Kedurjanaan Densus 88

Meski Rancangan Undang-Undang Intelijen yang memberikan kewenangan kepada intelijen negara untuk menangkap dan mengintrograsi seseorang sampai 7 X 24 jam belum disahkan, Densus 88 sudah kerap kali menculik. Densus 88 telah membuang asas praduga tak bersalah. Siapa saja yang dianggapnya teroris diperlakukan semena-mena. Satu contoh kasus, tindakan brutalnya pun dipertontonkan saat  melakukan penangkapan seorang aktivis dakwah Muhammad  Bahrun Naim pada 9 Nopember 2010 lalu.
Penculikan Biadab

Brak! Seorang aktivis dakwah Muhammad Bahrun Naim pun jatuh dari motornya setelah ditabrak lari dari belakang oleh seseorang berhelm yang juga menggunakan motor, Selasa (9/11/2010)  sekira pukul 11 siang di sekitar pusat belanja terkenal PGS di Solo, Jawa Tengah.

Orang-orang bersenjata dengan mengenakan penutup muka kemudian turun dari sebuah mobil yang menepi dekat Bahrun. Bahrun yang mencoba berdiri langsung didorong dan dibungkam hingga mencium aspal.

Sebelum Bahrun sempat berdiri, mereka melancarkan pukulan beruntun, bahkan kepalan Bahrun juga ikut ditendang. Beberapa teman Bahrun semasa kecil yang berjualan di lokasi kejadian spontan berteriak, "Anggih... Anggih...”(panggilan masa kecil BN).

Sambil terus berteriak, mereka dan pedagang lainnya berlari menghampiri, dengan tujuan hendak membalas pukulan para begundal itu dan menolong Anggih, Namun mereka kalah cepat. Para penculik berbadan tegap itu langsung mencokok Bahrun ke dalam mobil yang kemudian melaju kencang. 

Di dalam mobil, salah seorang  penangkap  menelepon seseorang yang disebutnya sebagai komandan. “Dan, yang dicari Naim atau Nuaim?”  ujarnya menanyakan secara pasti siapa nama sasaran yang dimaksudkan.

Mendengar masih belum pastinya sasaran, Bahrun kemudian menjelaskan bahwa nama dirinya adalah Muhammad Bahrun Naim. Dan bukan saudara dari Ust Abu Bakar Baásyir yang bernama Nuáim.

Mendengar penjelasan tersebut, alih-alih dilepaskan, mata Bahrun malah ditutup lakban. Tangannya diikat ke belakang sembari dipukuli bertubi-tubi. Kemudian digiring ke sebuah hotel. Bahrun tidak mengetahui nama dan lokasi hotel tersebut, karena disekap dan mata ditutup lakban, diperkiraan masih daerah Solo.

Di kamar hotel, Bahrun kembali mendapat bogem mentah yang dihantamkan secara beruntun. Selama dipukuli, mata Bahrun tetap ditutup. Menurut analisanya, alat yang digunakan untuk memukul dia berupa rotan, helm, tang. Untuk kepala dipukul dengan rotan atau kayu. Badan dan paha ditarik menggunakan tang. Kepala dipukuli juga hingga telinga tidak bisa mendengar dengan jelas.

Sekitar pukul 8 malam, penutup mata dan pengikat tangan Bahrun dibuka. Dia disuruh untuk membuat denah rumah. Lalu ditanya posisi garasi. Ditunjukkanlah kepada Bahrun daftar pencarian orang (DPO) yang dianggap Densus 88 terlibat jaringan teroris.

“Kenal mereka?” tanya penculik. Dengan tenang Bahrun pun menjawab tidak mengenal mereka sama sekali saat dilihatkan foto wajah-wajahnya. “Tidak tahu,” ujar Bahrun keukeuh saat ditanya lagi dari jaringan mana sajakah  para buronan itu. Para penculik pun kembali naik pitam dan memukuli lagi Bahrun.

Ransel Siapa?



Keesokan harinya, Bahrun digiring ke rumah kontrakannya di Kampung Metrodanan, Semanggi, Pasarkliwon, Surakarta sekitar pukul 05.55 WIB. Rumah dalam keadaan kosong, karena istrinya berada di rumah orangtua Bahrun. Kemudian  Ketua RT setempat, petugas Siskamling dan perwakilan dari RW diundang ke rumah Bahrun untuk menjadi saksi. Saat proses penggeledahan pertama kali yang penculik lakukan adalah menahan Bahrun tetap berada di dalam mobil.
Kemudian penculik bertanya, “Di mana barang-barang rumah di simpan?” Bahrun pun menjawab digarasi rumahnya. Setelah itu para penculik yang merupakan personel Densus 88  itu turun. Sedangkan Bahrun tetap ditahan di dalam mobil dan dijaga begundal lainnya.

Anehnya, pada saat memulai penggeledahan rumah, saksi-saksi tadi tidak ada yang ikut. Densus 88 masuk dengan mendobrak pintu rumah sampai rusak.  Dalam waktu 15 menit mereka keluar dan memanggil Bahrun, para saksi dan wartawan untuk masuk.

Mereka diajak ke gudang. Di dalam gudang, Densus 88 menunjukkan tas ransel warna biru. Bahrun merasa heran, dalam hati bertanya, “tas siapa ini?” Dibukalah ransel yang bermerk Nort Star itu, maka terbelalaklah mata Bahrun dan semua saksi ketika melihat ada peluru AK 47 dan sarung pistol jumlahnya sekitar 500 butir.

Setelah penggeledahan itu, aparat membawa Bahrun ke Jakarta menggunakan mobil. Selama perjalanan kembali Bahrun dipukuli. Sampai dia merasa dirinya pingsan beberapa kali namun atas pertolongan Allah, ia tidak merasa sakit tersebut. Hingga 3 hari setelah peristiwa itu, baru terasa sakitnya. Dan akhrinya dia trauma sehingga selama 3 hari dia tidak dapat tidur.

Selama penyidikan di Jakarta, ia tidak didampingin penasehat hukum yang diberikan aparat, Asluddin Hatjani . Selama itu pula dia melihat penyidik selalu menggunakan senjata jenis Glock yang terselip di pinggang. Hingga harus bolak balik sel isolasi selama 24 hari di sel D16, lalu pindah ke sel D7. Dan setelah itu baru dikirim kembali ke Solo untuk  disidangkan.

Melanggar HAM

Alasan utama penyidangan Bahrun adalah delik diduga keras telah melakukan tindak pidana tanpa hak menerima, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, sesuatu amunisi atau sesuatu bahan peledak sebagimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Jadi Bahrun ditangkap bukan delik teroris tetapi delik menyimpan senjata tanpa izin. Namun, anehnya perlakuan aparat kepada Bahrun seolah-olah memerlakukan seorang yang diduga teroris.

Padahal meskipun seseorang diduga teroris, tetap saja tindak semena-mena dilarang.  Tetapi Densus 88 telah membuang asas praduga tak bersalah. Bahkan rambu-rambu UU terkait dengan HAM yang dibuat oleh penguasa sendiri juga mereka campakkan.

Sekedar mengingat tentang sebuah UU produk thagut:
UU NO. 39 Th 1999 Tentang HAM, Pasal 4: "hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."  Kecuali Densus 88? - Albertus Salempang/berbagai sumber

 Note: Albertus Salempang adalah samaran.. Di ambil dari dua nama dari 2 orang densus88.. Yang semua salib.

~MuSaFir~

[moslem-eagle.blogspot.com]

wdcfawqafwef