Al Attas dan Teori Islamisasi Nusantara

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar (Kandidat Doktor Universitas Indonesia)

Saat mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai professor di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 1972 dalam bidang Bahasa dan Kesusateraan Melayu, Syed M. Naquib Al-Attas menyampaikan makalah berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Pidato pengukuhan guru besar semacam ini adalah yang pertama kali dilakukan di perguruan-perguruan tinggi di Asia Tenggara. Akan tetapi, yang menarik dari acara itu bukan seremoni kegiatannya, melainkan pokok-pokok pikiran yang ditulis dalam naskah pidatonya mengenai Islamisasi di wilayah kepulauan Nusantara.

Pada umumnya, ketika berbicara mengenai Islamisasi kepulauan Nusantara, pembicaraan lebih difokuskan pada fakta-fakta yang sifatnya artefak peninggalan zaman Islam atau catatan-catatan perjalanan yang mengisahkan pertemuan dengan komunitas Muslim di wilayah ini. Kita perhatikan beberapa perdebatan teoretis mengenai masuknya Islam ke wilayah ini. Semua berakar pada fakta-fakta kasat mata yang bersifat artefak belaka.

Salah satu teori yang populer di ataranya teori Gujarat. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat. Dasar teori ini antara lain: (a) hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Gujarat – Timur Tengah – Eropa; (b) adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al-Saleh pada 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat di antaranya adalah Snouck Hurgronje, W. F. Stutterheim, Bernard H. M. Vlekke, Pijnappel dan Moquette. Berdasar fakta-fakta itu kemudian disimpulkan bahwa Gujarat (India) sangat penting dalam proses Islamisasi.

Teori berikutnya adalah teori Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia (Iran) dan bermazhab Syi’ah. Dasar teori ini adalah adanya kesamaan budaya Persia dengan beberapa budaya masyarakat Islam Indonesia, sepert Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah. Di Sumatra Barat peringatan itu disebut dengan upacara Tabuik (Tabut), sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Persia, yaitu Al-Hallaj. Penggunaan bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Al-Qur’an untuk tanda-tanda bunyi harakat, terutama di Jawa Barat. Arab mengeja dengan fathah, kasrah dan dhammah, sedangkan Persia menyebutnya jabar, je-er dan py-es. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada 1419. Menurut para sejarawan, ulama ini berasal dari Persia. Adanya perkampungan Leran di Giri daerah Gresik. Leran adalah nama salah satu suku di Persia.

Teori Cina lain lagi. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Cina. Pendukung teori ini di antaranya adalah Slamet Mulyana. Menurutnya, Sultan Demak dan para Wali Sanga adalah keturunan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan nama-nama Wali Sanga dengan nama Cina. Namun, teori ini sangat lemah. Menurut budaya Cina, dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan Cina dan nama orang yang bukan Cina, juga dicinakan penulisannya. Selain itu, Islam sudah masuk dan menyebar di Indonesia sebelum masa Wali Sanga.

Bahkan teori yang juga dipegangi, yaitu teori Arab, juga mendasarkan analisis pada hal-hal yang sifatnya artefak dan berita pelancong. Menurut teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 dari Arab (Mekah dan Mesir). Dasar teori ini adalah pada abad ke-7, yaitu pada 674, di pantai barat Sumatra telah terdapat perkampungan Islam (Arab). Sumber informasi ini berasal dari berita Cina Dinasti Tang. Kerajaan Samudra Pasai menganut mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekah. Adapun Gujarat adalah penganut mazhab Hanafi. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik. Gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Arab di antaranya adalah Hamka, A. Hasymi, C. J. van Leur, T. W. Arnold dan John Crawfurd.

Pendekatan-pendekatan yang melulu didasarkan pada bukti-bukti artefak pada akhirnya malah mengarahkan pada kesimpulan-kesimpulan sumir mengenai pengaruh Islam ke negeri ini. Salah satunya adalah anggapan sebagian besar orientalis bahwa Islam hanya berperan di permukaan saja dalam proses Islamisasi. Islam hanya seperti pelitur yang kalau dibersihkan akan tampak segera warna aslinya. Warna asli itu bukanlah Islam, melainkan jejak peninggalan Hindu-Budha. Pendapat semacam ini umpamanya dilontarkan oleh van Leur. Sekalipun ia setuju dengan Arnold dan Crawfurd tentang asal-usul Islam dari tanah Arab, namun baginya Islam tidak membawa perubahan asasi dan tidak pula membawa peradaban yang lebih luhur dibandingkan dnegan peradaban yang ada sebelumnya, yaitu peradaban Hindu dan Budha.

