Pejabat Berakting, Rakyat Makan Nasi Aking

BEGINILAH kehidupan di Indonesia. Pejabatnya hanya bisa berakting. Mereka seolah-olah bekerja untuk rakyat, padahal untuk diri sendiri. Akibatnya rakyat telantar. Bahkan hingga kini, masih banyak warga yang kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya. Di beberapa daerah, misalnya, masih ada warga yang terpaksa makan nasi aking.


Saat ini eksekutif dan legislatif di Senayan sibuk tarik ulur soal pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi Undang-undang (UU). Nyatanya, hal itu tak berimbas apapun kepada masyarakat. Persoalan lapar dan kemiskinan masih terjadi di mana-mana.

Setidaknya itu yang dirasakan oleh Rasiyem (60 tahun), dan Rasmi (80 tahun), keduanya warga Desa Terusan Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu. Kedua wanita lanjut usia (lansia) tersebut mengaku tak tahu apapun soal BPJS atau tektek bengek regulasi pemerintah soal mengatasi kemiskinan di negeri ini. Rasiyem, misalnya, harus menerima nasib tinggal di gubuk hanya berukuran 2x4 meter yang berhadapan dengan kandang kambing. Selama lebih dari 10 tahun, Rasiyem harus berjuang mengidupi dirinya dengan berjualan kerupuk. Meski sudah berkeluarga, anaknya yang semata wayang, juga bernasib sama.
Makanan sehari-harinya sangat memprihatinkan. Nasi aking menjadi salah satu menu andalannya.



"Gubuk ini saya bangun dari hasil menjual tapih (kain, red). Dibangun seadanya, yang penting tidak kehujanan atau kepanasan," tukas dia.

Hidup pasrah di usia senja, juga dirasakan oleh Rasmi (80 tahun). Nenek jompo dan sudah pikun ini tinggal di bangunan yang separuhnya terbuat dari bilik berukuran sekira 3x6 meter, bersama Darsinah (45 tahun), keponakannya yang menjanda. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Rasmi mengandalkan belas kasihan kerabat dan tetangga, atau dari hasil jerih payah Darsinah sebagai tukang pijat. Jika sedang beruntung, upah memijat Darsinah bisa untuk bertahan mencukupi kebutuhan hidup selama 2 atau 3 hari. Namun jika sedang sepi orderan, nasi aking menjadi pilihan.



Camat Sindang, Bastoni, dan Kuwu Terusan, Taryono, mengamini kondisi warganya tersebut. Menurut Bastoni, di tingkat desa hingga kecamatan, kedua wanita lansia tersebut sebenarnya telah diproteksi melalui berbagi program pengentasan kemiskinan bentukan pemerintah kabupaten (pemkab). Oleh karenanya, kedua wanita lansia yang selama ini hidup dalam segala keterbatasan, telah memperoleh jaminan sosial dan kesehatan yang memadai. "Tidak hanya pemberian bantuan beras secara gratis, namun juga bantuan modal usaha agar mereka bisa hidup dengan layak," tukas Bastoni.



Pengamat masalah sosial di Indramayu, Drs. Gozali, memandang kasus yang menimpa nenek Rasiyem dan Rasmi merupakan potret buram kemiskinan di masyarakat saat ini. Menurut dia, keadaan itu tidak terlepas dari ketersumbatan komunikasi pemerintahan hingga ke tingkat rukun tetangga (RT). Namun yang paling pokok, kasus nenek Rasmi dan Rasiyem merupakan imbas dari ketidakberesan pemerintah pusat dalam mengelola program-program bantuan sosial sehingga tidak tepat sasaran. "Kuwu dan camat itu operator yang juga memiliki banyak keterbatasan informasi. Makanya harus mulai dibangun informasi yang baik mulai dari RT hingga ke bupati, gubernur, untuk kemudian diteruskan ke presiden. Jangan ada lagi laporan asal bos senang (ABS)," tegas Gozali.(Hendra Sumiarsa/"KC") 


http://kabar-cirebon.com/kabarcirebon/berita-554-pejabat-berakting-rakyat-makan-nasi-aking.html 

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=163231 


Waspadai Tumbuhnya Generasi "Sampah"



Masih ingat kasus keluarga Sarmini di Brebes yang lantaran mahalnya harga beras, keluarganya terpaksa makan nasi aking atau nasi sisa yang dikeringkan? Dengan pendapatan suami yang sangat minim, sementara harga beras kian hari kian melambung, beras pun menjadi tak terbeli.



