moslem-eagle.blogspot.com - Rancangan Undang Undang Kesetaraan Gender (RUU KG) yang kini sedang dibahas di DPR menuai protes dari berbagai kalangan ilmuan Islam. Saat digelar dengar pendapat RUU Kesetaraan Gender ini pada 15 Maret 2012 lalu antara Komisi VIII DPR dengan beberapa ormas Islam, acara tak berjalan mulus. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), Aisyiah, Muslimat Nahdhatul Ulama, MUI, BMOIWI tak begitu saja menyetujui rancangan itu. Pada prinsipnya semua ormas Islam menolak RUU tersebut dengan catatan, sedangkan MHTI menolak sepenuhnya.
Penelaahan terhadap latar belakang dan landasan yang disebutkan dalam naskah akademis RUU ini menunjukkan bahwa RUU KG sebenarnya pesanan asing. Karena upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari semangat ratifikasi instrumen internasional yaitu DUHAM, CEDAW, dan Konfrensi Dunia tentang Perempuan; MDGs. Semua konvensi internasional ini wajib diratifikasi Indonesia, padahal kondisi masyarakat Indonesia dengan negara-negara internasional lain tidak sama, dimana masyarakat Indonesia mayoritasnya muslim. Apalagi banyak hal-hal yang ada dalam konvensi internasional itu ternyata bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Kewajiban untuk meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi internasional ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak berdaulat karena mengikuti arahan internasional tanpa memperhatikan kepentingan rakyat yang mayoritas muslim, apalagi bila pertimbangannya karena takut terkena sanksi internasional jika tidak melaksanakan hasil konvensi.
Selain ratifikasi konvensi internasional, latar belakang lairnya RUU KG ini juga karena dalih klasik yang acap dilontarkan pegiat gender bahwa perempuan masih mengalami diskriminasi dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Perempuan adalah obyek penderita terhadap pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin. Akibatnya,kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau lainnya berkurang bahkan terhapus. Maka harus ada kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Artinya harus ada peningkatan keterlibatan perempuan pada seluruh sektor dan tingkatan, bahkan mewajibkan seluruh lembaga baik negeri maupun swasta melibatkan perempuan yang berdampak pada kemandirian perempuan. Jika dicermati, memandirikan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan ini sebenarnya sama dengan mengeluarkan perempuan dari tanggung jawab domestik menuju publik.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas rinci terkait RUU KG tersebut, hanya saja salah satu pasal dalam RUU KG adalah tuntutan agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam bidang politik (Pasal 9). Peran perempuan dalam bidang politik inilah yang akan kami soroti, mengingat topik ini memang sudah menjadi satu topik yang sering dibicarakan terutama menjelang pesta demokrasi seperti saat ini, di mana partai-partai politik berupaya mengarahkan perempuan untuk terjuan aktif dalam politik . Hanya saja dalam alam demokrasi politik yang dimaksud terbatas pada aspek kekuasaaan dan legislasi saja. Karenanya para aktivis perempuan telah menjadikan isu sentral perjuangan politiknya pada tiga hal, yakni kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, tuntutan kuota perempuan di parlemen dan tuntutan hak suara perempuan dalam pemilu. Isu tersebut dianggap strategis, karena dalam logika mereka, besarnya kesempatan dalam kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih setara, dimana aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, suara perempuan tidak akan didengar dan diperjuangkan.
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang peran dan hak politik perempuan, inilah yang akan menjadi sorotan dalam tulisan kali ini.
Peran dan Hak Politik Perempuan dalam Islam
Sebagai diin yang menyeluruh dan purna, Islam memiliki pandangan yang khas dalam melihat dan menyelesaikan persoalan perempuan, termasuk dalam memandang bagaimana hakekat politik dan peran politik perempuan di dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan bagaimana pandangan mendasar Islam tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Islam memandang bahwa perempuan hakekatnya sama dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai manusia, yang memiliki potensi dasar yang sama berupa akal, naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks masyarakat, Islam juga memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki, dimana keduanya diciptakan dengan mengemban tanggungjawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur makhluq-Nya. (QS.9:71,51:56)
Islam juga telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan ini, yang memang adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Hanya saja adanya perbedaan dan persamaan pada pembagian peran dan fungsi masing-masing ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya di dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat, yakni tercapainya kebahagiaan hakiki di bawah keridloan Allah SWT semata.
Mengenai peran politik, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Hanya saja harus diluruskan, bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Karena itu, dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa (penentu kebijakan) ataupun sebagai rakyat biasa, karena keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam memajukan Islam dan umat Islam serta memiliki tanggungjawab yang sama dalam menyelesaikan seluruh problematika umat tanpa membedakan apakah problema itu menimpa laki-laki atau perempuan. Keseluruhannya dianggap sebagai problematika umat yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Sehingga, ketika kaum muslimin berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan peran politiknya.
Allah swt berfirman dalam QS Ali Imran : 104, Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah oarang-orang yang beruntung. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Hudzayfah r.a.. juga bersabda : Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaumMuslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. (HR ath-Thabrani).
Nash-nash ini menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintah kaum Muslim, laki-laki maupun perempuan untuk memperhatikan atau memikirkan urusan umatnya. Namun, haruslah dipahami bahwa keterlibatan perempuan dalam aktivitas ini bukanlah agar mereka dapat menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara mereka didengar oleh masyarakat. Tetapi, bahwa esensi peran politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah Swt, sebagai suatu bentuk tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Lalu, apa sajakah peran dan hak politik perempuan ?
