moslem-eagle.blogspot.com - Pengelolaan Kekayaan Alam dan Energi, Sumbangan Islam Untuk Indonesia
I. Kekayaan Alam dan Energi Indonesia serta Kesalahan Model Pengelolaannya.
Bila kita sandingkan peta Indonesia di daratan Eropa maka wilayah Indonesia meliputi Inggris sampai dengan sebagian wilayah Rusia. Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah 240 juta jiwa, kurang lebih sama dengan jumlah penduduk seluruh negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat.
Kekayaan Alam Indonesia
Berbicara kekayaan alam, Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Kekayaan hayati Indonesia seperti hutan, luasnya yang tersisa menurut Bank Dunia sekitar 94.432.000 ha pada tahun 2010. Sekitar 31,065,846 ha diantaranya adalah hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Indonesia memiliki 10 % luas hutan tropis yang masih tersisa.
Indonesia juga memiliki Kekayaan laut yang besar, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 81.000 km. Sekitar 7% (6,4 juta ton/tahun) dari potensi lestari total ikan laut dunia berasal dari Indonesia. Kurang lebih 24 juta ha perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut dengan potensi produksi sekitar 47 juta ton/tahun. Kawasan pesisir yang sesuai untuk usaha budidaya tambak diperkirakan lebih dari 1 juta ha dengan potensi produksi sekitar 4 juta ton/tahun.
Produksi ikan tangkap mencapai Rp 18,46 triliun. Benih ikan laut mencapai Rp 8,07 milyar. Budidaya laut mencapai Rp 1,36 triliun. Sementara itu, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing mencapai nilai 4 miliar US$ (sekitar 34 triliun rupiah) per tahun.
Lapangan usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan secara bersama berkontribusi sebesar 14,7 % dari PDB Indonesia tahun 2011 yang mencapai Rp. 7.427,1 triliun.
Kekayaan Mineral Indonesia
Indonesia merupakan produsen terbesar kedua untuk timah, terbesar untuk tembaga, kelima untuk nikel, ketujuh untuk emas dan batu bara.
Indonesia memproduksi di atas 790.000 ton konsentrat tembaga pada 1999. Produksi tersebut dihasilkan dari pertambangan Grasberg yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT Freeport Indonesia milik perusahaan asal AS Freeport-Mcmoran.
Tambang Grasberg yang terletak di Tembagapura memiliki cadangan 2.500 metrik ton, yang mengandung 1,13 persen tembaga, 1,05 gram per ton emas, dan 3,8 gram per ton perak.
Tambang tembaga Batu Hijau di Pulau Sumbawa dikembangkan dengan investasi sekitar 1,9 miliar US $ oleh PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Cadangan diperkirakan 1.000 metrik ton terdiri dari tembaga 0,52 persen dan emas 0,4 gram per ton. Masa tambang Batu Hijau diperkirakan bisa sampai 25 tahun. Produksi per tahun mencapai 245.000 ton tembaga dan 18 ton emas.
Newmont juga memiliki 80 persen saham di pertambangan emas Minahasa, yang berproduksi di atas delapan ton emas dan 340 kg perak pada tahun 1998. Produsen perak dan emas utama lainnya adalah tambang Kelian Equatorial di Kalimantan Timur dan Indomuro Mine di Kalimantan Tengah.
Kekayaan sumber daya energi Indonesia
Indonesia memiliki sumber daya energi berupa minyak bumi, batubara, gas alam, geotermal, energi terbarukan dan nuklir. Potensi sumber energi Indonesia, kemanfaatan dan perkiraan usia produksinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Indonesia menjadi negara pengekspor batu bara ketiga terbesar di dunia setelah Australia dan China. Indonesia mengekspor 64 metrik ton batubara pada tahun 2001, dari total produksi 92 metrik ton. Cadangan batu bara Indonesia diperkirakan 35 miliar ton dan sudah terbukti sebanyak 23 miliar ton.