Agar tetap bisa bertahan hidup, Sarmini bersama keluarganya lebih memilih makan nasi aking. Meskipun sadar bahwa nasi aking itu tidak sehat, Sarmini mengaku dirinya tidak bisa menghindar. Baginya, kesehatan sudah bukan hal utama lagi. Yang terpenting, anak-anaknya tetap bisa makan.



Dengan mengeluarkan uang Rp 1000 hingga Rp 1500, Sarmini mendapat 1 kilogram nasi aking. Bahkan tak sedikit yang diperolehnya secara gratisan. Dipilihnya nasi aking juga karena alasan nasi aking lebih mengenyangkan, bila dibandingkan dengan jagung maupun singkong. Dengan demikian, mereka tidak lagi cepat merasa lapar.



Sarmini tak sendiri. Di Cirebon ada Fastimah (38), bersama empat anaknya menyantap tiap hari nasi goreng aking lantaran harga eceran beras mencapai Rp 5.200 per kilogram.



Sarmini dan Fastimah adalah contoh dari keluarga yang menghadapi keterpaksaan. Di luar itu, daftar keluarga pemakan nasi aking masih banyak dan kian hari kian bertambah.



Betapa ironisnya! Aking merupakan nasi sisa (tak jarang berasal dari sisa makanan orang, yang sudah bercampur sayuran dan kemudian dipilah kembali, bahkan mungkin dalam kondisi sudah basi). Nasi tersebut kemudian dijemur atau dikeringkan. Bila ditanak, nasi aking akan tampak berwarna kekuningan dengan rasa hambar, bahkan kadang-kadang terasa getir.



Sampai kapan kegetiran itu akan terus dirasakan anak-anak negeri ini? Bukankah hal semacam ini sebenarnya bisa dicegah dan dikendalikan oleh pemerintah? Berbeda dengan bencana alam yang datangnya tiba-tiba, sesungguhnya bencana kelaparan - akibat mahalnya harga pangan pokok- menunjukkan, telah terjadi pembiaran oleh negara. Ada sebagian warga yang tidak mendapatkan haknya, untuk memperoleh makanan dan penghidupan yang layak.



Selama ini, pemerintah tampaknya kurang mengantisipasi segala masalah sosial yang bergumul di masyarakat, termasuk masalah kemiskinan. Krisis ekonomi berkepanjangan sejak 1997 dengan sendirinya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kemiskinan dan kelaparan.



Artinya, kemiskinan dan kelaparan yang terjadi, bukanlah tiba-tiba muncul, melainkan hasil dari suatu proses panjang dalam masyarakat. Maka, dalam konteks inilah kita mesti mengatakan, keluarga-keluarga yang tersebar di berbagai daerah yang terpaksa memakan "sisa makanan" belakangan ini adalah cermin kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi rakyat.



Negara lalai dalam menentukan prioritas pembangunan. Pemerintah selama ini lebih menomorsatukan pertumbuhan ekonomi. Itu yang selalu menjadi isu utama dalam komunikasi politik ekonomi pemerintah dulu dan kini, tetapi pemerintah selalu lalai soal pemerataan.



Dalam mengatasi persoalan kemiskinan, upaya-upaya yang dijalankan pemerintah masih bersifat sepotong-sepotong dan tidak menyentuh akar persoalan. Sehingga pemerintah terkesan menjalankan pendekatan hit and run, dan tidak pernah menyentuh persoalan kemiskinan secara substantif.



