Wahabi telah melakukan tipuan ! Wahabi telah melakukan kecurangan ! Mungkin Anda sudah tidak asing dengan suara-suara seperti ini. Suara-suara ini lebih tepat dianggap sebagai perwakilan gundah gulana sebagian orang karena berkembangnya dakwah tauhid di masyarakat, dakwah yang mengajak orang mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya. Dituliskanlah bukti-bukti tipuan dan kecurangan yang mereka inginkan. Banyak sebenarnya kritikan mereka yang layak baca, namun tidak sedikit diantaranya seperti isi kolom humor di harian Pos Kota.
Diantara tuduhan penipuan dan kecurangan yang dilakukan Wahabi adalah adalah permasalahan ta’wil yang – diklaim – dilakukan oleh Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
ﻭﺭﻭﻱ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺁﺑﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﻙ ﻋﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺁﻥ ﺁﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺗﺂﻭﻝ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ : ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ (ﺍﻟﻔﺠﺮ٢٢)، ﺁﻧﻪ ﺟﺎﺀ ﺛﻮﺍﺑﻪ-ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ:ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻻ ﻏﺒﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ
Al-baihaqi meriwayatkan dari al-Hakim dari Abi Amr Ibnu as-sammak dari Hanbal bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal mentakwil firman Allah Swt : “ Dan telah datang Tuhanmu “ dengan “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Kemudian al-baihaqi mengatakan “ Isnad ini tidak ada debu sama sekali atasnya (sangat jelas) “ [al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 halaman 354].
Katanya, riwayat di atas shahih. Wahabiy telah melakukan penipuan dan kecurangan dalam memanipulasi perkataan Ibnu Rajab dan Adz-Dzahabiy untuk menolak ta’wil Al-Imaam Ahmad rahimahumullah.
Benar, Wahabi (baca : Ahlus-Sunnah) menolak riwayat di atas. Namun bukan tanpa alasan. Benar, Wahabi dalam penolakan tersebut mengutip perkataan Ibnu Rajab dan Adz-Dzahabiy rahimahumallah. Namun, sama sekali tidak ada penipuan dan kecurangan sebagaimana perkataan mereka.
Ketika kita hendak mengetahui bagaimana manhaj Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam permasalahan sifat Allah ta’ala secara umum, maka kita perlu melihat perkataan-perkataan beliau yang lain. Sudah masyhur dalam perkataan-perkataan beliau dalam menyikapi ayat-ayat sifat adalah memperlakukannya sebagaimana dhahirnya tanpa melakukan ta'wiil.
Dua contoh riwayat dari beliau tentang permasalahan ini adalah :
وَأَخْبَرَنِي أَبُو صَالِحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ عِيسَى بْنِ الْوَلِيدِ ، قَالَ: ثنا أَبُو عَلِيٍّ حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ " يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: نُزُولُهُ بِعِلْمِهِ أَمْ بِمَاذَا ؟ قَالَ: فَقَالَ لِي: اسْكُتْ عَنْ هَذَا، وَغَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: مَا لَكَ وَلِهَذَا؟ أَمْضِ الْحَدِيثَ كَمَا رُوِيَ بِلا كَيْفٍ
Telah menceritakan kepadaku Abul-Hasan 'Aliy bin 'Iisaa bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aliy Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah : "Allah ta'ala turun ke langit dunia ?". ia menjawab : "Benar". Aku berkata : "Turun-Nya itu dengan ilmu-Nya atau dengan apa ?". Ia berkata kepadaku : "Diamlah engkau dari hal ini". Ia sangat marah (akibat pertanyaanku itu). Ia berkata : "Apa urusanmu tentang hal itu ?. Tetapkanlah hadits itu sebagaimana yang diriwayatkan tanpa menanyakan bagaimana" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 777 dan Abu Ya’laa dalam Ibthaalut-Ta’wiilaat2/260 no. 260].
حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ الْعَزِيزِ، ثنا الصَّيْدَلانِيُّ، ثنا الْمَرُّوذِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ، قَالَ " نُمِرُّهَا كَمَا جَاءَتْ "
Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin ‘Abdil-‘Aziiz : Telah menceritakan kepada kami Ash-Shaidalaaniy : Telah menceritakan kepada kami Al-Marruudziy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang hadits-hadits shifaat ?”. Beliau menjawab : “Kami memperlakukannya sebagaimana datangnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah; shahih].
