِينَا، فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْكُبِي لِي وَضُوءًا، فَذَكَرَتْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ قَالَتْ فِيهِ: " فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، وَوَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مَرَّةً، وَوَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا، وَوَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi kami”. Lalu ia (Rubayyi’) menceritakan kepada kami bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tuangkanlah air wudlu untukku". Lalu ia (Ar-Rubayyi') menyebutkan sifat wudlu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata perihal sifat wudlu beliau tersebut : “Beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh kedua tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, di bagian akhir kepalanya kemudian bagian depannya, dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali” [As-Sunan no. 126 – dan darinya (Abu Daawud), Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar no. 195].
Musaddad mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Yahyaa Ar-Rammaaniy [Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/64 (1/105) no. 300], Mu’aadz bin Al-Mutsannaa [Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/270-271 no. 686], dan ‘Aashim bin ‘Aliy Al-Waasithiy [Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur no. 106].
Hadits Rubayyi’ mempunyai lafadh yang berlainan, ada yang ringkas, ada yang panjang yang kesemuanya berporos pada ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil.
Ia adalah : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun dalam haditsnya terdapat kelemahan – dan dikatakan berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thaqabah ke-4 dan wafat setelah tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3617].
Selain itu, Bisyr bin Al-Mufadldlal (tsiqah lagitsabat) diselisihi oleh Ibnu ‘Uyainah (tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah), Ats-Tsauriy (tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah), Ma’mar bin Raasyid (tsiqah, tsabat, lagi mempunyai keutamaan), Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (tsiqah lagi haafidh), Rauh bin Al-Qaasim (tsiqah lagi tsabat), Al-Hasan bin Shaalih bin Hay (tsiqah lagi ‘aabid), Zuhair bin Muhammad (tsiqah), ‘Ubaidullah bin ‘Amru (tsiqah, faqiih, namun kadang ragu), dan Fulaih bin Sulaimaan (shaduuq, namun mempunyai banyak kekeliruan) yang menyebutkan tahapan berkumur dan istinsyaaq sebelum membasuh wajah.
Oleh karena itu hadits Rubayyi’ dengan lafadh di atas tidaklah mahfuudh.
Riwayat Al-Miqdaam di atas menunjukkan bahwa tartib dalam wudlu bukanlah merupakan kewajiban, namun hanya sunnah saja. Al-Miqdaam bin Ma’di Kaarib radliyallaahu ‘anhu telah mengkhabarkan apa yang tidak dikhabarkan oleh shahabat lainnya, sehingga berlakulah kaedah : orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui, dan orang yang hapal menjadi hujjah bagi orang yang tidak hapal.
Oleh karena itu ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” [QS. Al-Maaiadah :6]
dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ، حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى، يَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ta’ala. Ia mencuci wajah dan kedua tangannya hingga siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) kedua kakinya hingga mata kaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1136, Ibnu Maajah no. 460, dan yang lainnya; shahih]
tidak menunjukkan (wajibnya) tartib (urutan) yang dimulai dari membasuh muka, tangan, menyapu kepala, lalu membasuh kaki. Hal itu dikarenakan jenis-jenis pekerjaan tadi dihubungkan dengan wawu ‘athaf yang jika ditinjau dari ilmu bahasa (nahwu) tidak menunjukkan tartib.
Diqiyaskan juga dengan tayammum yang notabene pengganti wudlu. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmudengan tanah itu” [QS. Al-Maaidah : 6].
Pada ayat di atas, kegiatan menyapu muka dan tangan dihubungkan wawu ‘athaf, sama seperti ayat wudlu sebelumnya. Seandainya ayat ini dipahami sebagai tartib, maka telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mendahulukan menyapu tangan sebelum muka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا، ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 347].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
فيه أنّ الترتيب غير مشترط في التيمّم
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa tartib tidak dipersyaratkan dalam tayammum” [Fathul-Baariy, 1/457].
Ada beberapa atsar yang ternukil dari sebagian salaf yang mendukungnya, antara lain :
Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 353-354 no. 325-326.
حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: " مَا أُبَالِي إِذَا أَتْمَمْتُ وُضُوئِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ "
Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ‘Auf, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Hind, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy : “Aku tidak peduli apabila aku menyempurnakan wudluku dengan anggota tubuh manapun aku memulainya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/39 (1/370) no. 421; mursal, karena ‘Abdullah bin ‘Amru tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Aliy].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، كَانَ يَبْدَأُ بِمَيَامِنِهِ فِي الْوُضُوءِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلامُ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ "،
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ زِيَادٍ، مَوْلَى بَنِي مَخْزُومٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَبِي هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim : Bahwasannya Abu Hurairah memulai wudlu dengan anggota badan sebelah kanan. Maka sampailah hal itu pada ‘Aliy ‘alaihis-salaam, maka ia memulainya dengan sebelah kiri.
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Ziyaad maulaa Bani Makhzuum, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaamdam Abu Hurairah riwayat semisalnya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 352-353 no. 322-323; hasan].
نا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْوَكِيلُ، نا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نا هُشَيْمٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَسْعُودِيِّ، حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ، عَنْ أَبِي الْعُبَيْدَيْنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَوَضَّأَ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah Al-Wakiil : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari ‘Abdurrahmaan Al-Mas’uudiy : Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Kuhail, dari Abul-‘Ubaidain, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang berwudlu, lalu ia mendahulukan sebelah kiri. Maka ia menjawab : “Tidak mengapa” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 297; shahih].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: ثنا مَنْصُورٌ، عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا فِيمَنْ قَدَّمَ وَضُوءَهُ شَيْئًا قَبْلَ شَيْءٍ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Manshuur, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa orang yang mendahulukan anggota tubuh satu sebelum yang lain dalam wudlunya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 327; shahih].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " مَا أَصَابَ الْمَاءَ مِنْ مَوَاضِعِ الطَّهُورِ فَقَدْ طَهُرَ "
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Awwaam, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apa saja yang terkena air dari tempat-tempat-tempat yang mesti dibasuh ketika bersuci/wudlu, sungguh ia menjadi suci” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuurhal 354 no. 328; shahih].
Pendapat inilah yang raajih, yang dipegang oleh Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya [Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 1/55 dan Badaai’ush-Shanaai’ oleh Al-Kaasaaniy 1/21], masyhur dalam madzhab Maalikiyyah [Al-Muqaddimaat oleh Ibnu Rusyd Al-Jadd 1/16, Al-Bidaayah oleh Ibnu Rusyd 1/75, dan Tahdziibul-Masaalik oleh Al-Fandalaawiy 1/68], An-Nawawiy [Al-Majmuu’ 1/433], dan yang lainnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16091434/26072013 – 00:12].