Adalah kenyataan bahwa jumlah angka kemiskinan di negeri ini sudah sangat memprihatinkan. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah orang miskin mencapai 49 juta jiwa.



Lebih memprihatinkan lagi, data terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia. Seseorang dikatakan miskin bila berpenghasilan kurang dari 2 dolar atau sekitar Rp 18 ribu per hari. Dan bila itu kriterianya, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 109 juta jiwa.



Dengan agregat kemiskinan yang demikian dahsyat, menjadi tidak masuk akal bila pemerintah mengatasinya dengan cara sepotong-sepotong, misalnya, dengan model pendekatan hit and run seperti dilakukan selama ini. Sulit untuk mengatakan bahwa program pemerintah dalam mengalokasikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada 500 ribu keluarga tidak termasuk dalam kategori seperti ini.



Jumlah orang miskin sudah separo penduduk Indonesia. Tetapi, program hanya dibuat untuk mengakomodasi 500 ribu keluarga. Jumlah warga miskin yang tetap besar juga menunjukkan betapa pendekatan pengentasan masyarakat dari kemiskinan telah gagal mencapai sasarannya. Perlu kajian lebih mendalam mengapa program semacam itu menemui kebuntuan.



Ironisnya, pengentasan rakyat dari kemiskinan telah dianggap sebagai proyek yang menguntungkan. Dengan pendekatan ini, yang jauh lebih menonjol adalah ego sektoral tiap departemen. Karena itu, tidak jarang terdapat duplikasi program dan anggaran untuk proyek yang sama pada departemen berbeda. Ini tentu saja pemborosan anggaran luar biasa.



Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang cara pandang dalam upaya pengentasan kemiskinan. Perubahan dalam cara pandang ini diharapkan tidak saja akan membuat pemerintah mengkaji pendekatan dalam mengatasi kemiskinan. Namun, juga mengubah paradigma dalam melibatkan mereka yang tertinggal dalam pembangunan.



Merebaknya fenomena masyarakat memakan "makanan sisa" ini semestinya membangunkan kesadaran kita bagaimana kelanjutan negeri ini di masa datang. Kekurangan pangan dan gizi akan berakibat menurunnya kecerdasan calon generasi muda bangsa.



Anak-anak terganggu pendidikannya, karena jaminan kecukupan pangan dan gizi serta ketentraman jiwa mereka nyaris tidak ada. Bahaya lost generation harus segera diwaspadai. Jika tidak, anak-anak negeri yang dua-tiga puluh tahun mendatang akan memegang tampuk keberlangsungan negeri ini, akan hilang begitu saja.



Akankah terus kita biarkan benih-benih generasi ini menyantap "makanan sampah" yang berarti membiarkan generasi kita terperosok menjadi "generasi sampah". Tentu kita tak akan membiarkan negeri ini sebagai "negeri sampah" bukan? ***


http://groups.yahoo.com/group/iscab/message/12699 


Jual Nasi Aking dan Sampah di Usia Uzur



memasak: Saniah memasak nasi dengan kayu bakar sepulangnya dari mencari nasi aking dan sampah plastik.

Akibat sulitnya mendapatkan minyak tanah bersubsidi dan tingginya kebutuhan hidup belakangan ini, membuat Saniah (76), harus berjuang seperti waktu masih muda dulu. Mesti kondisi tubuhnya sudah membungkuk, namun ia masih mengumpulkan nasi basi untuk kemudian dijadikan nasi aking (nasi kering) dari para tetangga dan warung-warung nasi.



Menurut Saniah, setiap nasi sisa yang ia peroleh selalu ia jemur untuk dikeringkan.

“Kalau cuaca tidak panas, nasinya harus digarang supaya tidak berjamur,” cerita Saniah.
Setelah nasi aking itu dimasak, lantas ia jual ke warung-warung.