Maknanya, mengimaninya sebagaimana dhahir yang ada dalam riwayat tanpa menta’wilkannya dan tanpa menanyakan bagaimananya (takyiif). Ini adalah madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah secara umum lagi masyhur dan mutawatir dari beliau. Contoh lain :
Tentang sifat Kalaam :
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي عَنْ قَوْمٍ يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ بِصَوْتٍ، قَالَ أَبِي: تَكَلَّمَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِصَوْتٍ وَتَعَالَى بِصَوْتٍ، وَهَذِهِ أَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang satu kaum yang berkata : ‘Ketika Allah ta’ala berbicara kepada Muusaa, Ia tidak berbicara dengan suara’. Ayahku berkata : “Allah tabaaraka wa ta’ala berbicara dengan suara. Maha Tinggi Allah dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya (tanpa ta’wil)” [Diriwayatkan oleh An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Annal-Qur’aan Makhluuq no. 3; shahih].
Tentang sifat kaki :
وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، قَالَ: وَقَالَ الْمَرُّوذِيُّ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: يَضَعُ قَدَمَهُ؟ فَقَالَ: نُمِرُّهَا كَمَا جَاءَتْ
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salmaan, ia berkata : Telah berkata Al-Marruudziy : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah : “Allah meletakkan kaki-Nya ?”. Beliau menjawab : “Kami memperlakukannya sebagaimana datangnya (tanpa ta’wil)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah].
Dan yang lainnya.
Kemudian tentang riwayat yang dibawakan Ibnu Katsiir rahimahullah di atas, maka jawabannya adalah :
Riwayat ta'wil itu adalah riwayat yang dibawakan oleh Hanbal bin Ishaaq rahimahullah yang ia ber-tafarrud (bersendirian) dengannya. Riwayatnya itu menyelisihi riwayat-riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad yang menafikkan ta'wil. Hanbal bin Ishaaq, meskipun ia seorang yang tsiqah, namun ia banyak meriwayatkan riwayat-riwayat ghariib dari Ahmad.
Adz-Dzahabiy berkata : "Ia mempunyai permasalahan-permasalahan yang banyak dari Ahmad, yang ia bertafarrud lagi ghariib[1]" [As-Siyar, 3/52].
Ibnu Rajab rahimahullah menukil adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaaq (saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat) :
وهذه رواية مشكلة جدا، ولم يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب فيما تفرد به حنبل عن أحمد : هل تثبت به رواية أم لا
“Riwayat ini sangatlah musykil. Tidak ada yang meriwayatkanya dari Ahmad selain Hanbal. Ia seorang yang tsiqah, hanya saja ia kadang mengalami wahm. Para ulama madzhab Hanaabilah terdahulu berbeda pendapat tentang riwayat yang Hanbal bertafarrud (bersendirian) dari Ahmad : Apakah riwayat tersebut tsabtataukah tidak[2]” [Fathul-Baariy, 3/267].
Abu Ya'laa rahimahullah berkata :
وقد قال أحمد في رواية حنبل في قوله ( وجاء ربك ) قال : قدرته " ، قال أبو إسحاق بن شاقلا : هذا غلط من حنبل لا شك فيه ، وأراد أبو إسحاق بذلك أن مذهبه حمل الآية على ظاهرها في مجيء الذات ، هذا ظاهر كلامه ، والله أعلم
"Ahmad telah berkata dalam riwayat Hanbal tentang firman-Nya : 'Dan telah datang tuhan-Mu' (QS. Al-Fajr : 22), yaitu ia menafsirkan dengan berkata : 'kekuasaan-Nya'. Abu Ishaaq bin Syaaqilaa berkata : 'Ini adalah kekeliruan dari Hanbal, tanpa keraguan padanya'. Dan yang dimaksudkan oleh Abu Ishaaq dengan hal itu bahwa madzhab Ahmad adalah membawa ayat-ayat (sifat) sesuai dengan dhahirnya dalam sifat Majii' Adz-Dzaat. Ini adalah dhahir perkataannya. Wallaahu a'lam" [Ibthaalut-Ta'wiilaat, 1/132].
وقد قَالَ أَحْمَد فِي رواية أَبِي طالب: (هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ) (وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا) فمن قَالَ أن الله لا يرى فقد كفر، وظاهر هَذَا أن أَحْمَد أثبت مجيء ذاته، لأنه احتج بذلك عَلَى جواز رؤيته، وإنما يحتج بذلك عَلَى جواز رؤيته إذا كان الإتيان والمجيء مضافا إلى الذات.
