Kali ini kita akan membahas hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang berisi anjuran untuk mandi pada hari Jum’at.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جُمُعَةٍ مِنَ الْجُمُعَةِ: يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَكُمْ عِيدًا، فَاغْتَسِلُوا، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at : “Wahai sekalian kaum muslimin, sesungguhnya hari ini telah Allah jadikan bagi kalian hari ‘Ied, maka mandilah kalian dan hendaklah kalian bersiwak”.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 1/299 (1/477) no. 1427 & 3/243 (3/345) no. 5960, Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) no. 358 & Al-Ausath no. 3433, Ibnul-Muqri’ dalam Mu’jam-nya no. 411, Ibnul-Mudhaffar Al-Bazzaaz dalam Gharaaibu Maalik no. 88, Abu Ahmad Al-Haakim dalam ‘Awaaliy Maalik bin Anas no. 55, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 11/211-212; semuanya dari jalan Yaziid bin Sa’iid Al-Iskandaraaniy, dari Maalik bin Anas, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
Riwayat di atas ma’lul. Ad-Daaraquthniy dan Abu Haatim rahimahumallah sepakat akan ke-ma’lul-annya, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam bahasan pen-ta’lil-annya.
a. Ta’liil Ad-Daaraquthniy rahimahullah.
Setelah menyebutkan perselisihan riwayat, Ad-Daaraquthniy rahimahullah menyimpulkan :
وَالصَّحِيحُ قَوْلُ أَصْحَابِ الْمُوَطَّأِ الْقَعْنَبِيُّ وَمَنْ تَابَعَهُ: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفًا
“Dan yang benar adalah perkataan ashhaabu Al-Muwaththa’ yaitu Al-Qa’nabiy dan yang mengikutinya : Dari Abu Hurairah secara mauquuf” [Al-‘Ilal, 10/384-385 no. 2070].
Yaziid telah diselisihi ashhaab Maalik yang kedudukannya lebih tingginya darinya seperti Al-Qa’nabiy, ‘Abdurrazzaaq, ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, Abu Mush’ab Az-Zuhriy dan Suwaid bin Sa’iid yang meriwayatkan dari Maalik secara mauquuf.
Yaziid bin Sa’iid selain disifati oleh Abu Haatim Ar-Raaziy sebagai tempatnya kejujuran, ia juga disifati oleh Ibnu Hibbaan sebagai orang yang sering meriwayatkan hadits-hadits ghariib (yughrib) [Ats-Tsiqaat, 9/277].
Riwayat mauquuftersebut adalah :
عَنْ سَعِيْدِ بنِ أَبِي سَعِيد الْمَقْبُرِي، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : " غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ "
Dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, bahwasannya ia berkata : “Mandi hari Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh), seperti mandi janaabah”.
[tanpa menyebutkan perantara Abu Sa’iid Al-Maqburiy]
Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 1/440 no. 240 dari darinya ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 5305, dan Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. Ibnul-Mudhaffar Al-Bazzaaz dalam Gharaaibul-Maalik no. 90.
Inilah yang mahfuudhmenurut Ad-Daaraquthniy rahimahullah.
b. Ta’liil Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah.
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata :
وَهِمَ يَزِيدُ بْنُ سَعِيدٍ فِي إِسْنَادِ هَذَا الْحَدِيثِ، إِنَّمَا يَرْوِيهِ مَالِكٌ بِإِسْنَادٍ مُرْسَلٌ
“Yaziid bin Sa’iid telah ragu/keliru dalam membawakan sanad hadits ini. Maalik hanyalah meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mursal” [Al-‘Ilal 2/560 no. 591].