”Setelah nasi kering, saya kummpulkan dulu selama sebulan. Setelah banyak baru dimasak untuk dijual,” kata Saniah yang mengaku sudah 14 tahun ditinggal mati suaminya. Saat ditanya tentang harga nasi Aking, kata Saniah, per kilonya Rp1.000. ”Biasanya dalam sebulan bisa terkumpul sampai 40 kilogram,” terangnya. Nasi Aking ini biasanya dicari oleh para peternak untuk pakan bebek atau ayam. Tidak hanya membuat nasi aking saja, Saniah setiap harinya juga mengumpulkan botol plastik bekas air mineral.



”Kalau dari Nasi aking itu saja, tak cukup untuk biaya makan saya,” kata wanita yang mengaku hidup sebatang kara ini. Saniah mengaku sangat senang jika ada warga yang pesta, karena ia akan banyak mendapatkan botol plastik minuman mineral. Untuk gelas plastik yang terkumpul, ia jual seharga Rp3 ribu per kilogramnya. Sebenarnya menurut Saniah, ia memiliki beberapa anak dan semuanya sudah berkeluarga.



”Tapi karena kehidupan anak-anak saya juga sudah hingga saya tidak mau menumpag ke mereka,” ujar wanita yang mengaku sudah lupa dengan jumlah cucunya sendiri ini.



Yang memprihatinkan, meski harus bersusah payah mencari nafkah di usianya yang sudah lanjut, namun Saniah mengaku tak ada menerima bantuan dari pemerintah seperti yang digembor-gemborkan pemerintah belakangan ini. Bahkan, untuk mencari minyak tanah sebagai keperluannya memasak juga ia merasa susah. Meski masak pakai kayu, tapi butuh minyak juga,” katanya.(marnani)


http://tanjungpinangpos.co.id/2011/05/jual-nasi-aking-dan-sampah-di-usia-uzur/ 


SAAT RAKYAT TERPAKSA MAKAN SAMPAH



“Yang kaya makan di restaurant, yang miskin makan sampahnya!!”. Begitu ucap salah seorang bapak yang saya dengar ketika kami sama-sama nonton TV di lobi sebuah Rumah Sakit. Beberapa hari lalu program berita di hampir seluruh saluran televisi memberitakan tentang penemuan tempat pengolahan makanan daur ulang sampah restaurant. Daging-daging busuk buangan restaurant diolah kembali, dicuci, lalu digoreng dengan minyak dengan minyak yang sudah berkali-kali dipakai, kemudian dijual dengan kisaran harga yang murah. Konon produk daur ulang sampah tersebut laku keras di kalangan masyarakat miskin. Ironisnya lagi, produksi makanan sampah ini sudah berlangsung selama 5 tahun. Maka muncul pertanyaan, “Selama 5 tahun itu pemerintah ‘kemana saja’?? Sampai tidak tahu rakyatnya makan sampah!”



Sesuai aturan hukum yang berlaku, pelaku daur ulang makanan sampah dapat dijerat dengan UU Kesehatan dengan sanksi maksimal 15 tahun penjara. Namun pemerintah tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu), bahwa menangkap dan menghukum saja tidak akan menyelesaikan masalah ‘rakyat makan sampah’ ini. Selain yang memproduksi makanan sampah secara massal, masih banyak yang memproduksi dan mengkonsumsi makanan sampah secara sendiri-sendiri.



Setiap harinya dikota-kota besar di Indonesia, banyak anak jalanan ataupun gelandangan yang berburu nasi bekas dirumah-rumah makan. Ada yang langsung dimakan (kalau masih layak makan), atau dibuat nasi aking (jika sudah basi). Nasi aking ini pun jadi komoditas jual-beli antar orang miskin, sungguh memilukan. Saya sempat coba bagaimana rasanya nasi aking itu, dan Masya’Allah, saya tidak sanggup memakannya. Akhirnya nasi itu cuma saya pandangi sambil menangis. Tragis sekali nasib rakyat miskin, rakyat yang menurut konstitusi harus disejahterakan pemerintahnya. Namun pada prakteknya rakyat selalu saja menanggung kepahitannya sendiri. Menatap hiruk pikuk kehidupan metropolitan dengan hati remuk redam.