Tabel 1. Potensi sumber energi nasional Indonesia tanpa penemuan cadangan baru
Ironi Negara Indonesia
Sekalipun Indonesia memiliki sangat banyak kekayaan sumber daya alam, dalam kenyataannya Indonesia adalah negara dengan penduduk miskin besar. Berdasarkan data dari biro pusat statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 51,2 juta jiwa (23 % penduduk Indonesia pada tahun itu yang mencapai 221 juta jiwa). Jumlah ini bertambah menjadi 60 juta pada tahun 2006. Berdasarkan standart kemiskinan bank dunia, yaitu pendapatan kurang dari US$ 2 (Rp 19.000,-) per hari, jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 110 juta jiwa (48 %).
Hampir 6 juta penduduk Indonesia tidak memiliki rumah. Sejumlah 16 sampai 17 ribu penduduk tinggal di rumah tak layak huni. Lebih dari 50 persen penduduk tidak memiliki akses terhadap air bersih; lebih dari 25 persen balita kekurangan gizi; buta huruf mencapai 9,55 persen atau 14,7 juta. Jumlah pengangguran telah mencapai 40 juta orang (25 persen angkatan kerja). Dari tahun ke tahun, angka ini terus meningkat, yakni sekitar 8,1 persen pada tahun 2001, 9,86 persen pada tahun 2004 dan 10,9 persen pada tahun 2005. Prevalensi balita gizi buruk dan gizi parah hingga tahun 2003 sebesar 27,5 persen.
Selain itu Indonesia terlilit hutang, dalam pagu APBN-P 2012 untuk pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya) mencapai Rp 322,709 triliun, terdiri dari cicilan pokok utang Rp 200,491 triliun dan cicilan bunga Rp 122,218 triliun.
Indonesia betul-betul sudah terlilit utang, walaupun akumulasi pembayaran cicilan utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun antara tahun 2000-2011 mencapai Rp 1.843,10 triliun, tapi anehnya, jumlah utang negara tidak berkurang tapi justru bertambah. Tercatat utang Indonesia pada tahun 2010 atau era Presiden SBY masih sebesar Rp 1.677 triliun. Pada tahun anggaran 2011 utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.803 triliun dan per maret 2012 mencapai Rp 1.859,43 triliun bahkan terus meningkat hingga tahun berjalan 2012 utang Indonesia sudah mencapai Rp 1.937 triliun.
Utang ini menjadi perangkap bagi Indonesia hingga dikuasai oleh kepentingan para kapitalis.
Salah Kelola
Pertanyaan muncul mengapa terjadi kontradiksi ? Mengapa kekayaan sebesar itu tidak cukup untuk memakmurkan rakyat Indonesia? Jawabannya adalah bahwa sebagian besar kekayaan tersebut telah dikuasai oleh swasta, terutama perusahaan swasta asing melalui perusahaan transnasional.
Dari daftar yang dikeluarkan BP-Migas sendiri terlihat bahwa penguasaan 56 kontrak kerjasama minyak dan gas di Indonesia mayoritasnya adalah asing (BPMIGAS.com).
Perusahaan seperti ExxonMobil bisa mendapatkan keuntungan total dari penjarahan di berbagai negeri hingga $36,1 miliar pada tahun 2005. BP-Amoco yang memproduksi 10 persen gas nasional Indonesia bisa mengeruk keuntungan US $1,3 miliar per tahun. PT. Freeport McMoran Indonesia (PTFI) mendapatkan keuntungan US $ 934 juta untuk tahun 2004 dan meningkat dari tahun ke tahun tercatat pada tahun 2009, laporan keuangan Freeport McMoran (FCX) menyatakan keuntungan PTFI adalah US$ 4,074 miliar, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti adalah sekitar US$ 1,7 miliar lebih kecil dari keuntungan PTFI. Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 50 – 100 triliun per tahun, andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan swasta.
Pendapatan Bruto yang diperoleh perusahaan tambang Newmont mencapai nilai triliunan per hari. Tahun 2003 perusahaan ini memproduksi juta 3.390 ton tembaga per hari atau 3.390.000 kg per hari. Jika harga per kg sebesar Rp. 766.666,67, maka nilai pendapatan Bruto Newmont mencapai Rp. 2.599.000.011.300 per hari setara Rp. 948,635 triliun per tahun atau 2/3 APBN Indonesia setahun. Mereka berlimpah harta dari hasil menambang kekayaan alam Indonesia, para direktur tambang perusahaan imperialis umumnya menerima gaji antara US $ 200,000–US $300,000 per bulannya. Sementara penduduk-penduduk sekitar tambang hidup dengan penghasilan di bawah US $1/hari. Inilah dampak dari kesalahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Kesalahan pengelolaan kekayaan alam dan energi ini terjadi karena Indonesia memilih sistem kapitalisme dan sistem pemerintahan demokrasi. Pemerintahan demokrasi di masa orde baru dan era reformasi telah menjual kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing, melalui berbagai produk Undang-undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal Asing dan sebagainya.
