Tanya : Apa hukum puasa di hari tasyriiq dan apakah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentangnya ?
Jawab : Terkait dengan pertanyaan yang Anda sampaikan, ada beberapa dalil/nash yang menyinggungnya. Diantaranya :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriiq adalah hari-hari untuk makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1141, Ahmad 5/75, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 4/221, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 2916, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 2590-2591, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/311 & 4/297, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 4/212 no. 3912, Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 2556, dan yang lainnya dari shahabat Nubaisyah bin ‘Abdillah Al-Hudzaliy radliyallaahu ‘anhu].
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari ‘Arafah[1], hari Nahr, dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orang Islam. Dan ia adalah hari-hari untuk makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2419, At-Tirmidziy no. 773, An-Nasaa’iy no. 3004, Ahmad 4/152, Ad-Daarimiy no. 1805 dan yang lainnya dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu. At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/407-408].
Dari Ka’b bin Maalik radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ وَأَوْسَ بْنَ الْحَدَثَانِ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، فَنَادَى أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusnya dan Aus bin Al-Hadatsaan pada waktu hari-hari tasyriiq. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berseru bahwasannya tidak akan masuk surga kecuali orang yang beriman (mukmin). Hari-hari Minaa[2]adalah hari-hari untuk makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1142].
Dari Habiibah Al-Anshaariyyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
لَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ عَلَى بَغْلَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْضَاءِ، حِينَ وَقَفَ عَلَى شِعْبِ الْأَنْصَارِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، وَهُوَ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِأَيَّامِ صِيَامٍ، إِنَّمَا هِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ "
“Seakan-akan aku melihat ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di atas bighal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berwarna putih ketika ia berhenti di perkampungan Anshaar pada waktu haji Wada’. Ia (‘Aliy) berkata : ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Sesungguhnya ia (hari-hari Minaa/Tasyriiq) bukanlah hari-hari untuk berpuasa, akan tetapi ia adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/92, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 2900, Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 397, Al-Haakim 1/434, dan yang lainnya; dihasankan sanadnya oleh Al-Arna’uth & ‘Aadil Mursyid dalam Takhriij Musnad Ahmad 2/116].
Dari Abu Murrah maulaa ‘Amru bin Al-‘Aash :
أَنَّهُ دَخَلَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَذَلِكَ الْغُدُوَّ بَعْدَ الْغَدِ مِنْ يَوْمِ الأَضْحَى فَقَرَّبَ إِلَيْهِمْ عَمْرٌو طَعَامًا، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ: إِنِّي صَائِمٌ، فَقَالَ عَمْرٌو: " أَفْطِرْ فَإِنَّ هَذِهِ الأَيَّامُ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِإِفْطَارِهَا وَيَنْهَى عَنْ صِيَامِهَا
Bahwasannya ia dan ‘Abdullah bin Umar[3]pernah menemui ‘Amru bin Al-‘Aash pada waktu pagi setelah hari ‘Iedul-Adlhaa. Maka ‘Amru menyajikan untuk mereka makanan. ‘Abdullah berkata kepadanya : “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”. ‘Amru berkata : “Berbukalah, karena hari-hari ini (yaitu : hari-hari Tasyriiq) adalah hari-hari yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perintahkan untuk berbuka dan beliau larang untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Asy- Syaafi’iy dalam As-Sunan Al-Ma’tsuurah no. 348. Diriwayatkan pula oleh Abu Daawud no. 2418, Maalik no. 846, Ahmad 4/197, Al-Haakim, 1/435, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/297, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/73].
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah diberitahukan hadits larangan berpuasa di hari Tasyriiq, maka ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa pun berbuka :
فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو: " أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ الَّتِي نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِنَّ وَأَمَرَ بِفِطْرِهِنَّ، فَأَمَرَهُ فَأَفْطَرَ، وَأَحَدُهُمَا يَزِيدُ عَلَى صَاحِبِهِ
.....Lalu ‘Amru berkata kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru) : “Tidakkah engkau tahu bahwa hari-hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamlarang untuk berpuasa padanya dan beliau memerintahkannya untuk berbuka ?”. Maka ‘Amru memerintahkan ‘Abdullah bin ‘Amru untuk berbuka, dan ia pun berbuka. Salah seorang di antara keduanya menambahkan makanan kepada yang lainnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2961 dan Ahmad bin Muhammad Adh-Dhaahiriy dalam Masyaikhah Ibnil-Bukhaariy 3/1575; shahih].