Di tempat berlainan,masih dengan dilema yang sama, ada pasar-pasar yang menjual makanan dan minuman kemasan seperti roti, susu UHT, susu kental manis, susu bubuk, corned, sarden, kue kering, dll, dengan harga yang sangat murah. Namun produk-produk itu semua hampir memasuki masa kedaluarsa, bahkan ada yang sudah kedaluarsa. Saya lihat roti dan kue kering yang dijual sudah ditumbuhi jamur, dan produk susu pun kebanyakan sudah berubah aroma, rasa, ataupun warna. Namum tetap saja barang-barang ini laku dikalangan rakyat miskin. Pemerintah sekali lagi tidak berdaya menghadapi ini. Padahal produk-produk berbahaya tersebut juga dikonsumsi anak-anak. Terus terang saya dulu juga pernah makan yang seperti itu. Kalau ada yang bertanya kenapa, alasannya sangat sederhana “Uang tak ada”.



Masalah ini bukan hanya wujud dari lemahnya fungsi pengawasan pemerintah, namun juga merupakan wujud dari gagalnya pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Bantuan dari pemerintah seperti BLT banyak yang meleset, penghasilan tidak meningkat, namun harga-harga kebutuhan pokok makin melambung, terlebih di bulan ramadhan ini. Jangankan memikirkan baju lebaran, mau makan saja susah.



“Apa rakyatku sudah makan hari ini? Makan apa mereka?” Pertanyaan-pertanyaan itu kiranya tak pernah muncul di benak elite politik negeri ini. Saya pun jadi membandingkan saat ini dengan masa-masa kekhilafan dimana zakat terdistribusi merata. Dan hasil alam bukannya dijual, tapi dimasukkan dalam Baitul Mal dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Dibawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, wilayah keKhilafahan yang meliputi jazirah Arab dan Eropa (hampir sepertiga wilayah dunia) yang hanya diperintahnya selama 22 bulan benar-benar makmur, sampai-sampai zakat tidak ada yang mau lagi menerima.



Berkaca dari dunia modern saat ini GNP tinggi tidak menjamin kesejahteraan merata. Bahkan dinegara maju dipenjuru bumi manapun. Ekonomi capital adalah kesejahteraan yang membunuh kesejehteraan pihak lain. Bicara dalam scope dunia, maka yang dikorbankan adalah Negara dunia ketiga. Bicara dalam scope dalam negeri, maka yang dikorbankan adalah rakyat kecil. Sungguh menyedihkan…

http://rektivoices.wordpress.com/2008/09/27/saat-rakyat-terpaksa-makan-sampah/ 


Manusia Gerobak dan Gaji Presiden SBY



Hari sudah menghampiri malam. Agak gelap memang, sebab hampir seharian penuh matahari ditutupi oleh awan tebal. Di pinggir jalan, dekat sebuah sekolahan di kawasan Tebet, Jakarta, sesosok tubuh lelaki tergeletak begitu saja. Tidak jauh dari situ, seorang ibu dan anak perempuan sedang asyik bermain.



Sutarmin, nama sosok lelaki tersebut, mengaku pertama-kali menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 2009. Dia memilih menjadi “manusia gerobak” di Jakarta lantaran uang dari menjual sawahnya sudah habis, sedangkan rumahnya di sita pengadilan atas gugatan saudaranya sendiri.



Awalnya, dia berniat mencari pekerjaan serabutan di Jakarta, tetapi tidak ketemu-ketemu juga. Akhirnya, karena tidak ada keluarga dekat yang bisa ditempati bernaung untuk sementara, Sutarmin pun memilih “gerobak” sebagai tempat tinggalnya.