Semua undang-undang ini memberi peranan besar kepada swasta dan kapitalisme asing, disahkan oleh DPR tanpa ada upaya pencegahan sedikitpun. Semua ini berasas pada kepercayaan para penguasa dan pejabat di Indonesia kepada sistem ekonomi liberalisme dan mekanisme pasar. Ditambah lagi dengan mental korup dimana mereka yang hanya berfikir untuk kepentingan dirinya saja.
II. Model Pengelolaan Kekayaan Alam dan Energi dalam Islam.
Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam ini.
Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy Sayukani, Nayl al Authar, halaman 1140)
Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Untuk pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal yang menceritakan, saat itu Abyad meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat.
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.
Sikap pertama Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—lalu Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, beliau menarik kembali pemberian itu. Syekh Taqyuddin An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Karena itu, penarikan kembali pemberian Rasul SAW dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam).
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batubara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau migas pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Pemasukan Dan Pengeluaran Negara Dari Kekayaan Alam
Pengelolaan negara terhadap sumber daya alam ini menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Kedua, negara bisa berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Pengeluaran negara dari sumber daya alam ini bisa dialokasikan untuk berbagai kebutuhan. Antara lain:
· Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
· Dikembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik sumber daya alam itu. Khalifah boleh dan bisa membagikannya secara langsung dalam bentuk benda yang memang diperlukan atau dalam wujud layanan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan murah juga infrastuktur lainnya.
· Dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
Konsep Islam dalam pengelolaan sumber daya alam ini memastikan hasil kekayaan alam Indonesia kembali kepada rakyat. Walhasil, rakyat akan merasakan kemakmuran dalam arti sebenarnya.
III. Indonesia Menjadi Negara yang Sejahtera dengan Islam
Sistem ekonomi Islam terbukti secara empiris mampu menyejahterakan rakyatnya pada masa lalu. Kemajuan dan kebangkitan luar biasa muncul karenanya sehingga Khilafah menjadi mercusuar bagi negara-negara lain di dunia. Maka, masuk akal pula jika Indonesia ingin sejahtera, tidak ada pilihan lain kecuali kembali kepada Islam.
Dengan politik ekonomi Islam, kekayaan alam Indonesia akan menjadi pos penerimaan negara yang sangat besar. Ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang di mana pos penerimaan negara dalam APBN justru didominasi oleh pajak. Hasil kekayaan alam justru dinikmati oleh swasta, baik lokal maupun asing, sedangkan rakyatnya tetap menderita. Kondisi ini tidak akan terjadi jika sistem ekonomi Islam mengaturnya. Perhitungan matematis bisa menunjukkan potensi luar biasa itu.
Sektor Energi
Produksi minyak di Indonesia saat ini sekitar 900.000 barrel per hari (bpd) sementara kebutuhan konsumsi minyak sekitar 1.300.000 barel per hari, maka Indonesia harus mengimpor sedikitnya 400.000 barel per hari untuk memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia.
Bila asumsi harga minyak impor adalah US$ 100/barrel dan Biaya Lifting, Refining dan Transportasi (LRT) minyak dalam negeri sekitar $ 15/ barel sampai di SPBU dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.000/US$ maka biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM per hari :
1. Minyak Impor : 400.000 barel x [$ 100 + $ 2.55 (RT)*] = $ 41.020.000
*biaya refining dan transportasi (RT) sekitar 17 % dari total biaya LRT
2. Minyak Dalam Negeri : 900.000 barel x $ 15 (LRT) = $ 13.500.000
Total = $ 54.520.000
Setara = Rp. 490.680.000.000,-
Adapun penerimaan dari menjual BBM kepada masyarakat dengan harga saat ini (Rp. 4.500,- per liter) adalah
- 1.300.000 barel x 159 liter / barel x Rp. 4.500,- = Rp. 930.150.000.000,- per hari
Keuntungan dari penjualan BBM per hari sekitar Rp. 439.700.000.000,-, atau setara dengan Rp. 160.4 triliun,- per tahun
Keuntungan ini di masukan kedalam pos penerimaan kepemilikan umum di Baitul Maal dan akan dikembalikan kepada masyarakat.