Dari Mas’uud bin Al-Hakam rahimahullah :
أَخْبَرَنِي بَعْضُ أصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذَافَةَ وَهُوَ يَسِيرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ فِي أَيَّامَ التَّشْرِيقِ يُنَادِي أَهْلَ مِنًى: أَلا لا يَصُومَنَّ هَذِهِ الأَيَّامَ أَحَدٌ، فَإِنَّهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذَكَرَ أَنَّهُ بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا بِذَلِكَ فِيهِمْ
Telah mengkhabarkan kepadaku sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya ia pernah melihat ‘Abdullah bin Hudzaafah naik di atas kendaraannya pada hari-hari Tasyriiq berseru kepada orang-orang yang berada di Minaa : “Ketahuilah, janganlah salah seorang dari kalian berpuasa di hari-hari ini, karena ia adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir”. Kemudian ia menyebutkan bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk menyerukan hal tersebut kepada mereka (orang-orang yang berada di Minaa) [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/224, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraano. 2893-2895, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 4116, Ad-Daaruquthniy no. 2290, dan yang lainnya. Al-Arna’uth berkata : “Marfuu’-nya adalah shahih lighirihi, dan sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab inqithaa’ (keterputusan antara Az-Zuhriy dengan Mas’uud bin Al-Hakam) dan idlthiraab”].
Riwayat-riwayat di atas dijadikan dalil yang tegas tentang larangan puasa di hari-hari tasyriiq. Bahkan, Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menghikayatkan adanya ijmaa’tentang larangan ini :
وأما صيام أيام التشريق فلا خلاف بين فقهاء الأمصار فيما علمت أنه لا يجوز لأحد صومها تطوعا
“Adapun puasa pada hari-hari tasyriiq, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqahaa’ di berbagai negeri bahwasannya tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk berpuasa sunnah padanya” [At-Tamhiid, 12/127].
Akan tetapi, nukilan ijma’ (dalam bentuk nafyul-khilaaf) ini tidaklah benar. At-Tirmidziy rahimahullah memetakan secara ringkas bentuk perselisihan pendapat dalam masalah ini :
وَقَدِ اخْتَارَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمُ التَّمَتُّعَ بِالْعُمْرَةِ وَالتَّمَتُّعُ أَنْ يَدْخُلَ الرَّجُلُ بِعُمْرَةٍ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ يُقِيمَ حَتَّى يَحُجَّ، فَهُوَ مُتَمَتِّعٌ وَعَلَيْهِ دَمٌ مَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ، صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ أَنْ يَصُومَ الْعَشْرَ، وَيَكُونُ آخِرُهَا يَوْمَ عَرَفَةَ، فَإِنْ لَمْ يَصُمْ فِي الْعَشْرِ صَامَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ فِي قَوْلِ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ ابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ، وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق، وقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا يَصُومُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْكُوفَةِ .
“Dan sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya memilih melaksanakan tamattu’ dengan melaksanakan ‘umrah (terlebih dahulu). (Gambaran) tamattu’ adalah seseorang melaksanakan ‘umrah dalam bulan-bulan haji, kemudian menunggu hingga melaksanakan ibadah haji. Ia adalah seorang yang melaksanakan haji tamattu’. Wajib baginya membayar dam dengan menyembelih hewan kurban/hadyu. Jika ia tidak mendapatkannya, maka ia berpuasa tiga hari dalam hari-hari hajinya, dan tujuh hari ketika ia telah kembali ke tempat tinggalnya. Dan disukai bagi orang yang melakukan haji tamattu’ apabila ia berpuasa tiga hari dalam hari-hari hajinya, untuk berpuasa sepuluh hari dengan menjadikan akhir dari puasanya tersebut pada hari ‘Arafah. Apabila ia tidak berpuasa sepuluh hari, maka ia berpuasa pada hari-hari Tasyriiq berdasarkan pendapat sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah ‘Aaisyah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum. Pendapat itulah yang dipegang oleh Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq. Sebagian yang lain berkata : Tidak boleh berpuasa pada hari-hari Tasyriiq. Ini adalah pendapat ulama Kuufah...” [Sunan At-Tirmidziy, 2/176].