Tidak ada yang mengikuti Yaziid dalam periwayatan hadits tersebut dari Maalik secara marfuu’. Yaziid telah diselisihi oleh ashhaab Maalik yang kedudukannya lebih tinggi daripada Yaziid, seperti Asy-Syaafi’iy, ‘Abdullah bin Wahb, Wakii’ bin Al-Jarraah, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Al-Qa’nabiy, Zaid bin Al-Hubbaab, Yahyaa Al-Laitsiy, dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaaniy; dimana mereka semua meriwayatkan hadits itu secara mursal dari jalur Maalik, Az-Zuhriy, dari ‘Ubaid bin Sabbaaq, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ ابْنِ السَّبَّاقِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي جُمُعَةٍ مِنَ الْجُمَعِ: " يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيدًا فَاغْتَسِلُوا، وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ طِيبٌ فَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
Dari Ibnu Syihaab, dari Ibnus-Sabbaaq : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda pada suatu hari Jum’at : “Wahai sekalian kaum muslimin, sesungguhnya hari ini telah Allah jadikan sebagai hari ‘Ied. Maka mandilah kalian !. Barangsiapa yang mempunyai wewangian, pakailah. Dan hendaklah kalian bersiwak”.
‘Ubaid bin As-Sabbaaq adalah seorang taabi’iy yang tsiqah.
Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 1/349-152 no. 151 dan darinya Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/216, Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ no. 217, Ibnu Abi Syaibah no. 5052, Musaddad sebagaimana dibawakan Ibnu Hajar dalam Al-Mathaalib no. 723, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/243 (3/345) no. 5959, Al-Jauhariy dalam Musnad Al-Muwaththa’, dan Abu Ahmad Al-Haakim dalam ‘Awaaliy Maalik bin Anas no. 15.
Riwayat mursal inilah yang mahfudh menurut Abu Haatim rahimahullah.
Hadits ‘Ubaid bin As-Sabbaaq yang mursal ini disambungkan oleh Ibnu Maajah no. 1098, Ath-Thuusiy dalam Al-Mukhtashar no. 491, Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (Ar-Raudlud-Daaniy) no. & dalam Al-Ausath no. 7355, Abu Ahmad Al-Haakim dalam ‘Awaaliy Maalik bin Anas no. 16, Aslam bin Sahl dalam Taariikh Waasith 1/299, dan Abu Nu’aim dalam Taariikh Ashbahaan 2/130; semuanya dari jalan ‘Ammaar bin Khaalid Al-Waasithiy, dari ‘Aliy bin Ghuraab, dari Shaalih bin Abil-Akhdlar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaid bin As-Sabbaaq, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun riwayat maushul ini tidak shahih, karena ‘an’anah ‘Aliy bin Ghuraab – sedangkan ia seorang mudallis[1]– dan kelemahan Shaalih bin Abil-Akhdlar[2].
Ada syaahid dari hadits marfuu’ Anas bin Maalik dengan lafadh semisal sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/243 (3/345) no. 5961 dan dalam Syu’abul-Iimaan no. 2732, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 11/212; semuanya dari jalan Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Shaalih, dari ayahnya, dari Ibnu Lahii’ah, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab Az-Zuhriy, dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “.....(al-hadits)....”
Riwayat ini lemah dikarenakan Ibnu Lahii’ah. Ia seorang yang shaduuq, namun menjadi kacau hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar. Tidak diketahui apakah ‘Utsmaan bin Shaalih As-Sahmiy mendengar sebelum atau setelah kitab-kitab Ibnu Lahii’ah terbakar[3]. Namun kemungkinan besar, riwayat ini termasuk riwayat-riwayat yang didengar ‘Utsmaan dari Ibnu Lahii’ah setelah kitabnya terbakar karena riwayatnya menyelisihi riwayat-riwayat yang disebutkan di atas. Oleh karena itu Al-Baihaqiy setelah membawakan riwayat Anas berkata :
وَالصَّحِيحُ مَا رَوَاهُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ مُرْسَلا
“Dan yang benar adalah yang diriwayatkan Maalik dari Ibnu Syihaab secara mursal” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/243 (3/345) no. 5961].
Faedah-Faedah :
1. Shahih atau hasannya dhahir suatu sanad tidak serta-merta mengkonsekuensikan shahihnya riwayat, karena kemungkinan ada ‘illat tersembunyi yang terdapat dalam jalur periwayatan lain dan kritikan yang diberikan oleh para ulama ahli naqd terhadap riwayat dimaksud.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mandi Jum’at. Ada yang mewajibkan secara mutlak, ada yang mewajibkan jika badannya bau (jika tidak, maka hanya sunnah saja), dan ada pula yang hanya berpendapat sunnah saja secara mutlak.
a. Dalil-dalil utama yang dipakai ulama yang mewajibkannya antara lain adalah :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mandi pada hari Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (baligh)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 858 & 879 & 880 & 895 & 2665, Muslim no. 846, dan yang lainnya].