Penerimaan ini masih mungkin bertambah karena lifting minyak Indonesia dapat ditingkatkan bila dikelola oleh Negara, dengan model pengelolaan sekarang kita tidak bisa mengawasi berapa lifting riil yang dihasilkan oleh tambang-tambang perusahaan swasta dan asing. BP Migas sebagai pengawas hanya menerima data yang dibuat oleh masing-masing perusahaan tersebut, bahkan Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany (Vivanews.com, Senin 2 April 2012) menjelaskan, seiring dengan pembentukan kantor pelayanan pajak (KPP) khusus wajib pajak sektor minyak dan gas bumi serta pertambangan, selama ini produksi migas tidak pernah ada yang memeriksa sehingga bisa saja kontraktor mengakali dengan memperlambat alat pengukur produksi migas.
"Jadi jangan bilang nggak mungkin perusahaan besar berani menipu. Mereka telah menerapkan good corporate governance, sehingga tak berani menipu. Justru bodoh mereka kalau nggak menipu kita," katanya
Sekadar informasi, lifting minyak Indonesia pada 2011 ini hanya 898 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN-P 2011 sebesar 945 ribu barel per hari. Sedangkan pada APBN-P 2012 ditargetkan 930 ribu barel per hari
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25 persen dari harga minyak. Jadi nilainya sekitar Rp 297 triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 triliun.
Produksi batubara setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak. Jadi nilainya sekitar Rp. 212 triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 triliun.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri.
Akumulasi penerimaan negara dari sektor energi saja sekitar Rp. 619.4 triliun,-
Pertambangan
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont kita lakukan perhitungan dengan taksiran dari setoran pajak mereka. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 triliun per tahun, dan ini baru 20 persen dari nett profit—itu artinya nett profit-nya adalah Rp. 30 triliun per tahun. Sumber lain menyebut produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 ton emas murni per hari—maka secara kasar, bersama perusahaan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 triliun per tahun.
Hasil Laut
Nah, di luar pertambangan, ada potensi laut yang tak kalah besar. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 miliar atau Rp. 738 triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen saja, maka nilainya sudah sekitar Rp. 73 triliun.
Hasil Hutan
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan Indonesia adalah 94.432.000 hektar. Untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profit-nya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan Indonesia adalah 94 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 1.880 triliun.
Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp 900 triliun juga masih sangat besar. Dan jika dikelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Dari perhitungan di atas penerimaan Negara dari kekayaan alamnya saja sudah sangat besar yakni sekitar Rp. 1.642 triliun,-. Belum lagi bila memperhitungkan penerimaan negara dari fai, ghanimah, shadaqah, tanah-tanah milik Negara dan lainnya.
Jumlah penerimaan tersebut lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan negara dan rakyat serta menggerakkan ekonomi. Bandingkan dengan penerimaan APBN P 2012 Indonesia saat ini yang hanya sekitar Rp. 1.358,2 triliun dimana 74.5 %nya bersumber dari pajak yakni Rp 1.012 triliun, selain itu APBN Indonesia mengalami defisit karena belanja negara sekitar Rp. 1.548,3 triliun,- yang harus ditutupi melalui utang.
Dengan melihat pos penerimaan bila dikelola dengan cara Islam dibandingkan dengan penerimaan dan belanja dalam APBN saat ini, tampak nyata adanya surplus penerimaan. Surplus ini dapat digunakan untuk melesatkan ekonomi menuju kesejahteraan dengan Islam. Ini bukan mimpi, tapi sebuah kenyataan yang akan terbuktikan jika sistem Islam diterapkan.
Konferensi Tokoh Umat. Khilafah Model Terbaik Negara yang Menyejahterakan. Pengelolaan Kekayaan Alam dan Energi, Sumbangan Islam Untuk Indonesia. 1433 h. [HTI/moslem-eagle.blogspot.com]