‘Aaisyah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum memberikan istitsnaa’ (pengecualian) dalam larangan puasa pada hari-hari tasyriiq, bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban yang melaksanakan haji tamattu’. Berikut riwayatnya :
Dari ‘Aaisyah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum, mereka berdua berkata :
لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ
“Tidak ada keringanan untuk berpuasa di hari-hari Tasyriiq, kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1997 & 1998, Ad-Daaruquthniy no. 2281].
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
لَمْ يُرَخَّصْ فِي صَوْمِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ إِلا لِمُتَمَتِّعٍ لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ
“Tidak ada keringanan berpuasa pada hari-hari Tasyriiq, kecuali orang yang melaksanakan haji tamattu’ yang tidak mendapatkan hewan kurban/hadyu” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 2284, dan ia berkata : “Sanadnya shahih”].
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
الصِّيَامُ لِمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ عَرَفَةَ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا، وَلَمْ يَصُمْ، صَامَ أَيَّامَ مِنًى
“Puasa adalah bagi orang yang tamattu’ dengan melaksanakan ‘umrah sebelum haji hingga hari ‘Arafah. Apabila tidak mendapatkan hewan kurban/had-yu. Jika ia tidak berpuasa (pada waktu tersebut), maka ia berpuasa pada hari-hari Minaa (Tasyriiq)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1999].[4]
Bahkan, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa membolehkan secara mutlak puasa di hari tasyriiq.
Dari Abu Mijlaz, ia berkata :
رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَرْمِي الْجِمَارَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbaas melempar jumrah (pada hari tasyriiq) dalam keadaan berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 15959; shahih].
Dari Qais bin ‘Abaayah, ia berkata :
سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ صِيَامِ الْيَوْمِ بَعْدَ النَّحْرِ، فَقَالَ: صُمْ إنْ شِئْتَ
Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang puasa setelah hari Nahr. Maka ia menjawab : “Berpuasalah jika engkau berkehendak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 15962; shahih].
Yang raajih, puasa di hari-hari tasyriiq diharamkan secara mutlak tanpa istitsnaa’ (pengecualian), karena dalil-dalil yang marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara dhahir menunjukkan demikian (tanpa istitsnaa’).
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
فَثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنَّ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، لَيْسَ لأَحَدٍ صَوْمُهَا، فِي مُتْعَةٍ، وَلا قِرَانٍ، وَلا إِحْصَارٍ، وَلا غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْكَفَّارَاتِ، وَلا مِنَ التَّطَوُّعِ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَبِي يُوسُفَ، وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمُ اللَّهُ.
“Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, hari-hari tasyriiq tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk berpuasa padanya, baik bagi melaksanakan haji tamattu’, haji qiraan, terhalang dalam melaksanakan hajinya, dan yang lainnya; baik puasa kaffaraat atau puasa sunnah. Ini adalah pendapat Abu Haniifah, Abu Yuusuf, dan Muhammad (bin Al-Hasan) rahimahumullah” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 2/248].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وفيه دليل لمن قال لا يصح صومها بحال وهو أظهر القولين في مذهب الشافعي وبه قال أبو حنيفة وابن المنذر وغيرهما
“Dalam hadits tersebut (yaitu hadits Nubaisyah) terdapat dalil bagi orang yang mengatakan tidak sah sama sekali berpuasa pada hari-hari Tasyriiq. Pendapat itulah yang lebih kuat dari dua pendapat dalam madzhab Asy-Syaafi’iy. Pendapat itulah yang dipegang oleh Abu Haniifah, Ibnul-Mundzir, dan yang lainnya[5]” [Syarh Shahiih Muslim, 3/208].
