Bendera Tertinggal


 

Muhammad bin Abi Amir (326 H - 392 H) atau yang dikenal saat memimpin dengan sebutan Al Hajib Al Manshur. Pemimpin Andalus terbesar dan terhebat. Hanya Abdurahman An Nashir yang disebut oleh para ahli sejarah yang mampu menyaingi kehebatan kepemimpinanannya di Andalus.

Wajar, kalau ia seperti itu. Walau tadinya hanya bekerja sebagai seorang Hammar (yang menyewakan Keledai untuk mengangkut barang di pasar) dan tinggal di rumah kos bersama teman-teman seprofesinya di pojok Kota Cordova, ibukota Andalus. Tetapi yang membedakan dirinya dan teman-temannya adalah setelah penat bekerja seharian hanya sebagai Hammar, ia pergi ke masjid raya Cordova untuk duduk bersama para ahli ilmu. Begitulah ia jalani hari-harinya hingga ia menjadi ahli ilmu. Dan ilmu serta iman lah yang mengangkat seseorang di dunia dan di akhirat.


Singkat cerita, ia meniti karir sebagai polisi hingga menjadi kepala polisi Andalus, kemudian menjadi pengawal pemimpin Andalus yang masih kecil sampai akhirnya resmi menjadi pemimpin tertinggi Andalus. Subhanallah....agar kita tahu, kebesaran bukan milik orang-orang berharta.

Saat ia memimpin. Ilmu, iman dan jihad adalah merupakan wajah aslinya. Dia sangat sering memimpin sendiri jihad melawan musuh Allah. Hingga ia begitu dekat dan merakyat. Maka tak heran jika kepemimpinannya adalah kebesaran.

Di tangan pemimpin seperti inilah, musuh Islam sangat segan dan takut kepada kekuatan muslimin. Muslimin masuk ke benak mereka sebagai sebuah kekuatan yang tak mungkin ditandingi seakan datang dari negeri dongeng.

Suatu saat pasukan muslimin memasuki wilayah masyarakat kafir. Kebiasaan pasukan muslimin saat memasuki wilayah perang, mereka menancapkan bendera di tempat tinggi. Dan bendera itu akan dicabut saat mereka meninggalkan wilayah tersebut. Maka pasukan pun menancapkan bendera-bendera di bukit-bukit dan di tempat yang tinggi.

Muslimin mencoba memasuki wilayah itu tanpa ada perlawanan apapun.Dan ternyata benteng-benteng tersebut telah kosong. Tak ada satupun penghuninya. Para penghuni telah kabur, karena mendengar pasukan muslimin mau datang ke wilayah mereka. Mereka berpencaran ke lembah-lembah di sekitarnya.

Karena tak ada penghuni, pasukan muslimin pun meninggalkan wilayah tersebut. Bendera-bendera dicabuti. Tapi seorang tentara muslim lupa mencabut sebuah bendera yang ditancapkan di bukit.

Para penghuni wilayah tersebut mengawasi terus wilayah mereka itu. Walaupun pasukan muslimin telah meninggalkan wilayah mereka beberapa hari yang lalu, tapi mereka tak kunjung kembali ke rumah-rumah mereka.

Apa pasalnya? Bendera tertinggal itu. Mereka menduga bahwa pasukan muslimin masih ada di benteng-benteng mereka, dengan bukti sebuah bendera yang tertinggal di puncak bukit.

Begitulah keadaan berhari-hari. Hingga mereka yakin bahwa muslimin telah pergi dan ternyata hanya bendera yang tertinggal.

Para ahli sejarah pun menyebut perang ini dengan Perang Ar Royah (Bendera). (Lihat: Al Andalus At Tarikh Al Mushowwar h. 236)

Begitulah izzah. Sekali lagi, izzah bukan karena jumlah yang banyak, juga bukan karena harta yang melimpah. Tetapi karena izzah itu hanya milik Allah semata. Tak ada yang memiliki selain Dia. Dan diberikannya kepada Rasul dan orang beriman.

Sayang banyak yang tak percaya. Sehingga mengejar izzah itu bersama orang-orang kafir dan konsep-konsep mereka.

Sayang, ada yang telah percaya konsep Islam tapi kurang memiliki keberanian untuk menerapkannya. Lagi-lagi, karena urusan dunia atau pasar.

Sayang, ada yang yakin, mencoba tapi setengah hati. Hingga ketika badai menerpa, ia pun kembali ke pantai lama. Jika demikian keadaan kita, bagaimana izzah mau hadir untuk kita? Mana mungkin kita bisa mendapatkan anak-anak penuh izzah yang tidak goyah oleh zaman dan lingkungannya.

Bandingkan dengan kisah di atas. Hanya sebuah bendera. Ya, selembar kain kecil. Bahkan hanya secarik kain kecil yang tak sengaja tertinggal. Tapi begitulah. Izzah bekerja di hati orang-orang kafir.

Tak perlu generasi ini yang hadir untuk mendatangi mereka. Hanya berita tentang generasi kita, hanya karya mereka, hanya perlengkapan yang mereka miliki. Tapi itu cukup untuk mengirimkan wibawa muslimin kepada mereka.

Saat itulah, keluarga-keluarga muslim berlomba melahirkan generasi sebanyak dan sehebat mungkin. Saat itulah, hampir tak ada orangtua yang khawatir peradaban kafir mempengaruhi anak-anak mereka. Saat itulah, yang ada adalah mempengaruhi dan mengarahkan dunia.

Inilah kisah izzah muslimin. Dan masih banyak sekali kisah-kisah semisal ini.

Generasi penuh izzah.

Bukan generasi imma'ah (ikut-ikutan).

Sumber 


ARTIKEL TERKAIT

http://adf.ly/HHuZ6

http://adf.ly/HHvEV

http://adf.ly/HHv7n

http://adf.ly/HHv1S

http://adf.ly/HHuuj

http://adf.ly/HHueS

wdcfawqafwef