Pandangan inilah yang ingin dipatahkan oleh Al-Attas melalui bukunya. Al-Attas sendiri sesungguhnya termasuk yang mendukung teori terakhir ini. Akan tetapi, yang menarik dari Al-Attas bukan soal kesimpulannya yang ini, melainkan pendekatan analisisnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya di atas. Baginya, Islam berasal dari Arab sudah semestinya. Sekalipun melalui tangan siapa saja, bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran pasti akan tetap menjadi dasar penyebaran Islam. Dengan begitu, hulu Islamisasi tetap akan berasal dari Arab sebagai bangsa dan bahasa yang dipilih untuk diturunkannya Nabi Muhammad Saw. dan Al-Quran.

Dalam melihat proses Islamisasi kepulauan Nusantara yang padanya dibawa serta Al-Quran yang berbahasa Arab, Al-Attas justru dengan sangat jeli bagaimana pengaruh konsepsi-konsepsi bahasa Arab Al-Quran dalam mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk menilik proses Islamisasi itu dari sudut pandang pemikiran dan falsafah. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang jenial dan relatif baru dalam memandang proses Islamisasi. Umumnya, para peneliti barat lebih berfokus pada sudut pandang sosial dan politik dalam melihat aspek-aspek Islamisasi di Nusantara. Pada aspek kebudayaan, terutama pada seni sastra dan artefak sebagai ekspresi kultural, dilihat oleh para peneliti Barat sebagai belum memperlihatkan pengaruh Islam yang signifikan. Bahkan, secara serampangan bahasa yang berkembang di kepulauan Nusantara inipun masih dipengaruhi oleh konsepsi Hindu-Budha. Oleh sebab itu, bagi mereka Islam tidak lebih hanya sebatas menjadi pelitur saja. Orang-orang masuk Islam hanya disebabkan faktor-faktor sosial-ekonomi yang lebih menguntungkan sebagai orang Islam dan faktor politik di mana raja-raja telah banyak yang memeluk Islam.

Al-Attas menolak sudut pandangan seperti itu. Tilikan semacam itu tidak menyentuh aspek paling dalam dari Islamisasi, yaitu pemikiran. Aspek pemikiran ini tidak bisa dilihat dari proses-proses sosial, ekonomi, dan politik. Pun tidak mungkin diungkap apabila analisis terhadap aspek kebudayaan dan bahasa semata-mata dilihat dari hasil-hasil karya sastra yang bersifat seni belaka yang hanya memuja keindahan, tanpa memedulikan isi pemikirannya yang beguna bagi kehidupan. Prosa-prosa yang mengandung unsur-unsur pemikiran serius dan konsepsi kebahasan yang matang banyak diabaikan seperti karya-karya Hamzah Fansuri yang diteliti dalam disertasinya.

