moslem-eagle.blogspot.com -JAKARTA, - Wakil Ketua Komisi I, Tubagus Hasanuddin, menyatakan bahwa kasus penembakan yang terjadi di Papua tak bisa diabaikan oleh pemerintah pusat.
" Fakta di lapangan sejak tahun 2009 sampai dengan 2012 itu sudah terjadi puluhan kali penembakan dengan puluhan korban, merata hampir di semua kota di Papua," ujar Tubagus, Jumat (8/6).
Catatan Tubagus Hasanuddin, dalam kurun 2 tahun terakhir telah terjadi serangkaian penembakan terhadap warga sipil maupun aparat. Kasus penembakan ini tersebar di sejumlah wilayah Papua.
Korban penembakan tersebut antara lain 1 orang warga sipil mati di Sorong, 7 aparat mati dan 1 warga sipil mati serta 5 korban luka-luka di Puncak Jaya, 1 aparat mati di Wamena, 4 warga sipil mati di Abepura, 1 aparat mati dan 5 warga sipil mati di Jayapura, 2 aparat mati di Merauke. Sementara itu, 1 warga sipil mati dan 4 warga sipil luka di Paniai.
Demikian juga di Timika dan Mimika terdapat korban penembakan 3 aparat tewas, 1 aparat luka, 8 warga sipil tewas, 3 warga luka.
Penembakan tersebut, menurut Tubagus, tampak bertujuan untuk memberikan teror. Hal itu terlihat dari pola yang sistematis, sasaran penembakan yang jelas (aparat dan warga), lokasi yang cenderung di perkotaan, bukan di pedalaman, dan peristiwa penembakan yang tersebar di hampir seluruh wilayah Papua.
Artinya, lanjut Tubagus, dalam konteks ini jelas kegiatan teror yang terkoordinasi. "Ada tokoh ide yang mendesain, ada yang merencanakan, ada pelaksana, dan ada yang membiayai," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Insiden penembakan terhadap seorang warga negara Jerman di Papua pekan lalu, menurut Tubagus, adalah desakan untuk membuat masalah Papua menjadi isu internasional.
" Aksi penembakan memuncak, bahkan sampai menembak warga negara Jerman, setelah di dalam laporan komisi hak asasi internasional masalah Papua tidak terangkat. Justru yang terangkat adalah masalah minoritas dan intoleransi terkait agama," kata Tubagus.
Jadi, menurut Tubagus, eskalasi penembakan meningkat akibat tidak mencuatnya masalah Papua di forum internasional itu. PBB mempunyai forum yang diselenggarakan empat tahun sekali untuk membahas masalah HAM di 17 negara.
"Sehingga, boleh saya simpulkan ada tangan-tangan tertentu dari luar yang memainkan peranan agar Papua tetap tidak stabil dan mengarahkan pada ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia dalam kepentingan untuk mengambil aset atau sumber daya alam dengan menggunakan operatornya," kata Tubagus.
Operator yang dimaksud Tubagus tersebut antara lain kelompok masyarakat setempat yang tergabung dalam OPM maupun sejenisnya. "Setidaknya ada tiga komponen operator lapangan itu," tambah Tubagus.
Oleh karena itu, Tubagus meminta agar Pemerintah lebih serius menyelesaikan masalah di Papua. "Saya menyarankan pemerintah jangan tinggal diam. Dalam hal ini jangan diserahkan masalah ini kepada BIN daerah, Polda, atau Kodam. Karena satu sama lain sudah saling curiga. Ada desain yang mengatur untuk bisa saling curiga itu," kata Tubagus.
Pemerintah pusat, lanjut Tubagus, mesti turun tangan dan menyatukan kembali komponen kelembagaan daerah yang ada di Papua tersebut. Baik BIN daerah, Polda, maupun Kodam di Papua telah bekerja masing-masing yang ternyata hasilnya bisa saling bertabrakan.
"Harus ada orang dari pusat yang ditempatkan di Papua, memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengendalikan semua komponen itu dalam mengatasi masalah ini. Ini bukan lagi persoalan daerah, ini persoalan pusat. Ini bahkan sudah di bawa ke ranah internasional, karena itu harus di lawan," kata Tubagus.
Pemerintah pusat, menurut Tubagus, setidaknya bisa menunjuk seseorang setingkat menteri atau siapapun yang punya kemampuan dan kapasitas memimpin penyelesaian masalah Papua. ( bmw / VVN/moslem-eagle.blogspot.com]