Cinderella Tak Pernah Jadi Mahasiswa

moslem-eagle.blogspot.com - Menjadi seorang intelektual, apalagi masih muda, tentu merupakan suatu kehormatan yang harus disyukuri, khususnya di tengah makin tingginya biaya pendidikan. Terlebih melihat banyak dari generasi muda yang hanya bisa terkatung-katung dan tersebar di sejumlah ruas jalan, mulai dari yang hanya duduk berpangku tangan hingga yang berpeluh deras mengais rezeki. Dalam diri seorang yang pandai, tentu tidak ada keinginan untuk menjadi seperti para generasi muda yang sedang berlalu-lalang di ruas-ruas jalan tersebut. Wujud keinginan seorang pandai akan memotivasinya meraih tingkat pendidikan yang sebaik-baiknya.

Mahasiswa, merupakan istilah bagi kaum terpelajar selepas sekolah menengah. Pada masanya, sejumlah perguruan tinggi akan siap menampung dengan serangkaian program studi yang menjanjikan. Dalam aktivitas akademisnya, mahasiswa diatur oleh kurikulum pembelajaran, yang meliputi jadwal dan materi perkuliahan, jumlah kredit semester serta praktikum dan fieldtrip. Tak heran jika di kampus akan banyak ditemukan sejumlah mahasiswa yang menenteng buku, hand-out atau yang kini lebih akrab dengan laptop atau tablet.


Setiap perguruan tinggi memiliki target tertentu dari kurikulum yang dicanangkannya. Pada umumnya, kurikulum tersebut dimaksudkan untuk menjadikan para mahasiswanya mudah dalam belajar, mampu meraih nilai terbaik dengan wujud IPK tinggi atau tertinggi, dan sejumlah titel sebagai mahasiswa berprestasi. Hal ini juga mengkondisikan mahasiswa ingin segera lulus dan memperoleh pekerjaan yang layak dengan modal IPK tinggi dan masa studinya yang singkat. Pekerjaan yang diinginkan pun tidak jauh dari terminologi posisi bergengsi dan gaji tinggi, yang tentunya akan makin menambah prestige individu dan keluarga. Ibarat pernikahan Cinderella yang membuatnya menjadi istri pangeran sehingga prestige-nya meningkat setelah sejumlah penderitaan hidup sebagai gadis miskin, maka terminologi Cinderella saat ini menjadi wajar untuk diimpikan oleh setiap anak manusia dalam meraih kebahagiaan setelah sejumlah kepayahan yang dialami saat sekolah dan kuliah. Demikian halnya bagi para orang tua yang telah berjuang membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga setelah lulus sang anak diharapkan dapat membalas budi yang telah ditanam oleh orang tua sebelumnya.

Saat mencari pekerjaan, terkadang lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dimiliki. Hal ini biasanya cukup terbaca oleh dunia kerja sehingga lowongan yang diiklankan bertajuk ‘untuk semua jurusan’. Sebutlah pekerjaan sebagai karyawan bank, wartawan atau pialang di bursa efek. Pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan latar belakang disiplin ilmu tertentu. Disamping itu, tawaran gajinya pun membuat makin semangat untuk meraihnya. Jika demikian, lalu bagaimana nasib dan pemanfaatan ilmu yang telah diperoleh di bangku akademik? Apakah hanya akan teronggok seperti batu tanpa kinetika tertentu?

Hal ini barangkali menjadi persimpangan bagi kalangan mahasiswa pascakelulusannya. Di satu sisi, dirinya merasa harus mendapatkan pekerjaan demi kompensasi sebagai penyambung hidup. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu yang dimiliki. Pada umumnya, sisi individual seringkali dimenangkan, karena mereka merasa tidak akan ada yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan hidup selain dirinya sendiri (kecuali jika ingin bunuh diri, na’udzubillaah). Pada akhirnya, tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu itu pun dinomorsekiankan.

Sementara itu, mari kita tengok ke dalam kampus. Seperti apa bentuk pertanggungjawaban disiplin ilmu itu? Sejatinya, kampus sebagai tempat mencetak generasi unggul.  Keunggulan itu sendiri hanya akan terwujud dengan konsep ilmu lil ‘amal.  Hanya saja, dunia kampus mengkondisikan ilmu para alumninya ini terabdikan secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan pemikirannya diperas habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah. Tanpa mampu berpikir lagi, intelektual kampus terbingungkan tentang sejatinya ke mana arah konsep ilmu lil ‘amal tersebut? Kondisi itu telah sangat menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi, yang terjadi, pemanfaatan ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan menggajinya dengan berwajah ‘manis’, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian.

