Mohammad Faysal | Kompasiana
Pamor Jokowi bisa turun gara-gara pasangan Rieke “Oneng” Dyah Pitaloka dan Teten Masduki gagal menjadi nomor satu dalam hasil hitung cepat hasil sementara pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang berlangsung hari ini, Minggu 24 Pebruari 2013. Jokowi sebelumnya diketahui memilih turun tangan menghadiri kampanye pasangan calon nomor 5 ini (Kompas.com, 24 Pebruari 2013). Namun, kehadiran Jokowi akhirnya tidak membawa pengaruh signifikan. Terbukti hari ini pasangan incumben Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar masih terlalu tangguh untuk dikalahkan.
Kubu Aher jelas memperhitungkan pengaruh kehadiran Jokowi di Jawa Barat. Apalagi secara terang-terangan Jokowi membantu kampanye pemenangan Rieke-Teten. Sejak kemenangan dalam pemilihan Gubernur DKI, Jokowi memang terlihat memiliki kepercayaan diri tinggi. Apalagi saat itu Jokowi berhasil menyisihkan Hidayat Nurwahid, seorang kader partai yang dijagokan PKS, partai yang hari ini menjadi pendukung dan pengusung Aher dalam pertarungan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Kehadiran Jokowi dalam arena kampanye Rieke-Teten jelas menjadikan tensi persaingan semakin memanas.
Yang menarik untuk dicermati adalah faktor apa gerangan yang mendasari keikutsertaan Jokowi dalam kampanye Rieke-Teten? Hal ini yang menimbulkan pertanyaan besar dan rasa penasaran tingkat tinggi. Jokowi tidak mungkin memutuskan sesuatu sebelum mempertimbangkan secara matang sebab dan akibatnya. Pasti ada alasan kuat yang melatarbelakangi keputusannya tersebut. Apalagi keputusan keikutsertaan Jokowi bersangkut paut secara langsung dengan urusan politik dan kepentingan pemenangan pasangan calon Rieke-Teten di Jawa Barat. Yang jelas motivasi Jokowi ini menarik untuk ditelusuri.
Jokowi belakangan ini ditahbiskan sebagai figur paling populer dan memiliki elektabilitas tinggi. Berdasarkan salah satu hasil survei, Jokowi bahkan disebut-sebut berhasil menempati urutan pertama menyisihkan tokoh-tokoh-tokoh lain semisal Prabowo Subianto, Wiranto, Abu Rizal Bakri, dan Megawati sendiri. Namun, jika melihat hasil perolehan suara Rieke-Teten hari ini elektabilitas Jokowi dapat saja kita pertanyakan. Artinya hasil survei tersebut tidak akurat memetakan potensi elektabilitas seorang figur dalam skala nasional. Untuk wilayah Jakarta sendiri barangkali tak akan ada yang sanggup mengalahkan elektabilitas Jokowi. Tapi untuk Jawa Barat dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia elektabilitas Jokowi kemungkinan masih rendah. Indikasinya bisa dilihat dari dampak keputusan Jokowi membantu kampanye Rieke-Teten mulai awal dan terbukti hari ini tidak banyak mendongkrak hasil perolehan suara. Rieke-Teten harus puas berada diurutan kedua setelah pasangan Aher-Deddy Mizwar.
Kalaupun misalnya Jokowi nanti kembali berinisiatif membantu kampanye salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Jawa Timur maka hampir dapat dipastikan akan sama saja keadaannya. Kehadiran Jokowi tidak akan banyak membantu perolehan suara. Penyebab utamanya adalah karena setiap daerah memiliki karakteristik masyarakat yang spesifik dan beragam yang pasti berbeda dengan masyarakat Jakarta. Karakteristik yang meliputi perbedaan ideologi, pengaruh partai, ragam budaya dan adat istiadat lain yang secara otomatis mempengaruhi pilihan masyarakat lokal atas figur pemimpinnya.
Dengan begitu, taktik pemenangan Rieke-Teten dengan menurunkan Jokowi dalam kampanye secara langsung tidak tepat alias salah perhitungan. Siasat menggunakan popularitas Jokowi di daerah lain terbukti gagal mempengaruhi pilihan masyarakat. Dan ini tentu saja berdampak negatif pada figur Jokowi sendiri. Masyarakat bisa jadi akan menilai Jokowi lebih mementingkan urusan partai dibanding fokus pada tanggung jawabnya sendiri mengurus Jakarta. Solidaritas dan loyalitas pada instruksi partai ternyata lebih penting dan menjadi pertimbangan utama Jokowi.
Ini merupakan salah satu dampak negatif yang timbul dan paling nampak jika kepala daerah berasal dari kader partai. Kepala daerah yang berasal dari partai tidak akan bisa lepas dan bebas dari tarik menarik kepentingan (conflict of interest) dengan partai yang bersangkutan. Padahal kedudukan kepala daerah sebagai kepala pemerintahan semestinya netral. Akan sangat memprihatinkan jika kebijakan seorang kepala daerah kemudian juga dipengaruhi dan didasarkan atas pertimbangan garis politik kepartaian. Program kegiatan pembangunan dan pengerjaan proyek-proyek pada akhirnya akan lebih berorientasi pada loyalitas politik ini. Hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi dalam dunia birokrasi karena rentan akan melahirkan sikap diskriminasi dan sentimen politik.
Lalu apa bedanya dengan paradigma politik masa lalu jika kepala daerah masih saja sibuk mengurus kepentingan partai bahkan sampai turun langsung dalam kampanye pemenangan calon penguasa di daerah tertentu? Hal pertama, profesionalitas dan netralitas Jokowi sebagai birokrat otomatis dapat kita ragukan. Kebijakan-kebijakan Jokowi dikhawatirkan tak akan lagi proporsional karena akan banyak dipengaruhi oleh kepentingan oknum-oknum politisi. Kedua, pamor Jokowi pasti akan ikut memudar dan tergerus akibat kemenangan Aher. Hal yang tak pernah diduga sebelumnya mengingat PKS sebagai partai pengusung Aher belum lama diterpa musibah akibat salah satu kadernya, Lutfi Hasan Ishaq, menjadi tersangka kasus gratifikasi impor daging.
Kemenangan Aher menjadi bukti bagi eksistensi PKS di Jawa Barat. Partai ini masih layak diperhitungkan sebagai pesaing kuat dalam pemilu raya 2014. Soliditas massa PKS dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hari ini tak diragukan lagi. Kekalahan Hidayat Nurwahid pada pemilihan Gubernur DKI jakarta dan kasus yang menimpa Lutfi Hasan Ishaq tidak membawa pengaruh besar karena terbukti tidak terjadi peralihan suara massa PKS seperti banyak diprediksi sebelumnya. Sekali lagi, kemenangan Aher seperti memberi pesan politik kepada partai-partai lain khususnya pada Jokowi. PKS semakin memantapkan diri dan memastikan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar sebagai penguasa propinsi Jawa Barat.
Senin, 25 Februari 2013
ARTIKEL