Islam telah memberikan batasan dengan jelas dan tuntas tentang peran dan hak-hak perempuan, demikian pula dengan hek dan peran politiknya, antara lain : (a) Hak dan Kewajiban Baiat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah ra bahwa “Kami telah membaiat Nabi. Beliau kemudian memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun dan melarang kami untuk melakukan niyahah …”(HR. Bukhari). (b) Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, yaitu aparat negara Islam yang merupakan wakil rakyat yang bertugas mengoreksi penguasa dan menyampaikan pendapat ummat kepada negara. Berdasarkan apa yang dilakukan Rasulullah pada baiat Aqabah II, dimana beliau meminta 12 orang dari ke-75 orang pelaku baiat yang 2 orang di antaranya adalah wanita untuk menjadi penjamin atau wakil. (c) Kewajiban berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana tertera pada QS. 3:104 dan QS. 9:71. (d) Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa, berdasarkan hadits : “Sesungguhnya agama itu nasehat, bagi Allah, Rasul dan kaum mu’minin ….” (e). Kewajiban menjadi Anggota Partai Politik, sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Imran ayat 104 yang artinya : “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang m enyerukan kepada kebaokan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”
Disamping itu Syariat Islam pun telah mengharamkan peran politik tertentu, yaitu duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) berdasarkan hadits dari Abi Bakrah ra : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para perempuan” (HR. Bukhari-Muslim).
Kiprah politik perempuan di masa Khilafah
Sejarah telah mencatat bagaimana kaum perempuan di masa Rasulullah (para shahabiyat) melaksanakan peran, hak-hak dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw dan para shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan shahabatnya. Begitupun dengan peran isteri-isteri Rasulullah dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini serta dukungan mereka kepada perjuangan Rasul saw, sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa Khilafah menjamin peran dan hak politik perempuan.
Tidak pernah hilang dari ingatan kita, shahabiyah Sumayyah binti Hubath, Isteri Yasir ra, yang demi mempertahankan keimanannya dia menyatakan penentangannya terhadap orang-orang kafir yang menyiksanya, beserta suami dan anaknya, hingga beliau dan suaminya menemui syahid. Mereka merupakan orang yang pertama-tama masuk Islam.
Asma binti Abu Bakar, wanita yang dijuluki dengan perempuan pemilik dua ikat pinggang (dzatun nithaqain) adalah seorang muhajirah yang agung, yang mengorbankan jiwa, raga dan hartanya hanya untuk Islam. Asmalah yang mengirim makanan untuk Rasulullah dan ayahnya di Gua Tsur ketika suasana sedang genting, dimana orang-orang kafir Quraisy yang sangat benci kepada kaum muslimin saat itu memburu Rasulullah untuk dibunuh.
Siapa tidak mengenal Fathimah binti Khaththab, adik shahabat Rasulullah Umar Bin Khaththab, yang dengan keberanian, ketegaran dan kesabarannya mengenalkan dan menyampaikan Islam kepada Umar hingga beliau masuk ke dalam Islam dan menjadi Muslim dan pembela Islam yang tangguh.
Selain itu, Shafiyyah Binti Abdul Muthalib, seorang wanita yang dikenal dengan kesabarannya tetapi ia juga sangat tangkas dan gesit. Beliau berperan aktif di medan Perang Uhud dan menyaksikan jasad saudaranya yang rusak –Hamzah Bin Abdul Muthalib- dengan penuh ridha dan sabar. Demikian pula ketika perang Khandak, beliau tidak gentar sedikitpun menghadapi seorang Yahudi yang menyusup ke benteng kaum muslimin seraya membunuhnya hanya dengan tiang kemah.
Lalu bagaimana dengan amar ma’ruf nahi munkar? Tidak sedikit para wanita, baik di masa Rasul maupun shahabat yang melakukannya tanpa ada keraguan sedikitpun, sekalipun yang dikoreksi adalak seorang kepala negara. Adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, beliau mengajukan gugatan kepada suaminya atas perlakuan suaminya kepadanya hingga turun QS. Al-Mujadilah ayat 1-4 untuk menyelesaikan permasalahannya. Demikian pula ketika Khalifah Umar menentukan jumlah mahar tertentu bagai wanita dikarenakan tingginya permintaan mahar dari para wanita. Maka kala itu Khaulah mengingatkan dan menasehati Khalifah karena Allah SWT sendiri tidak menentukan jumlah mahar tertentu bagi wanita, sehingga tidak ada hak bagi manusia untuk menentukannya (QS. An-Nisaa : 20). Atas protes dan nasehat Khaulah itu, Khalifah pun merubah kebijakannya.
Arah perjuangan
Oleh karena itu, dalam Islam tidak pernah ada masalah tentang hak dan peran politik bagi perempuan, karena Islam telah memberikan kepada perempuan seluruh hak dan perannya dengan optimal. Pengaturan Islam mengenai peran dan hak politik perempuan dalam kehidupan masyarakat, bersama aturan-aturan kehidupan yang lainnya secara menyeluruh, secara pasti akan menjamin terwujudnya kehidupan yang ideal. Sebagaimana yang terjadi pada saat diterapkannya syariat Islam di muka bumi ini dalam naungan Khilafah Islamiyah. Karena Khilafahlah satu-satunya yang menjamin terlaksananya peran dan hak-hak perempuan termasuk peran dan hak politiknya. Maka, perjuangan untuk mendapatkan kesamaan politik seperti yang diperjuangkan para aktifis dalam RUU KG adalah perjuangan yang absurd, melelahkan dan membuang energi. Karena semuanya sudah diberikan dengan proposional dalam Islam. Perjuangan kita saat ini selayaknya adalah untuk menghadirkan Islam dalam pengaturan kehidupan ummat secara ril melalui wadah Daulah Khilafah Islamiyyah, sehingga kaum muslimin bisa segera keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai khairul ummah. [moslem-eagle.blogspot.com]
Buletin Cermin Wanita Shalihah (CWS) Edisi 4
Sumber : Muslimah4Khilafah