Menilik sisi humanisnya, adakalanya mahasiswa ingin mencurahkan potensi lain dalam dirinya selain akademik, misalnya berorganisasi. Pada dasarnya, sisi ini perlu diasah untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak tercukupkan dengan dunia akademik secara individual saja. Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa di luar akademiknya pun perlu diapresiasi oleh masyarakat, khususnya oleh dunia kampus.

Pada perkembangannya hingga tahun 2011 ini, acara-acara yang disajikan oleh lembaga atau organisasi kemahasiswaan perlu dikritisi dan ditelusuri. Hal ini karena sebagian besar acara mahasiswa hanya berkisar pada bidang akademik, dunia kerja, wirausaha, serta hiburan dan konser musik. Bahkan, acara-acara yang sejatinya berlatar belakang akademik pun tidak sedikit yang mengundang selebriti tanah air sebagai bintang tamu dengan target antara lain mendapatkan sponsor dengan sumbangan dana yang besar atau menarik massa. Hal ini menjadi suatu kesimpulan bahwa acara kemahasiswaan pun sudah mulai berorientasi ‘having fun’. Dalam konteks intelektualitas, hal ini tidak mencerminkan mahasiswa sebagai kaum pemikir, terlebih yang ber-mindset awal pada perubahan dengan label the agent of change.  Berdasarkan fakta yang terjadi, maka harus disadari bahwa sisi ketertarikan mahasiswa dalam aktivitasnya ini menjadi bukti gerusan trend dan lifestyle yang ternyata menjadikannya pragmatis. Kita jangan pernah lupa bahwa Cinderella tak pernah menjadi mahasiswa, apalagi menjadi pengemban dakwah atau kaum pemikir, sehingga perubahan kehidupan pascapernikahannya pun akan selalu indah tanpa memikirkan dinamisasi kehidupan selanjutnya. Dan jangan pernah takut untuk hidup menderita, karena dalam mencapai sebuah perubahan yang hakiki memang membutuhkan perjuangan.

Label the agent of change adalah label umum bagi mahasiswa. Hal ini karena potensi dan semangat kaum muda sebagai the agent of change terintegrasi dengan sosok mahasiswa. Diakui atau tidak, sejak zaman dahulu sebagaimana perjuangan dakwah Rasulullaah saw, peristiwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih tahun 1453, lalu sejumlah revolusi di dunia seperti Revolusi Prancis, Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Amerika, hingga runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998, kaum muda adalah pemeran dan penggerak utamanya.

Kaum muda memiliki energi yang besar untuk melakukan perubahan pada masing-masing masanya. Fakta ‘having fun’ terbukti membuat mahasiswa timpang dari label asalnya. Oleh karena itu, harus ditelusuri bahwa energi besar itu harus dimuat di dalam koridor yang benar dan bertarget, sehingga pengejawantahannya pun tepat.

Sebagaimana generasi muda binaan Rasulullaah saw saat mendakwahkan Islam di Makkah hingga berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah pertama di Madinah. Hal ini tergambar dari sosok mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib yang telah masuk Islam dan menjadi pengemban dakwah Islam pada usia 8 tahun. Demikian halnya penakluk Konstantinopel yang mana usia Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun tersebut baru 21 tahun 2 bulan. Menilik usianya, mereka memang tidak harus menjadi seorang mahasiswa dulu untuk mewujudkan perubahan yang revolusioner. Ada faktor lain dalam diri keduanya yang menjadikannya mampu menembus batas keghaiban dengan intelektualitas yang motornya. Siapa yang tidak tahu bahwa Ali bin Abi Thalib adalah shahabat Rasulullaah saw yang terkenal cerdas? Dan siapa yang belum membaca bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih adalah pemimpin terbaik dari pasukan terbaik yang dijanjikan Allah Swt untuk membebaskan Konstantinopel yang tersohor sebagai kota yang sangat sulit ditembus karena benteng-bentengnya yang kuat? Dengan kisahnya, keduanya jelas memiliki kapasitas berpikir yang optimal untuk meraih cita-cita perjuangannya.