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عَلَى كُلِّ رَجُلٍ مُسْلِمٍ فِي كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ غُسْلُ يَوْمٍ وَهُوَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ "
Dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wajib bagi setiap laki-laki muslim untuk mandi satu hari setiap tujuh hari, yaitu mandi pada hari Jum’at” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1378; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy, 1/444].
عَنْ طَاوُس: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: ذَكَرُوا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْسِلُوا رُءُوسَكُمْ، وَإِنْ لَمْ تَكُونُوا جُنُبًا وَأَصِيبُوا مِنَ الطِّيبِ "، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَمَّا الْغُسْلُ فَنَعَمْ، وَأَمَّا الطِّيبُ فَلَا أَدْرِي
Dari Thaawus : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas : Orang-orang menyebutkan bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallamtelah bersabda: "Mandilah pada hari Jum'at dan basuhlah kepala kalian sekalipun tidak sedang junub, dan pakailah wewangian." Ibnu 'Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa menjawab : "Adapun mandi, maka memang benar beliau mengatakannya, sedangkan memakai wewangian aku tidak tahu" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 884 dan Muslim no. 848].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi shalat Jum’at, hendaknya ia mandi (terlebih dahulu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 877 & 894 & 919 dan Muslim no. 844].
Dhahir hadits-hadits di atas menyatakan kewajibannya dan perintah yang tegas untuk melakukan mandi Jum’at.
b. Dalil-dalil utama yang dipakai ulama yang tidak mewajibkannya antara lain :
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ ".
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang berwudlu pada hari Jum’at maka itu sudah cukup dan baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka itu lebih utama (afdlal)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 497, Abu Daawud no. 354, An-Nasaa’iy no. 1380, dan yang lainya dari jalan Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samurah bin Jundab; shahih[4]].
Hadits ini sangat jelas menunjukkan wudlu telah mencukup, sedangkan mandi hanya merupakan keutamaan saja (bukan wajib).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ، وَيَمَسُّ مِنَ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
Dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Sa’iid Al-Khudriy, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mandi pada hari Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (baligh). Begitu juga dengan bersiwak dan memakai wewangian jika ia mampu melakukannya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 846 dan Abu Daawud no. 344].
Telah menjadi kesepakatan bahwa bersiwak dan memakai wewangian pada hari Jum’at tidaklah wajib. Oleh karenannya ketika mandi Jum'at digabungkan dengan keduanya dalam satu lafadh dan hukum, maka mandi Jum’at di sini tidak bermakna wajib. Makna wajib yang terdapat dalam hadits hanyalah menunjukkan penekanan yang sangat (sunnah muakkadah) saja.
c. Dalil-dalil utama yang dipakai ulama yang mewajibkan hanya jika badannya bau adalah hadits yang dibawakan kelompok kedua (b) ditambah dengan :
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُونَ الْجُمُعَةَ مِنْ مَنَازِلِهِمْ مِنَ الْعَوَالِي فَيَأْتُونَ فِي الْعَبَاءِ وَيُصِيبُهُمُ الْغُبَارُ، فَتَخْرُجُ مِنْهُمُ الرِّيحُ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا "
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Manusia datang menghadiri Jum’at dari rumah-rumah mereka yaitu dari Al-‘Awaaliy. Mereka datang dengan mengenakan mantel dan debu juga menimpa mereka. Maka keluarlah bau tidak sedap dari badan mereka. Salah diantara mereka mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu beliau ada di sisiku. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Seandainya kalian bersuci (mandi) untuk hari kalian ini” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 902 dan Muslim no. 847 (6)].
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " كَانَ النَّاسُ أَهْلَ عَمَلٍ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ كُفَاةٌ فَكَانُوا يَكُونُ لَهُمْ تَفَلٌ، فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ "
Dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : Dulu orang-orang merupakan pekerja keras yang tidak memiliki pelayan, sehingga tubuh mereka mengeluarkan bau yang tidak sedap. Dikatakanlah kepada mereka : "Seandainya kalian mandi pada hari Jum’'at” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 847].
