Selamatkan Anak dari Jerat Pornografi dan Seks Bebas


Oleh Eko Pujiastuti, SP.
Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia


Anak adalah permata hati bagi orang tua dan keluarga. Anak juga merupakan mutiara-mutiara bangsa yang menjadi tumpuan dan harapan bagi kemajuan peradaban dan kemuliaan sebuah bangsa. Jika anak memiliki kepribadian yang baik, masa depan bangsa tersebut juga akan baik. Namun, jika mutiara-mutiara bangsa itu mengalami kehancuran, disorientasi hidup, dan kebobrokan moral, akan hancurlah sebuah bangsa. Lalu bagaimana dengan potret anak-anak kita saat ini?


REALITAS DUNIA ANAK
Data-data terkait fakta dan perilaku anak-anak Indonesia saat ini begitu mengerikan. Berikut di antaranya:


Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat melakukan survey di enam kabupaten di Jawa Barat tahun 2009 diperoleh hasil: 29 % remaja pernah melakukan seks pranikah. Artinya jika jumlah remaja Jawa Barat 11 juta maka 3 jutanya pernah melakukan seks bebas. Lalu berdasarkan laporan Komnas Anak pada tahun 2007, jumlah remaja yang sudah tidak perawan tercatat 62,7 %. Menurut Sekretaris BPPKB Jabar, Suryadi, salah satu penyebab seks bebas di kalangan remaja adalah beredarnya media-media pornografi yang mudah diakses remaja.


Komnas Anak juga melansir, 97% anak Indonesia pernah nonton pornografi, 97% anak SD pernah mengakses pornografi (2009) dan 30% dari 2-2,6 juta kasus aborsi dilakukan remaja usia 15-24 tahun (2009). Berdasarkan data Depkominfo pada tahun 2007, ada 25 juta pengakses internet di Indonesia. Konsumen terbesar 90 persen adalah anak usia 8-16 tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban pornografi adalah anak.


Dua dari lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet, 76 persen korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-17 tahun. Itu baru penelitian terkait dengan pornografi melalui internet belum lagi melalui media yang lain. Akibatnya suburlah praktik aborsi. Pada 2008, Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta kasus, 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja dibawah usia 20 tahun (majalah Al-Wai’e No.112 Tahun X, 1-31 Desember 2009).


Sementara itu, hasil Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dirilis awal Mei 2010, sebanyak 97 persen siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas pernah menonton atau mengakses situs pornografi. Dampak mengakses situs porno, kata Tifatul, sebanyak 92,7 persen responden siswa menengah mengakui pernah melakukan aktivitas mengarah seksual berupa ciuman, bercumbu dan seks oral. Sebanyak 62 persen dari 4.500 responden tersebut mengaku pernah melakukan hubungan badan dan sisanya 21,2 persen yang merupakan siswi SMA pernah melakukan pengguguran kandungan.


Yang paling menyentak adalah dampak negatif dari beredarnya video cabul yang diperankan para artis. Kasus yang seharusnya cukup menjadi alarm untuk sesegera mungkin menyelamatkan bangsa dari ancaman bahaya kerusakan, malah menginspirasi sebagian kalangan untuk bertindak serupa atau ‘minimal’ menikmatinya.


Di beberapa tempat, kasus ini bahkan menjadi pemicu terjadinya berbagai kriminalitas, termasuk pemerkosaan yang dilakukan anak-anak muda belia. Terbukti, selama 10-23 Juni 2010 telah jatuh korban pemerkosaan sebanyak 30 orang yang dilakukan anak usia 16-18 tahun, sementara korbannya berusia 12-14 tahun. Para pelaku mengaku mereka memperkosa setelah menonton video artis tersebut. Tidak mengherankan, karena dalam kasus video ini dari 30 anak yang ditanya, 24 anak menyatakan sudah menonton video tersebut.


Melalui berbagai wacana, masyarakat pun dipaksa percaya bahwa kasus semacam ini merupakan hal biasa, dimana hukum tak mungkin bisa menyentuhnya. Berbagai debat kusir dilakukan menyusul desakan sebagian masyarakat yang resah dan prihatin atas fenomena yang terjadi untuk menyeret pelaku zina dan semua yang terlibat di dalamnya ke hadapan hukum.


Di pihak lain, ada pula sekelompok masyarakat yang terang-terangan mendukung pelaku zina dan menuntut ‘pemutihan’ atas perbuatan amoral yang mereka lakukan. Mereka berdalih, semua manusia pernah melakukan dosa, dan urusan dosa adalah urusan individu dengan Tuhannya. Negara atau siapapun tak berhak menghukumnya.