Menjadi sosok muda, berprestasi dan ber-prestige toh tidak membuat seorang Ali bin Abi Thalib dan Sultan Muhammad Al-Fatih terbanggakan hanya dengan ukuran duniawi itu semata. Kemudaan mereka dalam prestasi dan prestige tidak hanya bertaraf dunia, tapi juga bertaraf akhirat.  Mereka adalah pemuda produk dari sebuah cita-cita yang dianggap mustahil pada masanya dan masa kini. Akan tetapi, kapasitas intelektualitas mereka senantiasa dirangkai dengan keyakinan akan kebenaran janji Allah Swt hingga telah membuatnya menjadi kenyataan bersejarah yang tertoreh sebagai bagian penting dalam peradaban manusia. Atas yang demikian ini, kini saatnya mahasiswa sebagai sosok muda harus mengganti mindset-nya sebagai penentu arah bagi kapasitas intelektualitasnya. Ilmu yang dipelajarinya harus dapat bermanfaat untuk kebangkitan dan kemaslahatan umat serta tidak terkotak-kotak oleh ego sektoral disiplin ilmunya. Tiba masanya bagi mahasiswa untuk mereorientasi diri sebagai kaum pemikir yang ber-mindset sebagai the agent of change atas landasan keyakinan terhadap ridho Allah.

Berdasarkan kisah di atas, mari mengurai kehidupan mahasiswa dimana aktivitas akademik dapat menjadi titik awal sorotnya.  Mahasiswa menuntut ilmu sejatinya merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”  Kehidupan dunia dengan orientasi akhirat bukanlah sesuatu yang muluk-muluk bagi kaum muda. Toh berpikir tentang akhirat memang bukan hanya aktivitas bagi mereka yang sudah manula, tapi justru harus sejak masih muda. Dengan demikian, dalam menuntut ilmu pun harus senantiasa dikaitkan dengan posisi manusia sebagai makhluk Allah Swt.

Selanjutnya, ukuran sukses pun tak layak jika hanya atas nama besaran dunia tanpa satuan akhirat. Mahasiswa sukses bukan sebatas baik meraih IPK tinggi, sejumlah prestasi, banyak mengikuti organisasi kemahasiswaan, maupun menjadi peserta student exchange atau beasiswa kuliah ke luar negeri. Ingatlah bahwa setiap makhluk akan mengalami kegagalan dalam kehidupannya, kecuali dalam aktivitas saling mengingatkan sesama kepada yang haq. Allah Swt telah memberikan standar kesuksesan bagi seorang muslim sebagaimana dalam QS. Al-Ashr ayat 1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Dengan mindset sukses seperti ini, maka mahasiswa sudah memiliki bahan bakar sehingga siap untuk membuat arus baru perubahan sebagai the agent of change. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Saatnya muatan dan arah perubahan senantiasa dipenuhi dengan langkah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Hanya saja, membuat arus perubahan memang tidak bisa sendiri atau gerak individu. Rasulullaah saw pun ketika menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah diawali dengan membentuk pergerakan bersama para shahabat untuk menentang segala kekufuran di kalangan kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah di jazirah Arab. Sultan Muhammad Al-Fatih ketika menaklukan Kontantinopel pun diiringi oleh pasukan terbaik yang telah dijanjikan Allah Swt. Demikian pula di masa kini, mahasiswa harus tergabung dalam tim yang solid untuk memulai perubahan yang dicita-citakan. Dan bercermin dari kedua kisah tersebut, maka jelas bahwa perubahan hakiki hanyalah dengan syariat Islam.

Tanpa ragu, terminologi Cinderella tidak lagi wajar untuk diimpikan oleh setiap keluarga muslim bagi kesuksesan anak-anaknya. Pembiayaan dan pengorbanan orang tua bagi pendidikan anak bukanlah konsep balas budi, melainkan bagian dari kewajiban nafkah orang tua kepada anak. Demikian pula bagi anak, bekerja dan bergaji bukanlah konsep balik modal kepada orang tua. Hal ini karena konsep sejatinya adalah kewajiban birrul walidain atau berbakti kepada orang tua. Jadi hubungan anak dan orang tua bukanlah hubungan balas jasa. Standar kebanggaan orang tua kepada anak hanya akan menjadi kebanggaan semu ketika didasarkan pada besaran dunia. Orang tua semestinya membanggakan anaknya ketika anaknya menjadi orang yang menaati Allah dan Rasul-Nya, bukan yang menyetorkan gaji dengan nominal terbesar. Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).

Terlebih mengingat hukum syara’ yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja. Hukum mencari nafkah bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan perempuan mencari nafkah adalah mubah (boleh) yang artinya boleh dilakukan boleh tidak. Aktivitas wajib perempuan justru menjadi ummu wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Jadi jangan sampai aktivitas di luar rumah malah melalaikan perempuan terhadap kewajibannya tersebut. Toh Islam mengatur pekerjaan bukan semata-mata untuk bisnis dan kepentingan individu pekerja, melainkan lebih dari itu, yaitu untuk kehormatan Islam dan kesejahteraan umat.
Wallahu’alam.[moslem-eagle.blogspot.com]

by Nindira Aryudhani

wdcfawqafwef