Telah berkata Ahmad dalam riwayat Abu Thaalib tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan’ (QS. Al-Baqarah : 210). ‘Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr); beliau berkata : “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat (kelak di hari kiamat), sungguh ia telah kafir”. Dan yang nampak dari perkataan ini bahwa Ahmad menetapkan sifat majii’ (kedatangan) bagi Dzat-Nya, karena ia menetapkan dengan hal itu untuk membolehkan adanya ru’yah-Nya. Dan ia hanyalah berhujjah dengan hal itu untuk membolehkan ru’yah-Nya (melihat Allah kelak di akhirat) apabila sifat ityaan dan majii’ dimudlafkan pada Dzat-Nya” [idem].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقال قوم غلط حنبل في نقل هذه الرواية
"Dan sekelompok ulama berkata : Hanbal telah keliru dalam menukil riwayat ini" [Al-Istiqaamah, 1/75].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وخرجوا عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وجاء ربك } أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته ، قال : وهذا على حدَّ التوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه
"Dan mereka mengeluarkan riwayat dari Ahmad, yang berasal dari periwayatan Hanbal (bin Ishaaq) darinya, tentang firman-Nya ta’ala : ‘'Dan telah datang tuhan-Mu' (QS. Al-Fajr : 22), bahwasannya yang dimaksudkan adalah : ‘Dan telah datang ketetapan dari Rabbmu’. Telah berkata Ibnu Haamid : 'Aku melihat sebagian shahabat kami (yaitu ulama Hanaabilah) menghikayatkan dari Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang sifat al-ityaan (kedatangan), ia berkata : 'datang kekuasaan-Nya'. Ibnu Haamid berkata : 'Ini adalah wahm dari orang yang mengatakannya (yaitu perawinya) dan kekeliruan dalam penyandaran terhadap Ahmad bin Hanbal" [Fathul-Baariy, 9/279].
Dengan bukti adanya ta’arudl dan pengingkaran sebagian ulama muhaqqiqiinterhadap riwayat ghariib Hanbal di atas, maka bukan tidak mungkin Hanbal telah keliru dalam membawakan riwayat, sehingga riwayat tersebut munkar. Bahkan inilah yang benar, wallaahu a’lam.
Lantas, manakah bukti valid Wahabi telah melakukan penipuan dan kecurangan ?. Apakah anggapan kecurangan dan penipuan itu hanyalah disebabkan kurang bisa mencerna bahasan ?.
Selain itu, dapat kita lihat bahwa yang menta’lil riwayat Hanbal itu adalah para ulama yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab At-Tamiimiy rahimahullah. Wahabi-kah mereka ?
Wallaahul-musta’aan.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai – 27112012 – 00:50].
[1] Ada orang yang menanggapi ketika dibawakan potongan perkataan Adz-Dzahabiy ini :
beginilah kebiasaan wahabi selalu langsung comot dalil tanpa mau memahami maksud sebenarnya. Atau boleh dikatakan bahwa mereka berhujjah tanpa dasar ilmu dari apa yang mereka nukil.
Tafarrud (menyendiri) dan ghraib (asing) adalah satu sinonim dalam lughah dan istilah. Akan tetapi para ulama membedakan keduanya dari segi banyak dan sedikitnya penggunaan. Renungkanlah apa yang dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab “ Nuzhah an-Nadzar hal. 66 :
وهما ليسا بجرح والعِبرة فيهما بِحال الراوي مِن جهة الضبط وعدمه فقد ينفرد الثقة ويغرب في روايات وتكون صحيحة بل ويُعوَّل عليها لأنه ثقة .
“ Keduanya (tafarrud dan gharib) bukanlah jarh (pencacatan). Yang menjadi pegangan di dalam tafarrud dan gharib adalah keadaan siperiwayat dari segi kuat dan tidaknya hafalannya. Terkadang siperiwayat tsiqah menyendiri dan asing di dalam beberapa riwayat dan kedudukannya shahih dan dipercayai karena ia tsiqah “
Inilah yang dimaksud oleh imam Adz-Dzahabi dari tafarrud dan gharibnya imam Hanbal. Dan sesuai dengan ucapan beliau dalam sebelumnya kitab Siyar An-Nubala yang sengaja tidak ditulis oleh wahabi berikut ini :
حنبل ابن إسحاق بن حنبل بن هلال بن أسد الإمام الحافظ المحدث الصدوق ، المصنف أبو علي الشيباني ابن عم الإمام أحمد وتلميذه…قال الخطيب: كان ثقة ثبتا .