AKAR MASALAH


Seks bebas, pornografi dan pornoaksi yang merajalela di negeri ini merupakan konsekuensi logis diterapkannya sistem demokrasi. Demokrasi tidak menjadikan agama sebagai sumber hukum. Agama diakui sebagai pegangan individu yang hanya mengurusi wilayah privat manusia. Adapun dalam urusan publik, agama tidak boleh dibawa-bawa. Pengaturan urusan publik diserahkan pada kendali manusia. Manusia secara penuh berhak membuat dan menetapkan aturan. Mengapa? Karena sistem demokrasi lahir dari pemikiran manusia sebagai ’win-win solution’ atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Adapun liberalisme yang menjadi pilar demokrasi telah menjadikan pengaturan urusan manusia mestilah menjamin kebebasan manusia. Akibatnya kebijakan politik yang dikeluarkan tidak boleh melanggar kebebasan ini. Wajar jika ditemukan kebijakan-kebijakan yang masih bersifat permisif .


Pornografi dan seks bebas adalah gambaran kebebasan perilaku yang pasti diberi ruang dalam sistem demokrasi yang berpilar pada kebebasan itu. Dalam pandangan liberal, naluri seksual pada manusia – saat menuntut pemenuhan – harus dipenuhi dengan segera, Karena kalau tidak dipenuhi akan mendatangkan bahaya.


Tidak peduli dengan siapa ia melakukannya. Apakah terikat dengan aturan pernikahan ataukah tidak, itu tidak penting dalam pandangan mereka. Sebab yang penting adalah tertunaikannya gejolak naluri seks tersebut. Tentunya, inilah yang menyebabkan derajat manusia satu tingkat dengan binatang, bahkan bisa lebih rendah dibawahnya. Mirip perilaku hewan jantan yang menunaikan ’hajat’ seksnya dengan betina manapun, kapanpun dan dimanapun.


Pandangan ini tentunya mewarnai kebijakan publik terkait pengaturan hubungan laki-laki dan perempuan. Karena itu kita lihat maraknya tempat prostitusi yang dilokalisasi, sehingga perzinahan menjadi resmi. Patut diketahui bahwa sistem demokrasi erat kaitannya dengan kapitalisme. Karena salah satu kebebasan yang menjadi pilar demokrasi disamping kebebasan berperilaku, juga kebebasan kepemilikan.


Siapapun boleh menjarah kekayaan yang lain, siapapun boleh memiliki harta dengan cara apa saja. Sementara itu dalam urusan pemenuhan naluri seks ada peluang untuk mengkomersilkannya, sehingga urusan seks pun bisa dikomoditisasi. Karena itu wajar bila isu seksual ini dijadikan industri yang prospektif untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.


Karenanya tak heran kita jumpai produksi film, sinetron, buku, majalah, tabloid, kalender hingga pernak-pernik untuk peringatan valentine days, lagu-lagu bertema cinta - yang semuanya notabene menjadi pencetus munculnya naluri seks – menjadi hal yang legal dan marak. Ini semua menjadi sah-sah saja dalam kehidupan masyarakat yang sekular-liberal-kapital yang menjadi ciri demokrasi.


Anak-anak menjadi korban. Mereka disuguhi tontonan yang menggugah naluri seksnya dan merusak moral mereka, dan sistem liberal ini siap menjerumuskan mereka ke dalam jurang yang lebih dalam lagi. Celakanya, ketika terjadi kemaksiatan, tak ada satupun hukum yang mampu menjeratnya. Jika mampu, maka sanksi yang tidak membuat para pelaku jera. sehingga wajar jika kemaksiatan tak dapat dibendung kemunculannya.


Inilah sekilas gambaran tentang betapa sistem yang selama ini diagung-agungkan mengandung banyak kelemahan bahkan cacat yang bersifat bawaan. Akibatnya aturan cabang yang dilahirkan pun memiliki kelemahan dan kesalahan hingga tidak mampu menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang muncul.


ISLAM SELAMATKAN ANAK


Berbeda dengan liberalisme, Islam memiliki aturan yang sempurna dalam melindungi anak-anak dari racun-racun pornografi, pornoaksi dan seks bebas yang berdampak buruk bagi eksistensi mereka. Islam melindungi anak-anak, bahkan moral orang dewasa dengan melarang individu-individu mengumbar masalah seks di ranah publik.


Untuk membentengi anak dari menyeruaknya pornografi, selain menguatkan keimanan maka anak diberikan pendidikan seks dari sumber yang benar. Di dalam ajaran Islam terdapat aturan pendidikan seks, tetapi pelaksanaan pendidikan seks tersebut tidak menyimpang dari tuntutan syariat Islam. Jadi, pendidikan seks dapat diberikan kepada anak, manakala berisi pengajaran-pengajaran yang mampu mendidik anak, sehingga anak lebih mengimani, mencitai, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Dengan pendidikan yang diberikan tidak akan membuat anak-anak mengalami krisis moral dengan melakukan aksi pornoaksi seperti yang terjadi pada aturan liberal di atas, karena konten yang diberikan juga sangat berbeda.


Diantara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak antara lain:


Pertama, menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak walau masih kecil bertelanjang di depan orang lain. Membiasakan anak sejak kecil berbusana muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu, sekaligus mengajarkan pada anak tentang aurat.