Adapun perbuatan sebagian salaf yang tetap berpuasa, kemungkinan belum sampai pada mereka larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perum ciper, ciomas, bogor – 10112012].
[1] Hari ‘Arafah adalah hari makan dan minum bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji di tanah Haram. Dari Ummul-Fadhl bintu Al-Haarits :
أَنَّ نَاساً تَمَارَوا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ بَعضُهُمْ : هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ.
Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].
Adapun bagi selain orang yang melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan bagi mereka untuk melakukan puasa ‘Arafah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1162, ‘Abdurrazzaaq no. 7826 & 7831 & 7865, Ibnu Abi Syaibah 3/78, Ahmad 5/297 & 308 & 310-311, Abu Dawud no. 2425-2426, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2826, Ibnu Maajah no. 1730, dan yang lainnya].
[2] Dalam lafadh lain disebutkan :
لَا يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“....Tidak akan masuk surga kecuali orang yang beriman (mukmin). Hari-hari tasyriiqadalah hari-hari untuk makan dan minum
[3] Begitulah yang diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy, dari Yaziid bin ‘Abdillah bin Al-Haad, dari Abu Murrah.
Yang benar: ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhumaa – sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh Maalik bin Anas rahimahullah. Kekeliruan ini kemungkinan karena tashhif sebagian penulis naskah, sebab dalam jalur lain dari Asy-Syaafi’iy, dari Ad-Daraawardiy tertulis : ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa.
Wallaahu a’lam.
[4] Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa meriwayatkan secara marfuu’ :
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ "
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah/keringanan bagiorang yang melaksanakan haji tamattu’ apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban/hadyu untuk berpuasa di hari tasyriiq”.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 2283, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid (Ar-Raudlul-Bassaam)no. 595, Abu Ahmad Al-Haakim dalam Al-‘Awaaliy no. 126, Al-Jurjaaniy dalam Al-Amaaliy no. 128, Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 2/628, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 4091, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/100 no. 3470, Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbahaan no. 1/356, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 16/451; semuanya dari jalan Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakiim : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Salaam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ibnu Abi Lailaa, dari Az-Zuhriy, dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya.
Yahyaa bin Salaam telah menyelisihi Ghundar (tsiqah) yang meriwayatkan dari Syu’bah dari Ibnu Abi Lailaa dari Az-Zuhriy secara mauquuf. Maalik juga meriwayatkan dari Ibnu Syihaab secara mauquuf.
Yahyaa bin Salaam telah keliru dalam periwayatannya yang marfuu’. Ia adalah seorang yang shaduuq namun mempunyai beberapa kekeliruan.
Ibnu Hajar rahimahullah melemahkannya dalam Fathul-Baariy 4/243.
Wallaahu a’lam.
[5] Selanjutnya An-Nawawiy rahimahullah menyebutkan pendapat yang lain dengan mengatakan :
قال جماعة من العلماء: يجوز صيامها لكل أحد تطوعاً وغيره حكاه ابن المنذر عن الزبير بن العوام وابن عمر وابن سيرين وقال مالك والاوزاعي وإسحاق والشافعي في أحد قوليه: يجوز صيامها للمتمتع إذا لم يجد الهدي ولايجوز لغيره
“Dan sekelompok ulama berkata : Diperbolehkan berpuasa sunnah atau yang lainnya pada hari-hari Tasyriiq bagi setiap orang. Ibnul-Mundzir menghikayatkan pendapat tersebut dari Az-Zubair bin Al-‘Awwaam, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Siiriin. Maalik, Al-Auzaa’iy, Ishaaq, Asy-Syaafi’iy dalam satu pendapatnya : Diperbolehkan puasa di hari-hari Tasyriiq bagi orang yang melakukan haji tamattu’ apabila tidak mendapatkan hewan kurban, dan tidak diperbolehkan bagi selainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 3/208].