“Saya ini mau bekerja apa saja, asalkan itu bisa menghasilkan duit dan halal. Lama saya mencari-cari, tapi tidak ketemu juga. Ya, sudah…saya memilih hidup seperti ini,” katanya dengan suara agak pelan.



Pemandangan manusia gerobak memang bukan hal baru di Jakarta. Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah manusia gerobak sepertinya kian bertambah. Mereka bisa ditemukan di setiap jalan-jalan di Jakarta, pinggir-pinggir ruko, di bawah jembatan layang, dan lain-lain.



Meskipun jumlahnya kian bertambah, tetapi kami masih sulit mendapatkan data resmi dari pemerintah perihal angka pasti “manusia gerobak” ini. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Yanrehsos) DKI Jakarta memperkirakan jumlah mereka ini mencapai ribuan orang.



Hidup dari mengais sampah dan plastik bekas



“Bila tidak bekerja, anda tidak makan,” itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Sutarmin. Dengan bermodalkan gerobak yang ditariknya setiap hari, Sutarmin dan keluarganya menyusuri jalan-jalan Jakarta untuk mengais sampah dan mengumpulkan plastik bekas.



Jika lagi beruntung, sehari Sutarmin bisa menghasilkan uang Rp20 ribu. Tetapi, jika cuaca kurang baik atau jika ada razia, maka dia hanya bisa mengumpulkan paling banyak Rp10 ribu.



“Jumlah uang segitu hanya cukup untuk membeli nasi dua bungkus, dua biji tempe, dan sambel. Itupun, istrinya saya harus berbagai dengan anak saya,” jelasnya.



Meskipun begitu, Sutarmin masih memendam cita-cita yang sangat mulia, yaitu membuka warung makan bersama istrinya. “Kalau nanti punya duit, saya bercita-cita membuka warung. Nanti, hasilnya saya gunakan untuk membiayai sekolah anak saya,” ungkapnya.



Dengan pendekatan Pemda DKI yang sangat represif kepada mereka, ruang gerak Sutarmin dan kawan-kawannya pun semakin terbatas. “Kami lebih baik menghindar dan mencari tempat aman. Kalau terkena razia, masalahnya bisa banyak,” katanya.



Selain mendapat perlakuan kasar dan kehilangan gerobak, mereka yang terkena razia pun akan dikirim ke Panti Sosial Kedoya atau Cipayung. “Bukan mendapat pembinaan dan pelatihan di sana, tetapi katanya diperas juga,” ujar Sutarmin mengisahkan cerita teman-temannya yang pernah terkena razia.



Presiden curhat soal gaji



Ketika saya memberitahu Sutarmin, bahwa Presiden SBY baru saja “curhat” mengenai gajinya yang tidak naik selama 7 tahun, ia langsung memotong pembicaraan dan berkata: “memangnya gaji Presiden SBY berapa, mas?”



“Kalau menurut The Economist, ini adalah majalah ekonomi paling bergengsi di dunia, gaji SBY sebesar US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji SBY nomor 16 tertinggi di dunia,” jawabku.



“Masya Allah,” kata Sutarmin tersontak kaget. “Jumlah gaji yang segunung itu masih dikira masih kurang. Curhat lagi.”



Bagi orang kecil seperti Sutarmin, pernyataan Presiden sangat melukai perasaan orang miskin, terutama mereka yang belum punya rumah dan pekerjaan.



Sutarmin, yang kini berusia 46 tahun, menganjurkan agar Presiden SBY rajin-rajin mengunjungi rakyat seperti dirinya. “SBY harus turun melihat kondisi kami, supaya tahu betapa sulitnya hidup kami. Tapi, kami masih mau bekerja untuk makan, tidak sekedar makan gaji buta seperti SBY,” katanya dengan nada tinggi.

sumber :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=152282748183424&set=a.142128692532163.35669.100002050985860&type=3&theater

wdcfawqafwef