Kedua, menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang kelak akan diperankannya.


Mengingat perbedaan tersebut, maka Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Dan perlakukan mereka sesuai dengan jenis kelaminnya juga.


“Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita, dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. Dalam riwayat yang lain: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki-laki”. (HR. Bukhari).


Ketiga, memisahkan tempat tidur. Usia antara 7 hingga 10 tahun merupakan usia dimana anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berfikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Bila pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, maka setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Bila pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang beda jenis kelamin, maka secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.


Keempat, mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu). Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta ijin terlebih dahulu adalah, sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat diantara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat. Yakni waktu dimana badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. Bila pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak, maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan santun dan etika yang luhur. Sehingga dengan penerapan aturan ini, maka anak juga terjaga dari melihat hal atau aktivitas orang dewasa yang tidak layak dilihat.


Kelima, mendidik menjaga kebersihan alat kelamin. Mengajarkan anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajarkan pada anak tentang najis. Juga harus dibiasakan anak untuk buang air pada tempatnya (toilet training).


Keenam, mengenalkan mahramnya. Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan, telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Siapa saja mahram tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Surat An-Nisa’:22-23.


Ketujuh, mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata. Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Jauhkan anak-anak dari gambar, film, bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.


Kedelapan, mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat. Ikhtilat adalah bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa keperluan yang keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan. Seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syara’ guna mengatur interaksi diantara mereka. Dilarang ikhtilat, karena interaksi semacam ini bisa sebagai perantara kepada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Bila ikhtilat dibiarkan, maka pintu-pintu kemaksiatanpun akan terbuka lebar. Dan akan membawa dampak kepada kerusakan kehidupan manusia. Jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.


Kesembilan, mendidik anak agar tidak melakukan khalwat. Dinamakan khalwat apabila seorang laki-laki dan wanita bukan mahramnya, berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Dan biasanya memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilat, khalwatpun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajarkan untuk menghindari perbuatan semacam ini. Bila bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Bila dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak berkhalwat.


Kesepuluh, mendidik etika berhias. Berhias, jika tidak diatur secara Islami akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias agar berhias tidak untuk perbuatan maksyiyat.


Kesebelas, mangajarkan tentang Ihtilam, haid serta konsekuensinya. Ihtilam adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia baligh. Sedang haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilam dan haid tidak hanya sekedar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Apabila terjadi ihtilam dan haid Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Antara lain misalnya kewajiban untuk melakukan mandi wajib. Dan yang paling penting, ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi muslim dan muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.


Inilah sebagian kecil hukum Islam yang bersumber dari Pencipta manusia (Allah SWT) yang jelas benar dan sempurnanya. Jika aturan tersebut diterapkan, maka akan menciptakan kesucian diri , kedamaian, kebahagiaan hidup hakiki bagi semua termasuk anak-anak.


KHATIMAH
Untuk menyelamatkan anak-anak bangsa ini dari jerat pornografi dan seks bebas diperlukan upaya yang serius dari berbagai pihak. Karena. masalah anak, yang salah satunya adalah kerusakan moral bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Bukan juga sebatas masalah keluarga yang mesti diselesaikan hanya oleh keluarga. Masalah anak merupakan masalah yang kompleks yang melibatkan seluruh elemen baik keluarga, masyarakat bahkan Negara. Oleh karena itu, bagi setiap keluarga Muslim, harus memperkokoh perannya yang nyata-nyata memikul amanah mulia dalam menghantarkan anak-anaknya menjadi generasi yang handal. Yaitu anak-anak yang mampu menolak setiap racun yang membahayakannya. Begitu pula masyarakat, budaya amar ma’ruf nahyi munkar harus terus diperkuat agar bahaya apapun yang mengancam anggota masyarakat yang lain tidak menjadi ancaman yang berarti. Tentu saja upaya ini tidak akan sia-sia jika dilengkapi dengan adanya pergerakan politik dari masyarakat yang menuntut negara untuk menerapkan sistem yang menjamin keberlangsungan generasi yaitu sistem Islam


Selanjutnya, negara sebagai institusi yang memiliki kekuatan paling besar, harus menerapkan Islam dalam seluruh aspeknya, termasuk sistem pergaulan dan sanksi. Hingga anak-anaki Muslim terjaga dari kerusakan moral. Sudah saatnya Negara melindungi masyarakat dari virus-virus yang merusak moral dengan mengenyahkan sistem demokrasi liberal yang telah nyata-nyata rusak dan merusak untuk kemudian diganti dengan sistem yang terbukti mampu membawa umat manusia pada ketentraman dan kemuliaan yaitu Sistem Islam dalam wujud Khilafah Islamiyyah. Wallahu A’lam.(*)[moslem-eagle.blogspot.com]


Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/07/24/selamatkan-anak-dari-jerat-pornografi-dan-seks-bebas/


wdcfawqafwef