Khilafah Bebaskan Indonesia dari Hutang Luar Negeri dan Pajak

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-ICNvGs2YwRX49eFI1yO2CEFpFr_hyphenhyphenTGcYkq3b0JZXJnhhWL83YqMGLA462iqdcpdb8H0sGSBCfWA3U1kYuBU-n3Qch3u-8s1BxNRfrwF91eTi4EL3bMTl-LComsFmHoICm53aZhduJfI/s1600/obama-sby.jpegmoslem-eagle.blogspot.com - Meskipun Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengklaim pertumbuhan ekonominya membaik, nyatanya yang membaik hanya di sektor-sektor ekonomi yang dikuasai para kapitalis, seperti sektor transportasi, komunikasi, hotel dan restoran, misalnya. Itulah yang diungkapkan oleh Doumy Djauhari Daud dalam diskusi mahasiswa DIALOGIKA (Dialog Ideologis Khas Mahasiswa) di Masjid Jami’ Universitas Syiah Kuala, yang mengangkat tema, “Khilafah, Model Terbaik Negara yang Menyejahterakan,” pada Jumat (8/6/2012) ba’da Ashar.

Di dalam diskusi itu juga terungkap ternyata negara ini ternyata hidup dari hutang luar negeri. “Selama ORBA (Orde Baru, red.) hingga reformasi, Indonesia hidup dengan hutang. Hingga Maret 2012, jumlah hutang RI berjumlah Rp. 1.859,43 T,” ungkap Doumy.

“Politik ekonomi Kapitalisme memandang keterbatasan barang dan jasa adalah problem utama ekonomi sehingga untuk mengatasinya lebih menitikberatkan pada peningkatan produksi, tanpa peduli apakah barang yang diproduksi tersebut sampai merata di tengah-tengah masyarakat. Hal ini berbeda jauh dengan konsep politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam memandang bahwa problem utama ekonomi adalah distribusi. Dalam hal ini politik ekonomi Islam harus menjamin bahwa barang dan jasa terdistribusi dengan merata kepada setiap masayarakat”.lanjutnya.

Selain itu, menurutnya, konsep kesejahteraan dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan primer manusia, yakni pangan, sandang dan papan.

Penyusunan APBN Indonesia sendiri mengacu sepenuhnya pada paham ekonomi Kapitalisme. Yaitu, sumber utama pendapatan negara berasal dari pajak dan prinsip anggaran berimbang.

Pertama , sektor kepemilikan individu, seperti: shodaqoh, hibah, zakat dsb. Kedua, sektor kepemilikan umum, seperti: tambang yang besar, sumber-sumber minyak bumi, gas, batubara yang besar, sektor kehutanan dsb. Ketiga, sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘dsb

“Sistem Islam tidak mengenal pajak. Di dalam Negara Daulah Islam, ketika anggaran Baitul Mal benar-benar kosong, maka saat itulah pajak (dharibah) diterapkan. Tetapi pajak yang akan diambil adalah dari kalangan orang kaya saja. Itupun diambil secukupnya saja, hanya untuk menutupi kekosongan kas Baitul Mal,” ujarnya.

Pria yang merupakan aktivis sebuah gerakan politik ideologis Hizbut Tahrir (HT) ini juga mengatakan bahwa solusi dari permasalahan kesalahan dalam mengelola anggaran negara ini adalah dengan cara kembali ke dalam ajaran Islam yang sebenarnya, yakni menerapkan syariat Islam secara kaffah (totalitas) dalam institusi Khilafah. Yakni sebuah perubahan secara revolutif  terhadap sistem.
 
“Adanya sebuah transformasi sistem kepada sistem Islam. HT mengadopsi bagaimana cara Rasulullah saw mengubah umat, yakni dengan metode Tatsqif atau pembinaan. Menciptakan kesadaran umum kepada umat tentang pentingnya sebuah Negara agar dapat menjalankan syariat Islam secara kaffah,” pungkasnya[moslem-eagle.blogspot.com]

wdcfawqafwef