Sekolah Bayi vs Sekolah Ibu


Sejak umur enam bulan bayi sudah harus melakoni rutinitas bernama sekolah.


Lima bayi berusia kurang dari dua tahun, berseragam putih biru, sedang belajar pagi itu. Di dalam ruang kelas berukuran sekitar 4x8 meter bercat warna-warni itu, mereka diajari mengenal berbagai jenis bunga.


Bayi-bayi menggemaskan yang belum bisa bicara itu memperhatikan gerak-gerik guru yang membawa bunga. “Coba lihat ya, ini namanya flower,” ujar Julian Reny, guru di Baby Smile School, Surabaya. Dia lantas menyebut nama-nama bunga tersebut. Guru lain yang mendampinginya menirukan ucapan Julian dengan suara jenaka. Para murid tampak menyimak ucapan para guru.


Orlando, salah seorang murid, tampak menatap dengan ekspresi heran ke arah bunga-bunga tersebut. “Ayo sini Orlando,” panggil Julian. Bayi berusia sekitar 1,5 tahun itu langsung mendatangi Julian.


“Ini aunty kasih hadiah ya,” ujar Julian sambil menyerahkan bunga tulip kepada Orlando. Guru dan para pengasuh yang berada di ruang itu langsung bertepuk tangan. “Thank you aunty,” sahut para pengasuh dan guru hampir bersamaan. Orlando tampak tersenyum senang saat menerima bunga tersebut.


Bukan hanya nama bunga yang diajarkan para guru yang disebut aunty itu. Tetapi, warna dan bentuk bunga juga dikenalkan kepada para siswa. Selanjutnya, siswa diajak membuat bunga dari kertas dengan cara sederhana


Itulah sekilas aktivitas di sekolah bayi.Sekolah ini bukan sembarangan, karena mereka juga memiliki kurikulum. Bahkan, ada yang mengadopsinya dari Amerika Serikat. Seperti di Gymboree Baby School, Surabaya, yang mengutamakan pembelajaran motorik dan musik. Waktu belajarnya 45–60 menit, 2-3 kali per minggu.


Disfungsi Ibu


Apa yang diajarkan sekolah-sekolah bayi tersebut, sejatinya sangat sederhana. Hanya mengenalkan nama-nama benda, warna, angka dan cara berbicara kepada bayi. Betapa miris! Pemberian rangsangan sederhana seperti itu saja, tak mampu lagi dilakukan para ibu masa kini. Merekapun memilih menyerahkan bayinya ke sekolah.


Apakah para ibu ini sedemikian krisis rasa percaya diri untuk mendidik dan mengasuh anaknya sendiri? Sangat ironis dengan kemapanan status sosial dan pendidikan para perempuan masa kini. Semakin banyak perempuan berpendidikan tinggi, namun semakin kehilangan kemampuannya untuk mendidik bayinya sendiri.


Semakin banyak perempuan mandiri secara ekonomi, semakin kehilangan waktu untuk mengenalkan dunia pada buah hatinya sendiri. Ia lebih memilih membayar pihak lain demi rangsangan dasar pada bayinya yang notabene sangat mudah.


Tampak jelas hilangnya fungsi ibu di tangan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan negara ini. Fungsi ibu telah dikapitalisasi demi profit. Bagaimana tidak, untuk sekadar merangsang saraf sensorik dan motorik para bayi ini, orang tua dikenai tarif Rp 200–400 ribu sebulan. Itu belum biaya pendaftaran mulai Rp 2–5 juta.


Sekolah bayi atau juga penitipan bayi (baby care), telah mengambil-alih tugas kaum ibu hingga mereka semakin abai atas tugasnya. Mereka semakin nyaman meninggalkan buah hatinya untuk aktivitas lain di ranah publik. Bahkan, dengan bangga mereka memamerkan bayinya yang terlihat lebih cerdas dan menggemaskan setelah disekolahkan. Bukannya malah malu, karena kepintaran sang bayi bukan hasil sentuhan tangannya.


Sekolah Ibu


Untuk melahirkan bayi-bayi yang cerdas, memang dibutuhkan rangsangan sejak dini. Rangsangan itu hanya bisa dilakukan secara efektif oleh pengasuh yang paling dekat dengan bayi. Idealnya, tentu ibunya. Karena itu, sejatinya yang dibutuhkan adalah ibu yang cerdas. Ibu yang mampu menjalankan fungsinya mengasuh dan mendidik anak dengan maksimal.


Bayangkan, betapa repotnya jika seluruh ibu di negeri ini rame-rame mengirimkan anaknya ke sekolah karena khawatir anaknya tertinggal kecerdasannya. Betapa berjubelnya sekolah-sekolah bayi dan betapa menggunungnya profit mereka.


Betapa sibuknya ibu-ibu yang memiliki anak, karena sejak bayinya usia enam bulan sudah harus mengantarkannya ke sekolah. Betapa besarnya ongkos ekonomi fenomena ini, padahal sejatinya upaya pencerdasan bayi itu bisa dilakukan dengan gratis.


Kalau mau, yang dibutuhkan adalah sekolah para ibu atau calon ibu, bukan bayinya yang disekolahkan. Sekolah (calon) ibu ini pun tak harus diadakan secara khusus dalam sebuah lembaga. Karena, bisa jadi ini pun akan menjadi ajang untuk mencari profit semata, mengingat di alam kapitalisme saat ini, apa sih yang tak bisa dijadikan uang? Sekarang saja, seminar-seminar parenting mendadak laris manis meski biayanya selangit. Sebuah bukti akan hausnya para orangtua akan ilmu-ilmu kerumah-tanggaan dan pendidikan anak.


Padahal, pembekalan menjadi calon ibu, bisa dibenamkan dalam kurikulum pendidikan yang ada saat ini. Seperti pelajaran keterampilan, gizi keluarga, parenting, dll. Tentu harus berbasis aqidah Islam, dimana anak didik –khususnya perempuan-- diberi pemahaman mengenai tugas dan fungsi utamanya kelak saat berumah tangga.


Tidak seperti sekarang, banyak perempuan berpendidikan tinggi, bahkan mencapai gelar doktor atau profesor, tetapi tidak terampil ilmu-ilmu kerumahtanggaan. Kalau toh mau cerdas, kaum ibu ini terpaksa otodidak dari sumber sana-sini yang belum tentu mumpuni. Trial by error, learning by doing. Kaum perempuan tak pernah disiapkan secara khusus menjadi ibu rumah tangga yang tangguh.


Padahal, di sinilah ladang pahala kaum perempuan. Di antara sederet pahala yang disediakan untuk perempuan yang menjalankan fungsinya di rumah adalah sebagai berikut: Rasulullah SAW pernah bersabda: “Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah SAW, red) di surga.”


Sabda lainnya: “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya adalah surga”.


Daripada Aisyah ra “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.”


Riwayat lain menyebutkan, apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.


Betapa Maha Pemurahnya Allah SWT kepada kaum ibu, tanpa repot-repot meninggalkan rumahnya pun, gundukan pahala menanti di sana. Anda juga mau, bukan?(kholda/moslem-eagle.blogspot.com)


Sumber: http://www.mediaumat.com/muslimah/3713-81-sekolah-bayi-vs-sekolah-ibu-.html


wdcfawqafwef