Bagi Al-Attas, untuk sampai pada penelusuran pengaruh pemikiran dalam Islam yang nanti berdampak pada pembentukan semesta bahasa yang berlaku di kepulauan Nusantara ini, penelusuran sejarah harus bertumpu pada naskah-naskah tentang hal-hal mendasar dalam mengkonsepsi pemikiran. Tentu saja, naskah-naskah tersebut selain bernilai seni tinggi, juga mencerminkan pemikiran yang mendalam. Kesimpulan pendekatan semacam ini ditawarkan Al-Attas setelah ia secara sangat baik menulis mengenai naskah-naskah tulisan Hamzah Fansuri. Ia berkesimpulan bahwa inilah naskah ”melayu modern” paling penting dan paling berpengaruh hingga penulisnya layak disebut sebagau bapak sastra melayu modern, bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh oleh Barat. Karakter bahasa Melayu seperti yang tercermin dalam karya-karya Hamzah Fansuri inilah yang nanti diikuti oleh para penulis Melayu berikutnya seperti Abdul-Rauf Singkel, Syamsudin Pasai, dan Nurudin Al-Raniry. Semenjak itu pula, bahasa Melayu yang tersebar di masyarakat pun adalah bahasa melayu yang telah mendapat perubahan seperti dalam naskah-naskah Hamzah Fansuri itu.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat bahasa seperti yang digunakan oleh Hamzah Fansuri itu disebut baru atau modern dan maju? Apa implikasinya terhadap proses Islamisasi? Untuk menjawab pertanyaan itu, Al-Attas membandingkan apa yang menjadi esensi dalam sejarah modern di Eropa dengan apa yang terjadi di kepulauan Nusantara. Di Eropa, kemoderenan muncul karena interaksi Eropa dengan umat Islam yang mengajarkan berpikir rasional dan ilmiah. Selama berabad-abad Eropa berada dalam kungkungan kebudayaan Romawi yang tidak pernah mengantarkan Eropa pada puncak kejayaannya. Baru setelah Islam masuk ke Eropa dan diperkenalkan kepada masyarakat Eropa, sekalipun mereka tidak kemudian menjadi Muslim, tapi unsur-unsur rasional dalam Islam inilah yang mereka jadikan dasar serius dalam mengembangkan kebudayaan mereka. Pendek kata, Eropa berubah menjadi rasional dan ilmiah setelah diajari oleh orang-orang Islam. Hal demikian tercermin dalam perubahan bahasa-bahasa Eropa setelah zaman modern.

Hal yang sama juga terjadi di kepulauan Nusantara yang berbahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu Kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Semesta bahasa dikandungnya tidak menggambarkan pemahaman atas wujud secara rasional dan ilmiah. Wujud yang dihadapi hanya dilihat dari sudut estetika hingga pemahaman atas wujud tidak pernah melahirkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Berbeda saat Islam datang ke wilayah ini. Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama ini mengajarkan terlebih dahulu tentang konsepsi wujud secara benar. Wujud dipahami secara rasional dan ilmiah, bukan secara estetis. Misalnya, dalam paham Melayu Kuno yang dipengaruhi Hindu-Budha, alam ini dianggap hanya bayangan semu balaka sehingga dianggap sebagai ilusi apabila kehidupan dunia menjadi perhatian utama. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan bahwa wujud kehidupan dunia ini adalah nyata, namun dia akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih abadi kelak di akhirat. Untuk sampai ke sana, maka di dunia manusia hidup dilengkapi ruh. Pandangan semacam ini telah mengajarkan kepada masyarakat melayu tentang bagaimana seharusnya memperlakukan alam ini.

Konsepsi tentang wujud itu tercermin dalam bahasa Melayu-Islam, yaitu melalui kosa-kata yang banyak dipinjam dari bahasa Arab, bahasa yang berkembang sempurna karena menjadi bahasa Al-Quran. Pengayaan kosa kata bahasa Melayu dengan konsep-konsep kunci yang berasal dari Islam inilah yang telah memungkinkan orang-orang di kepulauan Nusantara ini secara mudah dapat memahami apa yang diajarkan Islam, yaitu cara-cara berpikir rasional dan ilmiah. Ini pula yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini mulai meninggalkan dunia klenik dan mistik menuju dunia ilmiah-rasional yang berimplikasi pada kemajuan peradaban yang tinggi.

Sejarah menyaksikan bahwa pada setelah Islam berkembang di kawasan ini, Asia Tenggara menjadi kawasan yang maju secara peradaban dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Ekonomi berkembang sangat baik sebagai efek dari mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dalam naungan Islam. Selama masa Islam ini pula naskah-naskah berbahasa Melayu-Islam dan bertuliskan huruf ”Jawi” (Arab Pegon) dihasilakan dengan sangat melimpah. Isinya bukan lagi seni sastra memuja-muja penguasa, melainkan berbagai aspek dalam dunia ilmu pengetahuan yang rasional yang dibutuhkan untuk sebuah kemajuan peradaban. Inilah yang sering luput dari perhatian para peneliti Barat. Oleh sebab itu, Al-Attas dengan sangat yakin berpendapat bahwa sarjana-sarjana Barat yang menggap Islam tidak berpengaruh pada sejarah masyarakat kawasan Nusantara telah melakukan kesalahan fatal dalam analisis mereka. Wallâhu A’lam.

wdcfawqafwef