قلت: له مسائل كثيرة عن أحمد، ويتفرد ويغرب
“ Hanbal bin Ishaq bin Hilal bin Asad adalah seorang imam Al-Hafidz, ahli Hadits dan sangat jujur Mushannif Abu Ali asy-Syaibani. Beliau adalah anak dari paman imam Ahmad dan juga muridnya…imam Al-Khatbi Al-Baghdadi mengatakan “ Hanbal adalah tisqah yang tsabat “. Aku katakan : “ Hanbal memiliki banyak masalah dari Ahmad dan menjadi tafarrud dan gharib “. [selesai nukilan].
Pertama : sok tahu.
Saya tidak tahu di bagian mana kalimat (yang dianggap dari) Ibnu Hajar rahimahullahitu ada dalam kitab Nuzhatun-Nadhar. Sepengetahuan saya, dalam kitab Nuzhatun-Nadhar tidak terdapat kalimat tersebut. Mungkin kalimat tersebut hasil copy paste dan terjemahan artikel di internet tanpa usaha cross check dalam kitab aslinya.
Kedua, tidak ada yang salah dalam menukil perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah, karena yang hendak dituju adalah pernyataan tafarrud dan sering meriwayatkan riwayat ghariib-nya. Dan itu sama sekali tidak bertujuan menafikkan status ketsiqahan Hanbal bin Ishaaq rahimahullah. Dalam kitab taraajim, banyak sekali perawi tsiqah yang dihukumi sering bertafarrud dan meriwayatkan riwayat ghariib. Misalnya : Ibraahiim bin Suwaid Al-Madiiniy, Ibraahiim bin Thahmaan Al-Khurasaaniy, Ismaa’iil bin ‘Ubaid Al-Umawiy, dan yang lainnya.
Tafarrud itu memang tidak serta merta menjadikan satu riwayat lemah atau ma’lul. Untuk menjadikan lemah atau ma’lul, ia butuh qarinah tambahan. Dan dalam bahasan ini, qarinah tersebut adalah adanya nakarah dan ta’arudl dengan riwayat-riwayat yang masyhuur dari Ahmad.
Selain itu, memutlakkan tafarrud dan ghariib bukan sebagai ‘illatriwayat adalah perkataan yang layak untuk dikritisi. Ibnu Rajab dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy (2/621-dst.) telah menyebutkan beberapa salaf tentang kebencian mereka atas riwayat ghariib (asing). Satu diantaranya adalah perkataan Maalik bin Anas rahimahullah :
شر العلم الغريب، وخير العلم الظاهر الذي قد رواه الناس
“Sejelek-jelek ilmu adalah yang ghariib (asing), dan sebaik-baik ilmu adalah yang dhaahir(nampak) yang diriwayatkan oleh (banyak) manusia” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/622].
Perawi tsiqah yang disifati dengan banyak tafarrud dan sering membawakan riwayat gharib (yughrib) tentu tidak sama dengan perawi tsiqah yang tidak disifat dengan keduanya. Kalau ada yang mengatakan bahwa kedua sifat tersebut tidak menimbulkan dampak apapun terhadap perawi yang bersangkutan, hakekatnya orang itu tidak mengerti ilmu riwayat.
[Silakan baca salah satu contoh pembahasan riwayat perawi tsiqah yang disifati banyak membawakan riwayat ghariib (Ibraahiim bin Thahmaan) dimana riwayatnya ma’lul dengan adanya qarinah, pada artikel : Kuburan 70 Nabi di Masjid Khaif].
[2] Sangat aneh ketika ada yang menukil perkataan ini untuk menunjukkan sifat tafarrud dalam diri Hanbal dan bagaimana pendapat ulama tentangnya, dikatakan sebagai suatu kecurangan. Katanya, yang sedang dibahas bukanlah tentang penakwilan imam Ahmad pada ayat mutasyabihat akan tetapi pembahasan tentang bab sholat.
Ini namanya tidak mengetahui tujuan penukilan. Tidak pula memahami inti yang dikatakan Ibnu Rajab rahimahullah. Perkataan beliau itu memang tidak berbicara masalah ‘aqidah, akan tetapi sedang bicara masalah pakaian dalam shalat. Tapi yang ditekankan dalam penukilan di situ adalah eksistensi tafarruddalam riwayat Hanbal bin Ishaaq yang menimbulkan kemusykilan dan sekaligus sikap Ibnu Rajab tentangnya.