Cerita Dari Pasar Minggu image

Kisah Nyata Penuh Hikmah


 Betapa banyak rakyat miskin yang menderita di negeri ini tanpa ada perhatian dari mereka yang berkuasa. Mereka diperhatikan ketika menjelang Pilkada atau Pilpres. Ya, kaum dhuafa hanya diperebutkan oleh partai yang mencari dukungan ketika pemilu menjelang. Seperti yang dialam Heri dan keluarga yang hidup sebagai pemulung di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Heri (27) biasa mencari kardus dan botol minuman kemasan bekas di daerah Kalibata dan Tanjung Barat.

Pekerjaan ini dilakukan Heri dengan berjalan kaki ditemani dengan isteri dan anak-anaknya. Walau setiap hari berjalan kaki, Alhamdulillah Heri masih mampu berpuasa, tidak seperti teman-teman pemulung lainnya. Pria asal Tanjung Priok ini kini sudah dikaruniai dua orang putra yang pertama Deri (2) dan Diki Ramdani yang lahir di bulan Ramadhan dan baru berusia 22 hari.

Walau hanya berpenghasilan 15 ribu rupiah perhari, suami Desi (20) ini tetap menjalani pekerjaan yang sudah dilakoninya selama kurang lebih lima tahun ini. Betapa sulitnya mereka, dengan pendapatan sebesar itu harus membiayai 2 orang anak yang butuh perhatian khusus dan gizi yang cukup. Belum lagi masalah kontrakan rumah yang harus dibayar 150 ribu/bulan. Walau begitu Heri tidak mengeluh, kini Heri sedang ikhtiar untuk mendapatkan sebuah gerobak agar penghasilannya bertambah. "Untuk membeli atan membuat gerobak yang sederhana butuh biaya 200 ribu rupiah", begitu ungkap Heri. Hal ini bukan perkara mudah bagi pria lugu ini. Semoga saja Allah memberikan jalan kelua untuk Heri dan Keluarganya. (M. Zakir Salmun) Sumber Eramuslim.com


Karena tak mampu berobat dan menyewa Ambulance, Mayat sang anak digendong oleh ayahnya

Penumpang kereta rel listrik (krl) jurusan Jakarta – Bogor pun geger minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa krl. Tapi di stasiun tebet, supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa khaerunisa untuk berobat ke puskesmas kecamatan setiabudi. Saya hanya sekali bawa khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya rp 10.000,- per hari. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel ka di cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, muriski saleh (6 thn), untuk memulung kardus di manggarai hingga salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan muriski termangu. Uang di saku tinggal rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari manggarai hingga ke stasiun tebet, supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di kramat, bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di stasiun tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau khaerunisa sudah menghadap sang khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika krl jurusan bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang krl yang mendengar penjelasan supriono langsung berkerumun dan supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.
Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah khaerunisa. Jangan bilang keluarga supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia, ujarnya. 

sumber :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=142130185865347&set=a.142128692532163.35669.100002050985860&type=3&theater

wdcfawqafwef