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ أَكَلَ ثُومًا، أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ،
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami atau masjid kami. Dan hendaklah ia duduk di rumahnya….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 855 dan Muslim no. 564].
Dalam riwayat lain dari Jaabir secara marfuu’ :
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الإِنْسُ
“Barangsiapa yang makan sayuran yang busuk baunya ini (yaitu bawang putih), janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat akan terganggu dengan bau yang menyebabkan manusia merasa terganggu darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 563].
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dapat mengganggu manusia di masjid berupa bau busuk wajib untuk dijauhkan, sehingga sarana untuk dapat menghilangkannya pun (yaitu : mandi) dihukumi wajib.
Dengan melihat pendalilan yang dibawakan tiga kelompok ulama di atas, maka pendapat kedua dan ketiga adalah berdekatan. Pada asalnya mandi Jum’at tidaklah wajib. Namun jika seseorang badannya mengeluarkan bau yang sangat menyengat dan mengganggu orang-orang yang ada di sekitarnya, maka ia wajib mandi agar bau yang ada di badannya dapat dihilangkan, atau minimal dikurangi.
3. Beberapa ulama beristinbath dengan hadits yang ada dalam bahasan di atas tentang disunnahkannya mandi pada hari ‘Ied (sebelum shalat).[5]Loh, kok bisa ?. Hadits di atas menyebutkan ‘illat disyari’atkannya (dianjurkannya) mandi Jum’at adalah karena Allah ta’ala telah menjadikan hari tersebut sebagai ‘Ied. Anjuran mandi pada hari Jum’at tersebut diqiyaskan dengan ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa karena adanya kesamaan ‘illat.
Namun sebagaimana telah lewat, hadits di atas adalah lemah (dla’iif).
Tidak ada dalil shahih dan sharih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang anjuran mandi pada hari ‘Iedain (sebelum shalat). Meskipun demikian, amalan itu merupakan amalan masyhur di kalangan salaf.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum berangkat (ke mushalla) [Diriwayatkan oleh Maalik 2/85-86 no. 468; shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ زَاذَانَ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عَلِيًّا عَنِ الْغُسْلِ، فَقَالَ: " الْغُسْلُ يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, dari Zaadzaan : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib) tentang mandi. Ia (‘Aliy) menjawab : “Mandi dilakukan pada hari ‘Iedul-Adlhaa dan ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/181 (4/230) no. 5822; shahih].
ثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، ثنا لَيْثٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: " سُنَّةُ الْفِطْرِ ثَلاثٌ: الْمَشْيُ إِلَى الْمُصَلَّى، وَالأَكْلُ قَبْلَ الْخُرُوجِ، وَالاغْتِسَالُ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari ‘Abdurrahmaan bin Khaalid, dari Ibnu Syihaab, dari Sa’iid bin Al-Masayyib, ia berkata : “Sunnah ‘Iedul-Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju mushalla, makan sebelum keluar mushalla, dan mandi” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedainno. 18 & 26; shahih].
An-Nawawiy rahimahullahberkata :
فقال الشافعي والاصحاب يستحب الغسل للعيدين وهذا لا خلاف فيه والمعتمد فيه أثر ابن عمر والقياس علي الجمعة
“Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya menyukai mandi untuk ‘Iedain. Tidak ada perbedaan pendapat padanya. Dan yang mu’tamad dalam permasalahan tersebut (anjuran mandi ‘Ied) adalah atsar Ibnu ‘Umar dan pengqiyasan terhadap hari Jum’at” [Al-Majmuu’, 5/7].
