Hari ini, selepas sholat subuh, aku pergi ke pasar tradisional dengan khadimat setiaku. Kami berangkat pagi-pagi sekali karena dua alasan – lokasi parkir yang enak dan pilihan ikan segar yang lebih banyak. Jadi, di sanalah kami, di pagi buta, berjuang mencari jalan di antara ramainya para pedagang ikan, berusaha mendapatkan ikan terbaik. Satu jam kemudian kami sudah siap untuk memasukan “tangkapan hari ini” ke dalam mobil ketika aku melihat sesuatu yang menyentuh hatiku.
Seorang bapak tua bersama istrinya, keduanya berusia enam puluhan, sedang mendorong gerobak yang sarat di muati sayuran. Aku berjalan menghampiri mereka dan bertanya apakah sayuran itu di jual.
“Ya, nak,” si istri menjawab sambil tersenyum, dengan niat supaya pasangan ini dapat untung lebih cepat dan pulang lebih awal, aku memutuskan untuk membeli sekaligus banyak. Setelah memilih-milih sayuran yang akan ku beli, aku membayar dan mulai berbincang dengan mereka. Sesudah obrolan berjalan lima belas menit, aku tahu bahwa anak-anak mereka sudah dewasa semua, berpendidikan tinggi, dan juga sangat sukses. MASYAALLAH! Aku jadi penasaran.
Jika anak-anak mereka sukses, mengapa mereka harus berat di usia yang setua ini? Apakah mereka di telantarkan? Di mana anak-anak mereka? Apa anak-anak itu tidak melihat betapa kerasnya kehidupan orangtua mereka? Tidakkah mereka merasa bertanggung jawab?
Seolah bisa melihat rentetan pertanyaan dalam kepalaku, bapak tua itu berkata, “Begini, Nak, Bapak dan Istri Bapak ini menanam sayuran sendiri dan sudah berjualan di pasar ini sejak kami masih muda. Dengan cara itulah kami mampu mengirim anak-anak kami ke sekolah perguruan tinggi. Kami tidak kaya, tapi yang kami miliki, cukup untuk kami semua. Setiap suapan yang masuk ke mulut kami di peroleh dari usaha sayuran ini, Alhamdulillah. Jadi, sekarang, meskipun kami hidup berkecukupan dari uang yang di kirim dari anak-anak kami, kami merasa bahwa sepanjang kami masih bisa memperoleh penghasilan yang halal, selayaknyalah kami terus bekerja. Bekerja baik untuk kami, di sarankan oleh agama, dan, selain itu, kami juga butuh olahraga,” katanya sambil terkekeh.
Sewaktu kutanya berapa lama dia berencana terus bekerja, bapak itu berkata ceria, “Sampai Bapak berhenti nafas, Nak—sampai hari Allah mengambil kemampuan bapak bekerja. “
SUBHANALLAH…Aku tak sanggup berkata-kata, hanya kurasakan hangat disudut mataku. Sungguh luar biasa sikap pasangan ini. Mereka benar-benar membuatku TAKJUB. Inilah pertama kalinya dalam hidupku aku melihat orang-orang yang begitu bangga pada pekerjaan mereka dan menolak menerima pemberian, meski punya hak yang sah untuk menerima. SUBHANALLAH!
Sekarang aku betul-betul mengerti apa yang pernah di katakan Seorang bijak:Bekerja adalah cinta yang di wujudkan. Dan jika kau tidak bisa bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan keengganan, lebih baik kau tinggalkan pekerjaanmu dan duduk di gerbang kuil dan menerima derma dari orang-orang yang berkerja dengan gembira.
Dan aku bisa melihat cinta dan kegembiraan bekerja pada wajah pasangan tua ini. Bukan main, tampak jelas betapa mereka mencintai pekerjaan mereka. Mereka bangga masih bisa mencari nafkah walaupun pemberian anak-anak mereka mencukupi. Aku hanya bisa membayangkan keceriaan dan semangat yang tentu mereka rasakan dalam hati, setiap mereka terjaga di pagi hari—pergi ke kebun, mungkin menanam benih baru, atau memetik sayuran segar untuk di bawa ke pasar. Semua itu lakukan dengan cinta dan kebanggaan dalam hati mereka.
Jika bercermin pada pasangan ini, aku bertaruh banyak orang muda yang merasa malu. Orang-orang muda yang selalu mengeluh kalau harus pergi bekerja, yang ingin hidup enak tanpa harus bekerja keras. Orang-orang seperti inilah yang tidak pantas menerima pemberian dan merekalah jenis orang yang berharap dipandang dan dikasihani, itu baru antara lain.
Aku pernah melihat orang-orang, yang berusia jauh lebih muda daripada pasangan ini, yang begitu bencinya bekerja sampai-sampai mereka selalu berusaha mencari celah untuk di salahgunakan dalam kebijakan-kebijakan organisasi mereka. Hal-hal seperti surat dokter lancung dan alasan-alasan palsu selalu mereka gunakan untuk bolos bekerja. Bagi mereka, membodohi majikan adalah kemenangan. Kadang aku bertanya-tanya yang bodoh itu sebenarnya siapa. ASTAGFIRULLAH….
Ibnu Al-Jawzi pernah berkata : Tak pernah aku melihat aib yang lebih menyedihkan dalam masyarakat daripada mereka yang berhenti bekerja padahal mereka sanggup melanjutkan.