Waktu mandi hari ‘Ied yang paling utama adalah setelah terbit fajar.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ : الْمَنْصُوصُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ قَبْلَ الْفَجْرِ وَبَعْدَهُ ؛ لِأَنَّ زَمَنَ الْعِيدِ أَضْيَقُ مِنْ وَقْتِ الْجُمُعَةِ ، فَلَوْ وُقِفَ عَلَى الْفَجْرِ رُبَّمَا فَاتَ ، وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّنْظِيفُ ، وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالْغُسْلِ فِي اللَّيْلِ لِقُرْبِهِ مِنْ الصَّلَاةِ ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْفَجْرِ ، لِيَخْرُجَ مِنْ الْخِلَافِ ، وَيَكُونَ أَبْلَغَ فِي النَّظَافَةِ ، لِقُرْبِهِ مِنْ الصَّلَاةِ
“Ibnu ‘Uqail berkata : Yang ternukil secara dari Ahmad bahwa waktu mandi itu (boleh) sebelum dan setelah terbitnya fajar, karena waktu ‘Ied lebih sempit daripada waktu Jum’at. Seandainya terpaku pada fajar, barangkali malah terlewat. Dan hal itu dikarenakan maksud pelaksanaan mandi adalah untuk memberishkan badan. Maka, maksud tersebut dalam terlaksana dengan mandi di waktu malam karena dekatnya waktu shalat. Dan yang lebih utama (afdlal) dilakukan setelah fajar dalam rangka keluar dari khilaaf (perbedaan pendapat), serta lebih bersih karena dekatnya waktu shalat” [Al-Mughniy, 2/228].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وفى وقت صحة هذا الغسل قولان مشهوران (أحدهما) بعد طلوع الفجر نص عليه في الام (وأصحهما) باتفاق الاصحاب يجوز بعد الفجر وقبله
“Tentang waktu sahnya mandi ‘Ied, terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah dilaksanakan setelah terbitnya fajar. Hal tersebut ditegaskan dalam kitab Al-Umm. Pendapat inilah adalah yang paling benar dengan kesepakatan shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah). Diperbolehkan juga dilaksanakan sebelum dan setelah fajar” [Al-Majmuu’, 5/7].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 17111434/23092013 – 00:40].
[1] ‘Aliy bin Ghuraab Al-Fazaariy, Abul-Hasan/Abul-Waliid Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, dan sering melakukan tadliis lagi bertasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-8 dan wafat tahun 184 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 703 no. 4817].
Dimasukkan Ibnu Hajar dalam jajaran mudallis tingkatan ketiga [Thabaqaatul-Mudallisiin/Ta’riifu Ahlit-Taqdiis, hal. 99 no. 89.
[2] Shaalih bin Abil-Akhdlar Al-Yamaamiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-7 dan wafat setelah tahun 140 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 443 no. 2860].
[3] Silakan baca artikel : Beberapa Perawi yang Meriwayatkan dari Ibnu Lahii’ah Sebelum Masa Ikhtilath-nya.
[4] Sebagian ulama men-ta’liil riwayat ini karena keterputusan antara Al-Hasan dengan Samurah radliyallaahu ‘anhu.
Para ulama berbeda pendapat dalam tiga kelompok terhadap permasalahan riwayat Al-Hasan dari Samurah.
Kelompok pertama menyatakan penafikan kebersambungannya. Pendapat ini dipegang oleh Syu’bah, Yahyaa Al-Qaththaan (ia berpendapat riwayat Al-Hasan dari Samurah melalui perantaraan kitab), Ibnu Ma’iin, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Hibbaan rahimahumullah.
Kelompok kedua menyatakan menyatakan Al-Hasan tidak mendengar hadits Samurah kecuali hadits tentang ‘aqiqah. Pendapat ini dipegang oleh An-Nasaa’iy, Ad-Daaraquthniy, Al-Bazzaar, Al-Baihaqiy, Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil-Barr, Al-Mundziriy, dan ‘Abdul-Haq Al-Isybiliy rahimahumullah.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa Al-Hasan mendengar hadits Samurah secara mutlak. Pendapat ini dipegang oleh ‘Aliy bin Al-Madiiniy, Al-Bukhaariy, At-Tirmidziy, Abu Daawud, Al-Haakim, An-Nawawiy, dan Adz-Dzahabiy rahimahumullah.
Yang raajih dalam permasalahan ini – wallaahu a’lam - adalah pendapat kelompok ketiga, karena terbukti Al-Hasan berjumpa dan mendengar Samurah bin Jundab hadits ‘aqiqah dan selainnya [silakan baca pembahasannya dalam kitab At-Taabi’uun Tsiqaat oleh Dr. Mubaarak Al-Hajuuriy, 1/238-255].
[5] Misalnya : Bahaauddiin Al-Maqdisiy (Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Ibraahiim Al-Anshaariy) rahimahullah dalam Al-‘Uddah fii Syarh Al-‘Umdah 1/146-147